PENDAHULUAN
Untuk
menginterpretasikan Qur ‘an dan sunah dalam upaya mendeduksi ketentuan –
ketentuan hukum dari petunjuk – petunjuk yang diberikannya. Bahasa Qur’an dan
Sunah harus dipahami secara benar agar dapat menggunakan sumber – sumber ini
mujtahid harus mengetahui kata – kata nash dan implikasi – implikasinya secara
tepat. Untuk tujuan ini para ulama’ ushul fiqh memasukkan klasifikasi kata –
kata dan pemakaian – pemakaiannya kedalam metodelogi Ushul Al – Fiqh.
Biasanya
mujtahid tidak akan melakukan interpretasi jika nash itu sendiri sudah
merupakan dalil yang jelas. Tetapi sejauh ini, fiqh sebagian besar memuat
ketentuan – ketentuan yang dirumuskan melalui interpretasi dari ijtihad,
sebagai mana nanti akan didiskusikan.
Dari
sudut pemakaian yang sesunguhnya, seperti apakah suatu kata digunakan dalam
makna utamanya, makna harfiyah, makna teknis, ataukah maknanya yang lazim, kata
– kata juga diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama : harfiyah ( haqiqi)
dan metaforsis (majazi)
Disini
kita akan membahas tentang apa itu Haqiqah, majaz, sharih, qinayah dan ta’wil.
PEMBAHASAN
HAQIQAH, MAJAZ, SHARIH, KINAYAH &
TA’WIL
A.
Haqiqah dan Majaz
1.
Pengertian Haqiqah dan Majaz
Haqiqah dan majaz adalah 2 kata dalam bentuk mutadhayyifan atau
relative term, dalam arti sebagai 2 kata yang selalu berdampingan dan setiap
kata akan masuk ke dalam salah satu diantaranya.
v Menurut Ibnu Subhi haqiqat adalah :
هو اللفظ المستعمل فيما و ضع له ابتد ا ء
“lafadz
yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan”
v Ibnu Kudamah memberikan definisi
هو اللفظ المستعمل في مو ضو عه الا صلى
“lafadz yang digunakan
untuk sasarannya semula”.
v Menurut Al-Sarkhisi :
كل لفظ هو مو ضو ع فى الا صل لشئ معلو م
“setiap lafaz yang ia
tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu”.
Contohnya seperti kata “kursi
menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan
kaki. Meskipun kemudian kata “kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian
“kekuasaan”, namun tujuan semula kata “kursi” bukan untuk itu tetapi tempat
duduk.
Dari segi ketetapannya sebagai
haqiqah, para ulama membagi “haqiqah” itu kepada beberapa bentuk :
1)
Haqiqah
lughawiyah yang ditetapkan oleh bahasa itu sendiri, yaitu : lafal yang
digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa. Contohnya, kata “manusia”
untuk semua hewan yang berakal.
2)
Haqiqah
syar’iyyah yang ditetapkan oleh syar’i (pembuat hukum sendiri) yaitu :
هو اللفظ المستعمل فى المعنى المو ضو ع له شر عا
“lafadz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh
syara’. ”
Umpamanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari
perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam”.
3)
Haqiqah
‘urfiyah khashshah yang ditetapkan oleh kebiasaan suatu lingkungan tertentu,
yaitu :
هو اللفظ المستعمل فى معنى عر في خا ص يصطلح عليه
جما عة او طا ئفة منه
“lafadz yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang
biasa digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya”.
Umpamanya istilah ijma’ yang berlaku di kalangan ahli fiqih.
4)
Haqiqah
‘urfiyah ‘ammah yang yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara umum,
yaitu :
هو
اللفظ المستعمل فى معنى عر في عا م
“lafadz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam
kebiasaan umum”.
Umpamanya penggunaan kata dabbah dalam bahasa arab untuk hewan
ternak yang berkaki empat.
v Kemudian Tajuddin Al-Subhi menjelaskan bahwa lafadz adalah :
هو اللفظ المستعمل بو ضع ثا ن لعلا قة
“lafadz yang digunakan untuk
pembentukan kedua karena adanya keterkaitan”.
v Al-Sarkhisi memberikan definisi
اسم
لكل لفظ هو مستعا ر لشى ء غير ما و ضع له
“Nama untuk
setiap lafadz yang dipinjam untuk digunakan
bagi maksud diluar apa yang ditentukan”.
v Menurut Ibnu Qudamah :
هو اللفظ المستعمل فى غير مو ضو عه على وجه يصح
“lafaz yang
digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan”
Dari beberapa
contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafadz majaz tersebut,
yaitu :
1)
Lafadz
itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh
suatu bahasa
2)
Lafadz dengan bukan menurut arti sebenarnya
itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada arti yang dimaksud.
3)
Antara
sasaran dari arti lafadz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti
lafadz itu memang ada kaitannya.
Pada dasarnya
setiap pemakai kata ingin menggunakan lafadz untuk arti menurut hakikatnya.
Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak menggunakan haqiqah
itu dengan menggunakan majaz. Di antara hal yang mendorong kearah itu adalah
sebagai berikut :
a)
Karena
berat mengucapkan suatu lafadz menurut haqiqahnya. Oleh karenanya ia beralih
kepada majaz.
b)
Karena
buruknya kata haqiqah itu bila digunakan.
c)
Karena
kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqiqah.
d)
Karena
untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghahnya).
2.
Macam-Macam Majaz
Adapun
bentuk-bentuk majaz adalah sebagai berikut :
1)
Adanya
tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya. Seandainya
dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya.
Umpamanya tambahan kata ك yang berarti “seperti” yang terdapat dalam
firman Allah, surat al-syura’ (42) : 11 :
ليس
كمثله شىء
“tidak
ada seperti semisal sesuatu pun”.
Seandainya ada ك (seperti) itu
tidak ada, sebenarnya tidak akan mengurangi artinya. Adanya tambahan ini
menempatkannya sebagai majaz, karena berlebihan dari hakikatnya.
2)
Adanya
kekurangan dalam suatu susunan suatu kata dari yang sebenarnya. Kebenaran maksud dari lafadz itu terletak pada yang
kurang itu.
Umpamanya
firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82 :
و
سئل القر ية
“Tanyalah kampung itu”
Pengertian
dalam bentuk hakikatnya adalah “tanyalah penduduk kampung itu”. Adanya
kekurangan kata “penduduk” dalam kata “kampung” di atas, menjadikannya sebagai
majaz.
3)
Mendahulukan
dan membelakangkan atau dalam pengertian “menukat kedudukan suatu kata”. Umpamanya firman Allah
dalam surat al-Nisa’ (4) : 11 :
من
بعد و صية يو صى بها او د ين
“Sesudah
mengeluarkan wasiatnya dan membayarkan hutangnya”
Maksud
sebenarnya adalah “sesuatu membayarkan hutang dan mengeluarkan wasiatnya”
4)
Meminjam
kata lain atau isti’arah yaitu menamakan sesuatu dengan menggunakan (meminjam
kata lain). Seperti memberi nama si A yang “pemberi” dengan “singa”.
·
Isti’arah
(peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari penggunaan
lafadz majaz.
3.
Cara Mengetahui Haqiqah Dan Majaz
Untuk mengetahui lafadz haqiqah adalah secara sima’i سما عى yaitu dari pendengaran terhadap
apa yang biasa dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ada cara lain untuk
mengetahuinya selain dari itu. Juga tidak dapat diketahui melalui anlogi.
Sebagaimana keadaan hukum syara’ yang tidak dapat diketahui kecuali melalui
nash syara’ itu sendiri.
Cara untuk mengetahui lafadz majaz adalah melalui usaha mengikuti
kebiasaan orang Arab dalam penggunaan isti’arah (peminjaman kata). Adapun cara
orang Arab menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya
kaiatan antara maksud kedua kata itu baik dalam bentuk maupun dalam arti.
Beberapa hal yang dapat dijadikan penunjuk dalam membedakan antara
haqiqah dengan majaz, diantara adalah sebagai berikut :
1)
Salah
satu diantara kedua lafadz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman dibanding
dengan yang lain. Itulah yang haqiqah sedangkan yang agak lambat menyentuh
pemahaman adalah majaz.
2)
Salah satu diantara kedua lafadz itu dapat
dikembangkan atau ditasyrifkan ke dalam beberapa lafadz.
3)
Ketentuan
Yang Berkenaan Dengan Haqiqah Dan Majaz
Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan
haqiqah dan majaz adalah sebagai berikut
:
1)
Bila
suatu lafadz digunakan antara haqiqah atau majaz, maka lafadz itu ditetapkan
sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafadz atau kata
adalah untuk haqiqahnya. Lafadz itu pun bukan mujmal مجملkecuali bila ada dalil yang
menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah majaz. Dengan menjadikan setiap
lafadz yang memungkinkan untuk dijadikan majaz. Sebagai mujmal, maka akan tercapai yang dimaksud yaitu
pemahaman.
2)
Pada
haqiqah harus ada sasaran atau maudhu dari lafadz yang digunakan, baik dalam
bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu pula pada
majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafadz yang lainnya, baik
dalam bentuk umum maupun khusus. Dan antara
2 bentuk lafadz itu tidak terdapat pertentangan, karena majaz itu pengganti
haqiqah.
3)
Haqiqah
dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafadz dalam keadaan yang sama.
Artinya, masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-sendiri, karena haqiqah adalah
asalnya sedangkan majaz hanya kata yang dipinjam. Keduanya tidak dapat
berkumpul dalam satu lafadz.
Di kalangan
ulama Hanafiah ada yang berpendapat antara haqiqah dan majaz, keduanya bertemu
dalam dua tempat yang berbeda, dengan syarat, majaz itu tidak akan sampai
mendesak haqiqah.
Dalam
al-qur’an, surat al-Nisa’ (4) : 23, Allah berfirman :
حر
مت عليكم امها تكم و بنا تكم
“Diharamkan
atasmu ibu-ibu mu dan anak-anak mu”.
Kata “ibu-ibu” امها تكم dalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat digunakan
“nenek”, namun penggunaan untuk “nenek” adalah dalam bentuk majaz. Begitu pula
kata “anak-anak” ( ابنا ء) dapat digunakan untuk “cucu”, namun
penggunaan untuk “cucu” adalah dalam
bentuk majaz, sedangkan haqiqahnya adalah untuk anak kandung.
v Penyebab tidak berlakunya haqiqah
Pada dasarnya adalam setiap
menggunakan lafadz harus dalam bentuk haqiqahnya dan tidak boleh beralih kepada
yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan
haqiqahnya, yaitu dalam keadaan sebagai berikut :
a)
Adanya
petunjuk penggunaan secara ‘urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafadz.
Dalam
hal haqiqah lafadz lafadz ditinggalkan,
maka yang diamalkan (dipegang) adalah apa yang mudah dipahami dari lafadz
tersebut. Alasannya adalah karena suatu kalimat (ucapan) ditentukan untuk
dipahami dan bila telah terbiasa orang menggunakan suatu lafadz untuk maksud
tertentu maka pengggunaan lafadz itu sudah menempati kedudukan “haqiqah”.
Umpamanya lafaz “shalat” ; menurut haqiqah penggunaannya adalah untuk “do’a”.
Tetapi karena sudah diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah
suatu bentuk tertentu dari perbuatan ibadat, maka pengertian shalat yang arti
hakikatnya adalah do’a itu tidak lagi digunakan. Firman Allah yang menyuruh
shalat dalam surat Thaha (20) : 14 :
ا قم
الصلا ة لذكر ي
“Dirikanlah
shalat untuk mengingat Aku”
b)
Adanya
petunjuk lafadz.
Dalam
hal ini suatu lafadz memberi petunjuk kepada sesuatu secara haqiqah, namun yang
dimaksud bukan untuk itu.
Contohnya,
bila seseorang berkata, “Demi Allah saya tidak makan daging.” Ternyata kemudian
ia makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak melanggar sumpah; karena
pengertian “daging” berlaku untuk segala macam daging secara hakikatnya. Namun
pengertian menurut haqiqah ini tidak lagi digunakan karena petunjuk lafaz
menghendaki “daging” itu selain dari ikan dan belalang yang keduanya tidak
disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya yang digunakan, maka orang yang
bersumpah itu melanggar sumpahnya.
c)
Adanya
petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.
Dalam
mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun diucapkan dengan cara
lain walaupun dalam bentuk haqiqah, harus dikembalikan kepada aturan yang ada
walaupun berada di luar haqiqah. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Kahfi
(18) : 29 :
فمن
شا ء فليؤ من و من شا ء فليكفر انا ا عتد نا للظا لمين نا را
“Barang siapa yang mau, berimanlah, dan barang siapa yang mau,
kafirlah, sesungguhnya kami menyediakan neraka bagi orang yang zhalim.”
d)
Adanya
petunjuk dari sifat pembicara
Meskipun
si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti menuntut apa yang
diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui bahwa ia tidak
menginginkan sesutau menurut yang diucapkan. Dalam hal ini, maka haqiqah yang
diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.
Umpamanya
firman Allah dalam surat al-Isra’ (17) : 64 :
و
استفزز من استطعت منهم بصو تك
“Dan
hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan ajakanmu.”
e)
Adanya
petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.
Berdasarkan
haqiqah penggunaan lafadz, lafadz itu harus dipahami menurut apa adanya, namun
ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafadz itu menurut
haqiqahnya.
Umpamanya
firman Allah dalam surat al-Fathir (35) : 19 :
و ما
يستو ى الا عمى و البصير
“Tidak
sama orang buta dengan orang yang melihat”
v Keberadaan majaz dalam ucapan
Pembicaran tentang haqiqah dan
majaz, berlaku dalam lafadz (ucapan). Namun dalam hal apakah majaz itu ada (terjadi) dalam
ucapan (lafadz) yang bersifat syar’i, terdapat beda pendapat di kalangan ulama.
a)
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan, baik dalam
ucapan syar’i (pembuat hukum) dalam al-qur’an dan sunnah, sebagaimana terjadi
dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang digunakan.
Keberadaan
majaz itu terlihat dalam beberapa ayat al-qur’an dan hadist Nabi seperti
penggunaan lafaz “mulamasah” yang berarti saling bersentuhan dalam al-qur’an,
surat al-Nisa’ (4) : 34, sebagai ganti dari ucapan “jima” tau bersetubuh yang
berkaitan dengan hukum batalnya wudhu”.
b)
Abu
Ishak Al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian majaz. Apa
yang selama ini dianggap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah, karena ada
petunjuk yang menjelaskannya.
c)
Golongan
ulama Zhahiri menolak adanya majaz dalam al-qur’an dan hadist Nabi. Seandaianya
menemukan firman Allah Swt. yang mengggunakan bahasa untuk digunakan dalam
artian syar’i , maka hal itu bukan berarti majaz, tetapi konteks penggunaannya
sudah secara haqiqah syar’i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam
al-qur’an dan hadist adalah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya)
berarti dusta, sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari dusta.
B.
Sharih dan Kinayah
Secara arti kata, sharih dari kata sharaha berarti
terang ; ia menjelaskan apa yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan
ungkapan yang seterang mungkin.
Dalam
pengertian istilah hukum, sharih berarti :
كل
لفظ مكشو ف المعنى والمراد حقيقة او مجا ز ا
“Setiap lafadz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam
bentuk haqiqah atau majaz”.
Maksud yang dikehendaki oleh pembicara dapat diketahui dari lafadz
yang digunakan tanpa memerlukan penjelasan lain. Umpamanya pada waktu seseorang
ingin menceraikan isterinya, ia berkata kepada isterinya, “engkau saya
ceraikan”.
Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang secara arti
kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukan arti lain.
Dalam
pengertian istilah hukum, kinayah adalah :
ما
يكو ن المرا د باللفظ مستو را ا لى ان يتبين با لد ليل
“Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai
dijelaskan oleh dalil”.
Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak
dari lafadz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah,
karena masih memerlukan penjelasan.
Penggunaan nama seseorang dengan memakai kata ganti-nama termasuk kinayah.
Kalau dikatakan “Si Ahmad sedang sholat dengan tekun,” akan mudah orang
memahaminya. Tetapi kalau dikatakan, “ia sedang shalat dengan tekun,” orang
akan bertanya, “siapa yang sedang shalat itu?”.
Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud, termasuk kinayah.
Umpamanya seseorang mengatakan kepada isterinya, “pulanglah kau ke rumah ibu
mu,”. Ungkapan ini mengandung beberapa maksud : dapat berarti cerai dan dapat
pula berarti pulang sementara. Bila seseorang menggunakan ucapan tersebut
kepada isterinya dan yang dimaksud dengan ucapannya itu untuk cerai, bearti ia
menggunakan lafaz kinayah untuk “cerai”.
Dari segi apa yang diucapkan seseorang, kalau suatu lafaz bukan
menunjukan pada arti yang sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan majaz.
Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu :
Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud oleh
lafaz sebenarnya dengan lafaz lain yang dipinjam untuk itu. Umpamanya orang
“pemberani” disebut “singa”. Tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa
keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya menamai seseorang
dengan menggunakan nama anaknya meskipun kebetulan sifat orang itu berbeda
dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anaknya pemberani
dinamai dengan suja’ secara kinayah si ayah akan dinamai Abu Suja’.
Padahal si ayah sendiri seorang penakut. Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada
keterkaitan antar lafadz yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya.
Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz sharih dalam ucapan adalah
berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya, tanpa memerlukan
pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula menggunakan ungkapan yang
resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai” untuk memutuskan hubungan antara suami
isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz itu diucapkan, maka berlangsunglah
perceraian, seperti : “saya ceraikan engkau”, “hai, cerai”, “kita bercerai”,
atau kata lain yang sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang berlaku
terhadap lafaz kinayah adalah bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang
diinginkan dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam hati
; atau cara lain yang sama artinya dengan itu. [1]
C. Takwil
Kata
takwil berasal dari kata dasar al-awlu
yang menurut bahasa berarti ar-ruju’u ila
al-ashl (kembali pada asal), dan dalam bentuk kata takwil berarti
mengembalikan sesuatu kepada asal.[2]
Secara
estimologi, Takwil di musytaq dari kata aw-awla
yuawwilu ta’wilan yang berarti at-tafsir
(penjelasan), al-marja’ (kembali), al-mashir (tempat kembali), dan al-jaza’ (balasan).[3]
Takwil
ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang terang (ahahir) kepada
makna yang tidak terang (lemah / marjuh) karena ada sesuatu dalil yang
menyebabkan makna kedua tersebut harus dipakai.[4]
Menurut
Imam Al-Ghazali, takwil dalam kitabnya Al-Mustashfa yaitu takwil itu merupakan
ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang
didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukan oleh lafazh dzahir.
Pada
mulanya takwil tidak ada dan tidak terbentuk, kecuali dengan dalil. Semua dalil
dianggap hujjah karena kejelasan dan keberadaannya, sehingga lafazh mutlaq
berlaku sesuai kemutlaqannya dan tidak diikat, kecuali dengan dalil. Landasan
umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan mengambil
ketetapan hukum.[5]
Ø Ciri-ciri
dari takwil yaitu:
1) Lafazh
itu tidak lagi dpahami menurut arti lahirnya.
2) Arti
yang dipahami dari lafadz itu adalah arti lain yang secara umum juga dijangkau
oleh arti zahir lafazh itu.
3) Peralihan
dalil arti zahir kepada arti lain itu menyandar kepada petunjuk dalil yang ada.[6]
Ø Syarat-syarat
takwil yaitu:
1) Takwil
harus berdasarkan dalil syara’, baik nash (Al-Qur’an dan hadits), Qiyas ataupun
jiwa syariat dan dasar-dasarnya yang umum.
2) Kalau
dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (Qiyas jali).
3) Takwil
harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syariat.[7]
4) Lafazh
itu dapat menerima takwil.
5) Lafazh
itu mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan.
Ø Macam-macam
takwil, ada 2, yaitu:
1) Takwil
Al-Qur’an atau hadits Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat Tuhan
dengan apa yang berlaku dikalangan manusia padahal kita mengetahui bahwa Allah
itu tidak ada yang menyamai-Nya.
2) Takwil
bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi.[8]
Ø Bentuk-bentuk
takwil yaitu:
1) Dari
segi diterima ada tidaknya suatu takwil, ada 2, yaitu:
a) Takwil
maqbul atau takwil yang diterima.
b) Takwil
ghair al-maqbul atau takwil yang ditolak.
2) Dari
segi dekat / jauhnya pengalihan makna lafazh yang ditakwil dari makna zahirnya,
takwil dibagi 2 bentuk, yaitu:
a) Takwil
qarib, takwil yang dekat dari artinya zahirnya.
Contoh :
يد
الله فو ق ايد يهم
“Tangan
(kekuasaan) Allah di atas tangan (kekuasaan) mereka.” (al-Fath
: 20)
b) Takwil
ba’id, pengalihan makna lahir suatu lafazh sebegitu jauh. Sehingga tidak
diketahui dengan dalil yang sederhana.
Contoh :
امسك ار بعا منهن و فا رق سا ئر هن
“Pengangi
yang empat dan ceraikan selebihnya”
فى كل ار بعين شا ة شا ة
“Tipa-tiap 40 kambing, dikenakan zakat seekor kambing”.
Ø Perbedaan antara Tafsir dan takwil
1)
Tafsir
adalah memerinci, menampakkan, menyingkap makna al-qur’an dan menjelaskan yang
terkandung di dalamnya. Sedangkan takwil adalah
صر ف
اللفط عن المعنى الر جح الى معنى المر جو ح لدليل يقتر ن به
“Mengalihkan lafaz dari makna (pengertiannya) yang kuat (rajih)
kepada makna lain yang dikuatkan / dianggap kuat (marjuh) karena ada dalil yang
mendukung.”
2)
Tafsir
lebih umum dari takwil lebih banyak penggunaannya dalam lafaz dan dalam arti
mufrod, sedangkan takwil banyak penggunaannya dalam makna dan banyak terdapat
di dalam kitab-kitab ilahiyyat.
3)
Tafsir
lebih berorientasi pada riwayat dan makna lahir ayat (jelas) /muhkam, sedangkan takwil lebih
mengacu kepada makna tersirat (isyarat) dan pemahaman ayat (samar /
mutasyabih).
PENUTUP
Haqiqah
dan majaz adalah 2 kata dalam bentuk mutadhayyifan atau relative term, dalam
arti sebagai 2 kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan masuk ke
dalam salah satu diantaranya.Adapun pengertian hakikat yaitu lafadz yang digunakan untuk sesuatu yang
ditentukan. Sedangkan majaz mempunyai pengertian lafadz
dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi
arti kepada arti yang dimaksud.
Untuk Sharih
sendiri mempunyai pengertian yaitu Setiap lafadz yang terbuka makna dan maksudnya,
baik dalam bentuk haqiqah atau majaz.Sedangkan kinayah
mempunyai pengertian yang berkebalikan dari sharihApa yang dimaksud dengan suatu lafadz
bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil.
Takwil
ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang terang (dhahir) kepada makna yang tidak
terang (lemah / marjuh) karena ada sesuatu dalil yang menyebabkan makna kedua
tersebut harus dipakai.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, A.Syafii. 1995. Ushul Fiqih.
Jakarta : Pustaka Setia.
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN
Pekalongan Press.
Syarifudinn, Amir. 2001. Ushul Fiqih. Jakarta : Logos
Wacana Ilmu.
[1] Prof. Dr. H.Amir Syarifudin. Ushul Fiqih.
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu,2001), hlm.25-37
[2] Prof. Dr. H.
Salsia Efendi,M.Zein, MA. Ushul Fiqih. (Jakarta : Kencana, 2005), hlm.
230
[3] Ade Dedi Rohayana, M.Ag. Ilmu Ushul Fiqih.
(Pekalongan : STAIN Pekalongan Press, 2006), hlm. 234
[4]
Drs. H. A.Syafii Karim. Ushul Fiqih.
(Jakarta : Pustaka Setia, 1995), hlm. 199
[5] Ibid. hlm.
234-235
[6]
Op.cit. Prof. Dr. H.Amir Syarifudin,
hlm.39
[7] Op, cit.
Syafii Karim,hlm.199
[8] Ibid, hlm. 40
dan 44-45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar