Cari

Minggu, 07 April 2013

اَلمِسْيَارَ Nikah Misyar


اَلمِسْيَارَ
Nikah Misyar
Oleh : Muhammad Fachmi Hidayat

PENGANTAR
          Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa jaman sekarang melangsungkan pernikahan teramat sulit dan dipersulit. Hal ini disebabkan oleh perbedaan zaman yang semakin jauh dari islam dan beberapa undang-undang yang menjadi kerikil tajam bagi seseorang yang hendak menikah.
          Di indonesia saja misalnya, bahwa sekitar tahun 1970-an pernah direncanakanya suatu undang-undang yang mengatur bahwa pernikahan harus dilakukan oleh lelaki yang berumur 25 tahun keatas dan wanita 19 tahun ketas. Padahal tidak ada satu dasar dari agama Muhammad saw yang mengatur peraturan yang sedemikian. Dan juga dari segi adat (urf), banyak orang tua (wali) dimasa sekarang yang mematok baik-buruk pernikahan dari hal nafkah (finansial) dan bisa tidaknya memfasilitasi istri (sandang, pangan dan tempat tinggal). Bilamana ada dua anak manusia yang saling memadu kasih, namun mungkin saja sang lelaki belum ba’ah dalam hal nafkah melainkan sudah ba’ah dalam hal seksual. Maka seolah-olah tidak ada jalan untuk mereka berdua menghalalkan cinta mereka dalam bingkai nikah yang bersyari’ah.
          Akhirnya oleh sebab masalah-masalah “konyol” diatas, maka dewasa ini banyak para lelaki enggan menikahi atau berani melamar sang pujaan hatinya-sebab masih belum memiliki kemampuan finansial yang baik-. Banyak para lelaki sholeh yang hendak menjaga kesucianya, begitu pula para wanita shaliha terasa sulit untuk menikah sebab masih berstatus pelajar atau mengambil stufi di perguruan tinggi. Banyak para pasangan muda-mudi yang memilih berpacaran ketimbang menikah, yang akhirnya merebaklah perzinahan yang menghinakan. Dan anehnya orang tua hanya “tersenyum” atas semua itu. Maklum, bisa jadi mereka ini tidak mendapat rizqi dari Allah berupa ilmu islam berupa syariat-Nya yang membawa rahmat dan maslahat.

SEKILAS KISAH-KISAH PERNIKAHAN
          Dahulu seorang ulama besar dari Andalusia, Ibnu Hazm  melepas masa lajangnya sekita umur 17 tahun. Ia dinikahkan oleh orang tuanya ketika umurnya masih belia dan belum mampu mencari recehan dinar dan dirham.[1] Semua kebutuhan rumah tangga keluarga Ibnu Hazm ditanggung oleh ayahnya hingga Ibnu Hazm mampu mencari nafkah sendiri untuk menunaikan hak istrinya. Dan selama kewajiban memenuhi nafkah Ibnu Hazm berada ditanggungan sang ayah, ia hanya berkewajiban memenuhi hak istrinya yang lain (mabid dirumah istri dan memenuhi hak jima’).
          Cerita serupa namun tak sama datang dari salah seorang ikhwan yang beruntung, sebab ia mendapatkan istri dan mertua yang paham agama. Ikhwan[2] ini adalah seorang anak yang merantau dari NTB (Nusa Tenggara Barat) ke Jawa (Solo) untuk mencari ilmu agama. Ikhwan ini adalah anak lelaki yang cerdas, fasih dalam berbahasa dan baik pemahaman fikihnya. Akhirnya tak hayal dengan skill yang ia miliki mampu menarik hati seorang akhwat[3]. Oleh sebab akhwat ini sudah menyukai sang ikhwan tersebut, ia melapor kepada ayahnya untuk bisa dinikahkan dengannya. Dan oleh sebab sang ayah tidak mampu menghalangi kemahuan putrinya, maka mahu tidak mahu ia memanggil sang ikhwan.
          Ketika si ikhwan ini dipanggil ia ditawari untuk dinikahkan dengan putrinya, dan iapun mengangguk sebagai tanda bersedianya ia menerima sang akhwat. Namun, disela pembicaraan ia menunjukan ketidak siapan. Sang ikhwan ini menerima sang akhwat namun belum siap menikah dengannya. Dan ketika ditanyakan alasanya, ia beralasan bahwa ia  belum siap secara finansial.
          Namun alasan tersebut tidak diterima oleh sang akhwat dan ayahnya, mereka beralasan ketidak siapan finansial bukan penghalang akan keberlangsungan pernikahan mereka berdua. Akhirya setelah dicarikan jalan keluar, sang akhwat bersedia mengugurkan haknya selaku istri agar bisa memperingan sang ikhwan yang kelak akan menjadi suaminya. Hak yang digugurkan adalah hak sandang, pangan dan hunian[4].
          Akhirnya selama pernikahan mereka, sang ikhwan terbebas dari kewajiban menafkahi (baik biaya hidup harian, uang semseter dan biaya kuliyah). Hanya saja ketika ia memiliki uang lebih terkadang digunakan untuk mentraktir istrinya. Sedangakan sang ikhwan punya hak berkunjung untuk mabid dirumah istrinya (mertua) sebab mereka berdua sudah sah menjadi pasangan suami istri. Sang suami makan di pondoknya dan istrinya juga makan dirumah orang tuanya sendiri, namun juga terkadang sang suami makan dirumah istrinya bersama sang mertua. Hal ini berlangsung sampai sang ikhwan memiliki pekerjaan untuk menunaikan kewajiban memberikan nafkah. Hingga sang ikhwan sarjana dan mendapatkan gelar LC, ia belum jua mendapatkan pekerjaan, hingga ia akhirnya dimodali mertuanya untuk berwiraswata membuat roti kemasan.
          Dan sekarang ikhwan tersebut sudah mapan dan menjadi “bos” roti, roti produksinya sudah bisa dikirim hingga Lampung, Medan dan Makasar, termasuk juga Jawa Tengah dan Bekasi. Inilah rahmat Allah oleh sebab niatan ikhlas mereka dalam bertaqwa pada Allah swt. Ketika penulis mendengar kisah tersebut, penulis sempat berdecak kagum. Kok ada pasangan yang demikian dijaman sekarang. Sehingga penulis ingat kisah Rasulullah ketika menikahkan Fatimah dengan Ali yang belum mapan.
          Ketika itu Rasulullah mendatangi Ali bin Abi Thalib, dan ia ditawari untuk menikah dengan putrinya Fatimah. Namun Ali keberatan sebab tidak memiliki harta untuk mahar pernikahan. Hingga Rasulullah berkata : “Bukankah kau memiliki baju besi (perang), gunakanlah itu untuk mahar”. akhirnya Ali menjual baju besinya untuk mahar. Namun setelah menikah , ternyata Ali belum juga memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya (Fatimah). Hingga segala perkakas rumah tangga Rasulullah saw yang membelikan, dan bahkan ketika Fatimah kerepotan dan membutuhkan pembantu, Fatimah memintanya pada Rasulullah saw. Buakn dengan Ali, sebab ia paham bahwa Ali masih belum mampu memenuhinya. Allahu’alam.

NIKAH MISYAR DALAM BAHASA
          Secara bahasa berasal dari kata اَلسَّيْرُ yang artinya pergi (perjalanan). Bila dikatakan سَارَ – يَسِيْرُ – سَيْرًا – مَسِيْرًا – تَسْيَارًا – مَسِيْرَةً (artinya pergi), maka kata اَلتّسْيَارُ berasal dari wazan (format kata) تَفْعَالٌ dari kata dasar اَلسَّيْرُ . kata ini mengandung pengertian katsrah (terjadi dengan intensitas tinggi).[5]

          Nama اَلمِسْيَارَ ( Al-Misyar ) adalah nama bagi pernikahan, di mana suami pergi ke tempat istrinya. Pernikahan ini dikatakan Misyar dikarenakan suamilah yang bertolak menuju kediaman istri diwaktu-waktu yang sempit.[6] Maksudnya yaitu istri tetap berada di kediamanya sedang suami yang bertandang ke rumahnya, hal ini disebabkan sang suami belum mampu memenuhi nafkah (hunian) pada sang istri sehingga suamilah yang mengunjunginya, bukan istri yang ikut dan berdiam di kediamannya (suami).
          Usamah al-Asyqar menyatakan, “Sesungguhnya kata مِسْيَار sesungguhnya merupakan bentuk mubalaghah, diperuntukan bagi seorang lelaki yang banyak menempuh perjalanan. Sebagai contoh sebuah perkataan رَجُلٌ مِسْيَارٌ وَ سَيَّارٌ (Lelaki yang banyak menempuh perjalanan), yang kemudian menjadi nama untuk pernikahan jenis ini. sebab orang yang menikah dalam pernikahan ini, fleksibel dalam dalam memenuhi hak-hak rumah tangga yang telah diwajibkan oleh syariat (nafkah).[7]
          Sebagian pihak memandang kata misyar adalah bahasa ‘amiyah (bahasa khusus, atau bahasa yang tidak umum diketahui oleh orang / masyarakat), yang berasal dari para Badui di beberapa negeri Arab.[8] Berkaitan dengan ini DR. Yusuf Qardawi mengatakan “ Saya tidak mengetahui makna misyar. Menurutku, ini bukan suatu kata baku. Akan tetapi, bentuk ‘amiyah yang berkembang disebagian khusus negara Teluk. Yang artinya ‘menyempatkan tinggal dalam waktu yang lama’.
          Jadi bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa, misyar adalah bahasa khusus dan bukan bahasa umum (‘am). Yaitu kata misyar ini hanya berlaku atau ada disebagian negara Teluk dan tidak diseluruh Arab. Kata misyar ini hanya populer di daerah Najed Arab Saudi, jadi di daerah Syria, Libanon dan Turki kata misyar ini termasuk bahasa asing. Dan secara bahasa dasar misyar artinya perjalanan atau jalan. Yang oleh sebab itu seorang lelaki yang berjalan dan istrinya menetap.

NIKAH MISYAR DALAM MAKNA
          DR. Yusuf al Qardhawi mengatakan “Sesungguhnya nikah misyar bukanlah model pernikahan baru. Namun,sudah dikenal oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Subsatnsi (makna inti) pernikahan ini adalah istri membebaskan (selaku rukhsah) suami dari memenuhi kewajiban mencarikan tempat tinggal, membayar nafkah, dan istri ini hanya menginginkan menjaga kehormatan dirinya, dicintai dan dilindungi-oleh lelaki yang dicintainya-. Ia tidak menuntut macam-macam dari suaminya, sebab sang istri sudah merasa memiliki kecukupan berupa kekayaan dan kemandirian yang penuh”.[9]
          Al Mukaram Syaikh Abdullah bin Sulaiman bin Mani’ (Ulama Besar Saudi Arabia) mengatakan, “Nikah misyar adalah pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat nikah, yang mengharuskan berlakunya konsekuensi hukum-hukum yang menjadi implikasi dari pernikahan syar’i pada umumnya. Sebagaimana kewajiban menjalin rumah tangga, pemberian nafkah, pertautan tali nasab anak, hukum-hukum talak, Khulu’, nusyuznya istri, masa idah (bila bercerai), baik idah talak atau kematian suami, hak waris mewarisi dan hukum-hukum lainya yang ada dan diatur dalam syara’. Sisi perbedaan nikah misyar dan penikahan syar’i pada umunya adalah bahwasanya sang istri merelakan lepasnya hak pribadinya dalam pembagian nafkah.[10].[11]
          Abdul Malik bin Yusuf al-Muthlaq menjabarkannya dengan, “Nikah misyar yaitu pernikahan Syar’i yang telah melengkapi rukun-rukun dan syarat-syarat yang sudah familiar di kalangan para fuqaha dan jumhur ulama. Hanya saja, disini memuat aspek kerelaan istri untuk mengugurkan sebagian haknya yang telah ditetapkan syari’at kepada suami. Misal, tuntutan nafkah, hunian, mabid. Hal ini berlangsung atas keridhaan istri secara pribadi (buka hasil intervensi wali, atau lainya) atau karena hal-hal lainya. Dan biasanya hal ini tidak perlu dimaktubkan dalam akad nikah.[12].[13]
          Jadi nikah misyar ini adalah sebagaimana pernikahan syar’i pada umumnya, yaitu wajib terpenuhinya rukun dan syarat nikah. Hanya saja didalamnya ada penguguran kewajiban suami atas tertunaikanya hak istri yang dilakukan oleh istri. Sebab hak itu sifatnya adalah boleh diterima dan boleh tidak, dan dalam hal ini sang istri rela tidak mengambil haknya dan memberikan kelapangan pada suami untuk tidak menunaikan kewajibannya yaitu memenuhi hak istri tersebut. hal ini sudah sesuai dengan syara’ yang berlaku dan diakui oleh para ulama akan keabsahannya.Allahu’alam.

NIKAH MISYAR DALAM HUKUM
          Hukum nikah secara umum adalah sunnah, namun bila model misyarnya dihukumi mubah. Mengenai nikah model misyar ini para ulama tidak ada yang menghukumi mustahab (dianjurkan) atau dilarang (makruh). Dan mayoritas pengkaji hukum islam sudah menegaskan bahwa nikah model misyar ini, selama syarat dan rukun nikah sebagaimana nikah syar’i pada umumnya terpenuhi maka dihukumi sah. Dan tetap adanya tuntutan konsekuensi sebagaimana nikah syar’i pada umunya seperti kewajiban menjalin rumah tangga, pemberian nafkah, pertautan tali nasab anak, hukum-hukum talak, Khulu’, nusyuznya istri, masa idah (bila bercerai), baik idah talak atau kematian suami, hak waris mewarisi dan hukum-hukum lainya yang ada dan diatur dalam syara’. Diantara ulama yang berpenapat sedemikian itu adalah :
1.     Syaikh Abdul Aziz bin Baz
2.     Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh (Mufti Besar Karajaan Saudi Sekarang)
3.     Syaikh Abdullah bin Mani’
4.     Syaikh Sayyid Thantawi (Syaikh Besar Al Azhar Mesir)
5.     Syaikh, Prof,DR. Yusuf Qardhawi
6.     Syaikh, Prof,DR. Wahbah az-Zuhaili (Ulama Syiria)
7.     Syaikh, DR. Ahmad Al-Hajj al-Kurdi
8.     Syaikh Al Qari’ Su’ud as-Syuraim (Imam dan Khatib Masjid Al Haram dan ulama terpercaya lainya.[14].[15]
          Keputusan hukum ini berdasarkan kaidah fikih “Yang menjadi pedoman transaksi-transaksi adalah tujuan dan kandungannya, bukan teks ataupun bentuknya”.
          Esensi nikah adalah ibadah, menjaga diri dari zina dan meneruskan keturunan. Jadi jangan sampai teks-teks yang ada seperti menunaikah nafakah, penyediaan hunian dan sejenisnya menjadi penghalang atas esensi nikah tersebut yang lebih utama. Namun hal ini tidak berarto mengindahkan teks yang sudah ada, ketetapan teks tetap diperjatikan. Namun dalam hal yang khusus bisa dikompromikan dengan keadaan yang ada. Masalah ini bisa dibagikan antara genting dan penting. Nafkah, hunian, sandang, pangan adalah penting dalam pernikahan namun yang genting adalah esensi nikah yaitu agar tertunaikanya ibadah, kelestarian keturunan/umat islam, dan tidak terciptanya perzinahan. Maka tidaklah “lucu” bila maslah penting menumbangkan yang genting, yang ada dan logis adalah masalah genting harus didahulukan daripada yang penting.
          Seperti shalat berjamaah itu penting, namun menolong orang sekarat adalah genting. Maka menunaikan shalat jama’ah namun membunuh orang (sebab tidak menolongnya padahal ia sekarat) adalah perkara kemunkaran yang nyata, padahal esensi shalat adalah mencegah perkara munkar. Namun sebab menuruti shalat berjamaah malahan menyebabkan perkara munkar, ini artinya esensi shalat tidak tercapai. Maka dari itu menunaikan yang genting (menolong oarang sekarat) lebih diutamakan daripada shalat berjamaah.
          Begitupula pernikahan yang esensinya adalah ada 3 sebagaimana dijelaskan Ibnu Qayim. Yaitu; Ibdah, meneruskan keturunan dan mencegah zina/menunaikan fitrah biologis. Jangan sampai esensi tersebut terhalang oleh perkara seperti, keberatan memenuhi nafkah, menyediakan hunian dan membelikan sandang dan pangan. Maka sebab itulah model misyar sebagaimana tersebut diatas dibenarkan.

NIKAH MISYAR DALAM HIKMAH

          DR. Yusuf Qardawi menjelaskan bahwa hikmah nikah misyar ini adalah mempermudah tercapainya tujuan pernikahan, sebagaimana menghindari perzinahan, tertunaikanya nilai ibadah dan terlestarikanya keturunan. Terlebih dijaman sekarang ini banyak kerikil-kerikil dalam menghambat tertunaikannya pernikahan oleh sebab-sebab sebagaimana studi (sedang kuliyah), ketidak mampuan nafkah, banyaknya perawan tua, kemiskinan dan lainya.[16]


SYARAT BERLAKUNYA MISYAR
          Adanya misyar ini adalah dari pihak wanita / istri. Dimana ia haruslah wanita baligh, berakal dan berpikiran lurus. Terbebas dari paksaan dan atas kehendak dan kesadarannya sendiri. Sebab dalam nikah model ini, ialah yang akan akan menjalaninya.[17]

SEBAB NIKAH MISYAR DIHARAMKAN
          Nikah misyar bisa dikenai keharaman bila nikah model ini dijadikan tujuan untuk niatan jahat dan perkara haram lainya. Seperti digunakan untuk memperdaya istri sehingga istri terdzalimi sehingga seolah hanya sebagai alat pemuas nafsu, dikarenakan terlepaskannya hak dia dan kewajiban suami sebagaimana diatur dalam syara’. Hal ini ditegaskan oleh para ulama seperti Syaikh Nasrudin al Bani, DR. Ibrahim Fadhil dan Dr. Muhammad az Zuhaili.[18]
          Maka dari itu dalam hal ini sang istri harus berhati-hati dalam mencari suami, carilah benar-benar suami yang terpercaya tanggung jawab dan kasih sayangnya. Dalam hal ini biasanya ada dalam lelaki yang shaleh dan khusuk shalatnya. Sebab shalat ksusuk adalah wujud atau buah dari baiknya kelakuan. Inilah yang diterangkan oleh Syaikh Jamil Zainu.

NIKAH MISYAR DALAM TIMBANGAN
          Memang benar bahwa secara keumuman nikah misyar ini kurang ideal, namun keidealan tersebut sebenarnya tergantung dari situasi. Sebagaimana bila ada seorang lelaki yang sedang studi, dan ia harus menikah. Sedang ia adalah lelaki yang tidak kuat finansialnya. Apakah ia harus menikah dengan menunggu ia harus selesai studinya sedang ia adalah manusia biasa yang rawan fitnah dan memiliki dorongan fitrah yang juga kuat layaknya manusia pada umumnya. Maka dalam hal ini sang istri bisa memberikan kelonggran pada sang suami untuk tidak memberatkanya sebagaimana disebutkan diatas. Sebab sangat berat bila ia harus memikul beban biyaya nafkah, studi dan orang tuanya (bila ia anak pertama yang menjadi tumpuan keluarga). Sedang ia memiliki dorongan fitrah yang kuat, keinginan ikhlas untuk beribadah, mejaga kehormatan dan saling cinta serta menyayangi dengan orang yang dicintainya. Maka dalam hal ini sang istri sah-sah saja tidak menuntut haknya dalam hal  nafkah, hunian, sandang dan pangan selama suaminya studi. Dan bisa juga nanti-insyaAllah- ketika suami selesai masa studinya. Ia bisa mencabut pembebasan haknya dan kembali menuntut haknya, sebab suami sudah leluasa konsentrasi mencari nafkah sebab ia sudah tidak lagi studi.

KISAH NIKAH MISYAR DI AL AZHAR
          Kebanyakan para pemuda yang sudah bermulazamah, diaman status mereka adalah selaku mahasiswa yang hidup dari beasiswa dan belum mampu mencari nafkah. Melakukan pernikahan dengan model nikah misyar. Pasalnya sangat berat jika mahasiswa sedemikian menunaikan pernikaha sebagimana nikah pada umunya.
          Sebab mahasiswa yang berbeasiswa ini biasanya dari golongan keluarga yang berekonomi menengah. Maka dari itu bisa dibayangkan perihal kegiatan mereka, rata-rata S1 yang mereka tempuh adalah usia 20-24 tahun dan bila dilanjutkan ke S2 bisa sampai berkisar 26-27 tahun. Apakah mereka akan menunggu menikah ketika mereka lepas dari keterikatan studinya yaitu di umur 27 tahun. Sungguh jika benar demikian maka ini adalah siksaan bagi mereka, yaitu mereka harus menahan gejolak syahwat mereka hingga umur 27 tahu, apakah ada yang menjamin kehormatan mereka terjaga ?. serta bisa jadi mereka sudah ingin ikhlas menikah (ibadah) dan juga memadu kasih dengan kekasihnya.
          Maka dari itu banyak diantara mahasiwa al-Azhar dari berbagai penjuru melakukan nikah misyar baik dengan mahasiswi yang satu negara atau negara lain. Bahkan ada yang menikah dengan perempuan asli Mesir. Maka tidak heran bila ada sebagian mahasiswa al-Azhar selain pulang membawa gelar juga membawa istri. Biasanya sang istri oleh sebab mengetahui suaminya sudah terikat studi hingga S2 mereka merelakan haknya untuk tidak menuntut nafkah. Sehingga sang istri biasanya bila sesama mahasiwa al azhar, ia akan makan dengan uang besiswanya sendiri dan tidak meminta beasiswa suami. Atau jika ia wanita non-mahasiwa, ia tidak menuntut nafkah pada suaminya dan ia biasanya mendapatkan nafkah dari pekerjaan mereka sendiri atau dari orang tua. Namun dalam keseharian perjalanan pernikahan mereka, mereka tetap menjalankan konsekuensi pernikahan syara’ pada umunya (sebagaimana dijelaskan diatas).[19]

KESIMPULAN
          Nikah Misyar dibenarkan dan sah selama memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam syara’. Adanya walimah (pengumuman) pada khalayak dan tidak disembunyikan. Nikah misyar ini adalah wujud saling meringankan beban dan ta’awun, serta salah satu solusi dari problematika hidup yanga ada. Niakh misyar adalah model nikah yang sifatnya khas (khusus), dan tidak bisa diumumkan. Pernikahan ini adalah nikah yang dilakuakn oleh para pelaku yang khusus, seperti pelajar yang dituntut dan sudah terikat dengan studi mereka sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk leluasa mencari nafkah. Sedang keadaan menuntut mereka untuk menikah, entah dorongan syahwat/ingin menjaga kehormatan, sudah ingin menunaikan ibadah nikah atau alasan penting lainya. Jika ada pemuda yang pas-pasan (miskin) dan tidak ada situasi yang sifatnya memungkinkan untuk terpenuhianya keabsahan nikah misyar, maka hal ini tidak bisa dibenarkan. Ia harus tetap menunaikan hak istri sebagimana nafkah, sandang, pangan dan hunian semampu mereka.Allahu’alm bis shawab
Pekalongan, 07 April 2013
Muhammad Fachmi Hidayat
Fi baiti jannati



                [1] Sebab Ibnu Hazm waktu itu masih berstatus pelajar dan masih konsen belajar ilmu hadits, Fikih dan tahfidz Qur’an. Sehingga mustahil ia punya waktu untuk mencari nafkah.
                [2] Ketika itu umurnya 22 tahun, dan berada di semester 7 disebuah M’ahad Ali di Solo
                [3] Sang akhwat pada waktu itu masih semester 5 disebuah Universitas Swasta di Solo.
                [4] Hak mutlak yang wajib atas istri dari suami berdasarkan nash dan Ijma’ hanya 4 ; sandang (pakaian), pangan (makan dan minum), hunian dan jima’ (persetubuhan).
                [5] Lihat Lisan ‘Arab,Ibnu Manzur, 4/389.
                [6] Lihat Zawaj al Misyar, al-Muthlaq, hal. 75
                [7] Lihat Mustajiddad Fiqhiyah fi Qadhaya az-Zawaj wa ath-Thalaq, hal. 161-162.
                [8] Lihat Nikah al-Misyar, ‘Irfan Salim Al-‘Asya Hasunah, hal. 2.
                [9] Lihat Zawaj al-Misyar Haqiqatuhu wa Hukmuhu, Yusuf Qardawi, hal. 9.
                [10] Majalah Ad-Dakwah¸hal. 56. Edisi : 1843.
                [11] Pelepasan pemberian nafkah ini menurut Syaikh Abdurrahman al Adli, adalah bahwasannya ini selaku keringan dari sang istri pada suami oleh sebab melihat kondisi suami yang sifatnya khusus. Seperti misal sang suami masih menjalani studi, sedang studi itu membutuhkan banyak biyaya. Maka dalam hal ini selama sang suami masih dalam masa studi, sang istri merelakan hak terpenuhinya nafkah dari suami selaku kewajibanya untuk tidak ditunaikan. Namun tidak berarti ketika ada uang lebih suami tidak boleh memberikan nafkah pada istrinya. Dan jika sang suami sudah dirasa longgar keuanganya, semisal sang suami sudah selesai studi sehingga ia bisa konsen mencari nafkah. Sang istri bisa kembali mencabut keringanan tersebut dan menuntut kembali hak nafkahnya. Hal ini adaah wujud ta’awun dan tolong menolong dalam ketaqwaan. Sebab sesama muslim harus saling meringankan beban dan membantu dalam ketakwaan. Allahu’alam.
                [12] Lihat Zawaj al-Misyar, al Munthalaq, hal. 77.
                [13] Seperti contohnya adalah “saya terima nikahnya fulanah dengan mahar ini dan itu dan juga disyaratkan bahwa kewajiban menafkahi saya atas dia gugur”. Jadi tidak usah termaktub dalam akad seperti ini. akad tetap berjalan seperti akad pada umunya. Hanya saja penyampaian maksud istri untuk mengugurkan haknya adalah pada sesi lain (atau diluar akad nikah).
                [14] Lihat, as Zawaj al-Urfi, Prof,Dr. Yusuf ad-Duwairisi, hal.32.
                [15] Dalam hal ini (Nikah Misyar) Syaikh Ibnu Utsaimin abstain (tawaquf)
                [16] Lihat Zawaj al-Misyar, Yususf Qardawi, hal. 10-11
                [17] Lihat Zawaj al-Misyar, Yususf Qardawi, hal. 10-12
                [18] Lihat Nikah al Misyar, Irfan Salim, hal. 14.
              [19] Menurut survei yang ada, mahasiwi yang melakukan nikah misyar ini merasa diuntungkan sebab ia lebih dicintai, diperhatikan dan dihargai suami mereka. Hal ini disebabkan sang suami merasa berhutang budi atas kemurahan sikap sang istri. Namun hal ini tidak berarti mengurangi hormat istri pada suaminya. Mereka tatap memperhatikan konsekuensi pernikahan syara’ pada umumnya, seperti kewajiban menta’ati suami, melayani suami semampu mereka (menyediakan sarapan, menyetrikakan baju dan melayani jima’). Bisa dikatakan bahwa salah satu prinsip nikah misyar yang cukup esensial adalah perihal ta’awun bil birri wa ta’qwa (tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan)






REFERENSI PEMBANDING :

1 komentar: