Cari

Jumat, 08 Maret 2013

Makalah Ushul Fikih-HAQIQAH,MAJAZ,SHARIH,KINAYAH & TA’WIL-


PENDAHULUAN

          Untuk menginterpretasikan Qur ‘an dan sunah dalam upaya mendeduksi ketentuan – ketentuan hukum dari petunjuk – petunjuk yang diberikannya. Bahasa Qur’an dan Sunah harus dipahami secara benar agar dapat menggunakan sumber – sumber ini mujtahid harus mengetahui kata – kata nash dan implikasi – implikasinya secara tepat. Untuk tujuan ini para ulama’ ushul fiqh memasukkan klasifikasi kata – kata dan pemakaian – pemakaiannya kedalam metodelogi Ushul Al – Fiqh.
          Biasanya mujtahid tidak akan melakukan interpretasi jika nash itu sendiri sudah merupakan dalil yang jelas. Tetapi sejauh ini, fiqh sebagian besar memuat ketentuan – ketentuan yang dirumuskan melalui interpretasi dari ijtihad, sebagai mana nanti akan didiskusikan.
          Dari sudut pemakaian yang sesunguhnya, seperti apakah suatu kata digunakan dalam makna utamanya, makna harfiyah, makna teknis, ataukah maknanya yang lazim, kata – kata juga diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama : harfiyah ( haqiqi) dan metaforsis (majazi)
          Disini kita akan membahas tentang apa itu Haqiqah, majaz, sharih, qinayah dan ta’wil.


PEMBAHASAN
HAQIQAH, MAJAZ, SHARIH, KINAYAH & TA’WIL
A.   Haqiqah dan Majaz
1.     Pengertian Haqiqah dan Majaz
Haqiqah dan majaz adalah 2 kata dalam bentuk mutadhayyifan atau relative term, dalam arti sebagai 2 kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan masuk ke dalam salah satu diantaranya.
v Menurut Ibnu Subhi haqiqat adalah :
هو اللفظ المستعمل فيما و ضع له ابتد ا ء
“lafadz yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan”
v Ibnu Kudamah memberikan definisi
هو اللفظ المستعمل  في مو ضو عه الا صلى
“lafadz yang digunakan untuk sasarannya semula”.
v Menurut Al-Sarkhisi :
كل لفظ هو مو ضو ع فى الا صل لشئ معلو م
setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu”.
Contohnya seperti kata “kursi menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kata “kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan semula kata “kursi” bukan untuk itu tetapi tempat duduk.
Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi “haqiqah” itu kepada beberapa bentuk :
1)    Haqiqah lughawiyah yang ditetapkan oleh bahasa itu sendiri, yaitu : lafal yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa. Contohnya, kata “manusia” untuk semua hewan yang berakal.
2)    Haqiqah syar’iyyah yang ditetapkan oleh syar’i (pembuat hukum sendiri) yaitu :
هو اللفظ المستعمل فى المعنى المو ضو ع له شر عا
“lafadz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara’. ”
Umpamanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”.
3)    Haqiqah ‘urfiyah khashshah yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu lingkungan tertentu, yaitu :
هو اللفظ المستعمل فى معنى عر في خا ص يصطلح عليه
 جما عة او طا ئفة منه
“lafadz yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya”.
Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku di kalangan ahli fiqih.
4)    Haqiqah ‘urfiyah ‘ammah yang yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara umum, yaitu :
هو اللفظ المستعمل فى معنى عر في عا م
lafadz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan umum”.
Umpamanya penggunaan kata dabbah dalam bahasa arab untuk hewan ternak yang berkaki empat.
v Kemudian Tajuddin Al-Subhi menjelaskan bahwa lafadz adalah :
هو اللفظ المستعمل بو ضع ثا ن لعلا قة
lafadz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaitan”.
v Al-Sarkhisi memberikan definisi
اسم لكل لفظ هو مستعا ر لشى ء غير ما و ضع له
“Nama untuk setiap lafadz yang dipinjam untuk digunakan  bagi maksud diluar apa yang ditentukan”.
v Menurut Ibnu Qudamah :
هو اللفظ المستعمل فى غير مو ضو عه على وجه يصح
lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan”
Dari beberapa contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafadz majaz tersebut, yaitu :
1)    Lafadz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu bahasa
2)     Lafadz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada arti yang dimaksud.
3)    Antara sasaran dari arti lafadz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafadz itu memang ada kaitannya.
Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafadz untuk arti menurut hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak menggunakan haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Di antara hal yang mendorong kearah itu adalah sebagai berikut :
a)     Karena berat mengucapkan suatu lafadz menurut haqiqahnya. Oleh karenanya ia beralih kepada majaz.
b)    Karena buruknya kata haqiqah itu bila digunakan.
c)     Karena kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqiqah.
d)    Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghahnya).
2.     Macam-Macam Majaz
Adapun bentuk-bentuk majaz adalah sebagai berikut :
1)    Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seandainya dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya. Umpamanya tambahan kata ك  yang berarti “seperti” yang terdapat dalam firman Allah, surat al-syura’ (42) : 11 :
ليس كمثله شىء
                   “tidak ada seperti semisal sesuatu pun”.
Seandainya ada ك (seperti) itu tidak ada, sebenarnya tidak akan mengurangi artinya. Adanya tambahan ini menempatkannya sebagai majaz, karena berlebihan dari hakikatnya.
2)    Adanya kekurangan dalam suatu susunan suatu kata dari yang sebenarnya. Kebenaran  maksud dari lafadz itu terletak pada yang kurang itu.
Umpamanya firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82 :
و سئل القر ية
“Tanyalah kampung itu”
Pengertian dalam bentuk hakikatnya adalah “tanyalah penduduk kampung itu”. Adanya kekurangan kata “penduduk” dalam kata “kampung” di atas, menjadikannya sebagai majaz.
3)    Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian “menukat kedudukan suatu kata”.  Umpamanya firman Allah dalam surat al-Nisa’ (4) : 11 :

من بعد و صية يو صى بها او د ين
“Sesudah mengeluarkan wasiatnya dan membayarkan hutangnya”
Maksud sebenarnya adalah “sesuatu membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiatnya”
4)    Meminjam kata lain atau isti’arah yaitu menamakan sesuatu dengan menggunakan (meminjam kata lain). Seperti memberi nama si A yang “pemberi” dengan “singa”.
·        Isti’arah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan lafadz majaz.
3.     Cara Mengetahui Haqiqah Dan Majaz
Untuk mengetahui lafadz haqiqah adalah secara sima’i  سما عى yaitu dari pendengaran terhadap apa yang biasa dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain dari itu. Juga tidak dapat diketahui melalui anlogi. Sebagaimana keadaan hukum syara’ yang tidak dapat diketahui kecuali melalui nash syara’ itu sendiri.
Cara untuk mengetahui lafadz majaz adalah melalui usaha mengikuti kebiasaan orang Arab dalam penggunaan isti’arah (peminjaman kata). Adapun cara orang Arab menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya kaiatan antara maksud kedua kata itu baik dalam bentuk maupun dalam arti.
Beberapa hal yang dapat dijadikan penunjuk dalam membedakan antara haqiqah dengan majaz, diantara adalah sebagai berikut :
1)    Salah satu diantara kedua lafadz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman dibanding dengan yang lain. Itulah yang haqiqah sedangkan yang agak lambat menyentuh pemahaman adalah majaz.
2)     Salah satu diantara kedua lafadz itu dapat dikembangkan atau ditasyrifkan ke dalam beberapa lafadz.
3)    Ketentuan Yang Berkenaan Dengan Haqiqah Dan Majaz
Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah dan majaz adalah  sebagai berikut :
1)    Bila suatu lafadz digunakan antara haqiqah atau majaz, maka lafadz itu ditetapkan sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafadz atau kata adalah untuk haqiqahnya. Lafadz itu pun bukan mujmal  مجملkecuali bila ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah majaz. Dengan menjadikan setiap lafadz yang memungkinkan untuk dijadikan majaz. Sebagai mujmal,  maka akan tercapai yang dimaksud yaitu pemahaman.
2)    Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu dari lafadz yang digunakan, baik dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula pada majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafadz yang lainnya, baik dalam bentuk umum maupun  khusus. Dan antara 2 bentuk lafadz itu tidak terdapat pertentangan, karena majaz itu pengganti haqiqah.
3)    Haqiqah dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafadz dalam keadaan yang sama. Artinya, masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-sendiri, karena haqiqah adalah asalnya sedangkan majaz hanya kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu lafadz.
Di kalangan ulama Hanafiah ada yang berpendapat antara haqiqah dan majaz, keduanya bertemu dalam dua tempat yang berbeda, dengan syarat, majaz itu tidak akan sampai mendesak haqiqah.
Dalam al-qur’an, surat al-Nisa’ (4) : 23, Allah berfirman :
حر مت عليكم امها تكم و بنا تكم
“Diharamkan atasmu ibu-ibu mu dan anak-anak mu”.
Kata “ibu-ibu”  امها تكم dalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat digunakan “nenek”, namun penggunaan untuk “nenek” adalah dalam bentuk majaz. Begitu pula kata “anak-anak” (  ابنا ء) dapat digunakan untuk “cucu”, namun penggunaan untuk “cucu” adalah  dalam bentuk majaz, sedangkan haqiqahnya adalah untuk anak kandung.
v Penyebab tidak berlakunya haqiqah
Pada dasarnya adalam setiap menggunakan lafadz harus dalam bentuk haqiqahnya dan tidak boleh beralih kepada yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan haqiqahnya, yaitu dalam keadaan sebagai berikut :
a)     Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafadz.
Dalam hal  haqiqah lafadz lafadz ditinggalkan, maka yang diamalkan (dipegang) adalah apa yang mudah dipahami dari lafadz tersebut. Alasannya adalah karena suatu kalimat (ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah terbiasa orang menggunakan suatu lafadz untuk maksud tertentu maka pengggunaan lafadz itu sudah menempati kedudukan “haqiqah”. Umpamanya lafaz “shalat” ; menurut haqiqah penggunaannya adalah untuk “do’a”. Tetapi karena sudah diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah suatu bentuk tertentu dari perbuatan ibadat, maka pengertian shalat yang arti hakikatnya adalah do’a itu tidak lagi digunakan. Firman Allah yang menyuruh shalat dalam surat Thaha (20) : 14 :
ا قم الصلا ة لذكر ي
“Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”
b)    Adanya petunjuk lafadz.
Dalam hal ini suatu lafadz memberi petunjuk kepada sesuatu secara haqiqah, namun yang dimaksud bukan untuk itu.  
Contohnya, bila seseorang berkata, “Demi Allah saya tidak makan daging.” Ternyata kemudian ia makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak melanggar sumpah; karena pengertian “daging” berlaku untuk segala macam daging secara hakikatnya. Namun pengertian menurut haqiqah ini tidak lagi digunakan karena petunjuk lafaz menghendaki “daging” itu selain dari ikan dan belalang yang keduanya tidak disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya yang digunakan, maka orang yang bersumpah itu melanggar sumpahnya.
c)     Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.
Dalam mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk haqiqah, harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar haqiqah. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Kahfi (18) : 29 :
فمن شا ء فليؤ من و من شا ء فليكفر انا ا عتد نا للظا لمين نا را
“Barang siapa yang mau, berimanlah, dan barang siapa yang mau, kafirlah, sesungguhnya kami menyediakan neraka bagi orang yang zhalim.”
d)    Adanya petunjuk dari sifat pembicara
Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti menuntut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui bahwa ia tidak menginginkan sesutau menurut yang diucapkan. Dalam hal ini, maka haqiqah yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Isra’ (17) : 64 :
و استفزز من استطعت منهم بصو تك
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan ajakanmu.”
e)     Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Berdasarkan haqiqah penggunaan lafadz, lafadz itu harus dipahami menurut apa adanya, namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafadz itu menurut haqiqahnya.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-Fathir (35) : 19 :
و ما يستو ى الا عمى و البصير
“Tidak sama orang buta dengan orang yang melihat”
v Keberadaan majaz dalam ucapan
Pembicaran tentang haqiqah dan majaz, berlaku dalam lafadz (ucapan). Namun  dalam hal apakah majaz itu ada (terjadi) dalam ucapan (lafadz) yang bersifat syar’i, terdapat beda pendapat  di kalangan ulama.
a)     Kebanyakan ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan, baik dalam ucapan syar’i (pembuat hukum) dalam al-qur’an dan sunnah, sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang digunakan.
Keberadaan majaz itu terlihat dalam beberapa ayat al-qur’an dan hadist Nabi seperti penggunaan lafaz “mulamasah” yang berarti saling bersentuhan dalam al-qur’an, surat al-Nisa’ (4) : 34, sebagai ganti dari ucapan “jima” tau bersetubuh yang berkaitan dengan hukum batalnya wudhu”.
b)    Abu Ishak Al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian majaz. Apa yang selama ini dianggap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah, karena ada petunjuk yang menjelaskannya.
c)     Golongan ulama Zhahiri menolak adanya majaz dalam al-qur’an dan hadist Nabi. Seandaianya menemukan firman Allah Swt. yang mengggunakan bahasa untuk digunakan dalam artian syar’i , maka hal itu bukan berarti majaz, tetapi konteks penggunaannya sudah secara haqiqah syar’i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam al-qur’an dan hadist adalah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya) berarti dusta, sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari dusta.

B.   Sharih dan Kinayah
Secara arti kata, sharih dari kata sharaha berarti terang ; ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin.
Dalam pengertian istilah hukum, sharih berarti :
كل لفظ مكشو ف المعنى والمراد حقيقة او مجا ز ا
Setiap lafadz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk haqiqah atau majaz”.
Maksud yang dikehendaki oleh pembicara dapat diketahui dari lafadz yang digunakan tanpa memerlukan penjelasan lain. Umpamanya pada waktu seseorang ingin menceraikan isterinya, ia berkata kepada isterinya, “engkau saya ceraikan”.
Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang secara arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukan arti lain.


Dalam pengertian istilah hukum, kinayah adalah :
ما يكو ن المرا د باللفظ مستو را ا لى ان يتبين با لد ليل
“Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil”.
Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak dari lafadz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah, karena masih memerlukan penjelasan.
Penggunaan nama seseorang dengan memakai kata ganti-nama termasuk kinayah. Kalau dikatakan “Si Ahmad sedang sholat dengan tekun,” akan mudah orang memahaminya. Tetapi kalau dikatakan, “ia sedang shalat dengan tekun,” orang akan bertanya, “siapa yang sedang shalat itu?”.
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud, termasuk kinayah. Umpamanya seseorang mengatakan kepada isterinya, “pulanglah kau ke rumah ibu mu,”. Ungkapan ini mengandung beberapa maksud : dapat berarti cerai dan dapat pula berarti pulang sementara. Bila seseorang menggunakan ucapan tersebut kepada isterinya dan yang dimaksud dengan ucapannya itu untuk cerai, bearti ia menggunakan lafaz kinayah untuk “cerai”.
Dari segi apa yang diucapkan seseorang, kalau suatu lafaz bukan menunjukan pada arti yang sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan majaz. Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu :
Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud oleh lafaz sebenarnya dengan lafaz lain yang dipinjam untuk itu. Umpamanya orang “pemberani” disebut “singa”. Tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya menamai seseorang dengan menggunakan nama anaknya meskipun kebetulan sifat orang itu berbeda dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anaknya pemberani dinamai dengan suja’ secara kinayah si ayah akan dinamai Abu Suja’. Padahal si ayah sendiri seorang penakut. Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada keterkaitan antar lafadz yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz sharih dalam ucapan adalah berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya, tanpa memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula menggunakan ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai” untuk memutuskan hubungan antara suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz itu diucapkan, maka berlangsunglah perceraian, seperti : “saya ceraikan engkau”, “hai, cerai”, “kita bercerai”, atau kata lain yang sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz kinayah adalah bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang diinginkan dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam hati ; atau cara lain yang sama artinya dengan itu. [1]

C.   Takwil
Kata takwil berasal dari kata dasar al-awlu yang menurut bahasa berarti ar-ruju’u ila al-ashl (kembali pada asal), dan dalam bentuk kata takwil berarti mengembalikan sesuatu kepada asal.[2]
Secara estimologi, Takwil di musytaq dari kata aw-awla yuawwilu ta’wilan yang berarti at-tafsir (penjelasan), al-marja’ (kembali), al-mashir (tempat kembali), dan al-jaza’ (balasan).[3]
Takwil ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang terang (ahahir) kepada makna yang tidak terang (lemah / marjuh) karena ada sesuatu dalil yang menyebabkan makna kedua tersebut harus dipakai.[4]
Menurut Imam Al-Ghazali, takwil dalam kitabnya Al-Mustashfa yaitu takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukan oleh lafazh dzahir.
Pada mulanya takwil tidak ada dan tidak terbentuk, kecuali dengan dalil. Semua dalil dianggap hujjah karena kejelasan dan keberadaannya, sehingga lafazh mutlaq berlaku sesuai kemutlaqannya dan tidak diikat, kecuali dengan dalil. Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukum.[5]
Ø Ciri-ciri dari takwil yaitu:
1)    Lafazh itu tidak lagi dpahami menurut arti lahirnya.
2)    Arti yang dipahami dari lafadz itu adalah arti lain yang secara umum juga dijangkau oleh arti zahir lafazh itu.
3)    Peralihan dalil arti zahir kepada arti lain itu menyandar kepada petunjuk dalil yang ada.[6]

Ø Syarat-syarat takwil yaitu:
1)    Takwil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash (Al-Qur’an dan hadits), Qiyas ataupun jiwa syariat dan dasar-dasarnya yang umum.
2)    Kalau dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (Qiyas jali).
3)    Takwil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syariat.[7]
4)    Lafazh itu dapat menerima takwil.
5)    Lafazh itu mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan.

Ø Macam-macam takwil, ada 2, yaitu:
1)    Takwil Al-Qur’an atau hadits Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan dengan apa yang berlaku dikalangan manusia padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamai-Nya.
2)    Takwil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi.[8]

Ø Bentuk-bentuk takwil yaitu:
1)    Dari segi diterima ada tidaknya suatu takwil, ada 2, yaitu:
a)     Takwil maqbul atau takwil yang diterima.
b)    Takwil ghair al-maqbul atau takwil yang ditolak.
2)    Dari segi dekat / jauhnya pengalihan makna lafazh yang ditakwil dari makna zahirnya, takwil dibagi 2 bentuk, yaitu:
a)     Takwil qarib, takwil yang dekat dari artinya zahirnya.
Contoh :
يد الله فو ق ايد يهم

“Tangan (kekuasaan) Allah di atas tangan (kekuasaan) mereka.” (al-Fath : 20)
b)    Takwil ba’id, pengalihan makna lahir suatu lafazh sebegitu jauh. Sehingga tidak diketahui dengan dalil yang sederhana.
Contoh :
امسك ار بعا منهن و فا رق سا ئر هن
“Pengangi yang empat dan ceraikan selebihnya”

فى كل ار بعين شا ة شا ة
“Tipa-tiap 40 kambing, dikenakan zakat seekor kambing”.
Ø Perbedaan antara Tafsir dan takwil
1)    Tafsir adalah memerinci, menampakkan, menyingkap makna al-qur’an dan menjelaskan yang terkandung di dalamnya. Sedangkan takwil adalah
صر ف اللفط عن المعنى الر جح الى معنى المر جو ح لدليل يقتر ن به
“Mengalihkan lafaz dari makna (pengertiannya) yang kuat (rajih) kepada makna lain yang dikuatkan / dianggap kuat (marjuh) karena ada dalil yang mendukung.”
2)    Tafsir lebih umum dari takwil lebih banyak penggunaannya dalam lafaz dan dalam arti mufrod, sedangkan takwil banyak penggunaannya dalam makna dan banyak terdapat di dalam kitab-kitab ilahiyyat.
3)    Tafsir lebih berorientasi pada riwayat dan makna lahir ayat  (jelas) /muhkam, sedangkan takwil lebih mengacu kepada makna tersirat (isyarat) dan pemahaman ayat (samar / mutasyabih).




PENUTUP
          Haqiqah dan majaz adalah 2 kata dalam bentuk mutadhayyifan atau relative term, dalam arti sebagai 2 kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan masuk ke dalam salah satu diantaranya.Adapun pengertian hakikat yaitu lafadz yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan. Sedangkan majaz mempunyai pengertian  lafadz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada arti yang dimaksud.
Untuk Sharih sendiri mempunyai pengertian yaitu Setiap lafadz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk haqiqah atau majaz.Sedangkan kinayah mempunyai pengertian yang berkebalikan dari sharihApa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil.
Takwil ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang terang (dhahir) kepada makna yang tidak terang (lemah / marjuh) karena ada sesuatu dalil yang menyebabkan makna kedua tersebut harus dipakai.

         


DAFTAR PUSTAKA
Karim, A.Syafii. 1995. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Setia.
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Pekalongan Press.
Syarifudinn, Amir.  2001. Ushul Fiqih. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.



[1] Prof. Dr. H.Amir Syarifudin. Ushul Fiqih. (Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2001), hlm.25-37
[2] Prof. Dr. H. Salsia Efendi,M.Zein, MA. Ushul Fiqih. (Jakarta : Kencana, 2005), hlm. 230
[3] Ade Dedi Rohayana, M.Ag. Ilmu Ushul Fiqih. (Pekalongan : STAIN Pekalongan Press, 2006), hlm. 234
[4] Drs. H. A.Syafii Karim. Ushul Fiqih. (Jakarta : Pustaka Setia, 1995), hlm. 199

[5] Ibid. hlm. 234-235
[6] Op.cit. Prof. Dr. H.Amir Syarifudin, hlm.39
[7] Op, cit. Syafii Karim,hlm.199
[8] Ibid, hlm. 40 dan 44-45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar