DILALAH DALAM PANDANGAN
ULAMA HANAFIYAH DAN SYAFI’IYAH
A. DILALAH
DALAM PANDANGAN ULAMA HANAFIYAH
Ulama Hanafiyah membagi dilalah
menjadi dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu
lafzhiyah.
- Dilalah
lafzhiyah
Ialah yang menjadi
dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyah terbagi menjadi empat
macam, yaitu :
a. Dilalah ibarah atau ibarat nash
Mengandung arti bahwa
makna yang dimaksud, langsung dapat dipahami dari lafaz yang disebutkan, apakah
dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya
(zhahir).[1]
Contoh, firman Allah
dalam surat an-Nisa : 3 :
إِنْ خِفْتُمْ ألاَّ تُقْسِطُوا فِي اليَتَا مَى فَا نْكِحُوا مَا طَا بَ
لَكُمْ مِنَ ا لنِّسَا ءِ مَثْنَى وَ ثُلاَ ثَ وَ رُ بَا عَ
Jika kamu takut
tidak akan berlaku adil dalam hal anak yatim maka kawinilah perempuan yang kamu
senangi sebanyak dua orang, tiga orang atau empat orang.
Maksud dari ayat
tersebut secara langsung yaitu bolehnya mengawini perempuan sampai empat orang,
bila terpenuhi syarat adil. Di samping memberi petunjuk secara jelas dan
langsung, ayat ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa perkawinan itu
hukumnya mubah.
b.
Dilalah isyarah atau
isyarah al-nash
Yaitu lafaz yang
diungkapkan memberi arti pada sesuatu maksud, namum tidak menurut apa yang
secara jelas disebutkan dalam lafaz itu. Lafaznya menunjukkan pada suatu arti
tertentu, tapi arti tersebut bukan merupakan maksud semula dari lafaz tersebut.[2]
Contoh, firman Allah
dalam surat Ali-Imran : 159 :
فَا عْفُ عُنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُم وَشَا وِرْ هُمْ فِي الأَمْرِ
Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu.
Dari ayat tersebut
dapat dipahami kewajiban mewujudkan sekelompok orang yang menjadi teladan umat
dan untuk diajak musyawarah dalam urusan umat.[3]
c. Dilalah al-dilalah atau dilalah al-nash
Yaitu penunjukkan
oleh lafaz yang tersurat terhadap apa yang tersirat di balik lafaz itu.
Dilalah al-dilalah
terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Hukum yang akan diberlakukan
pada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaannya lebih kuat
dibandingkan dengan kejadian yang ada dalam nash.
Contoh, firman Allah dalam surat
al-isra’ : 23 :
فَلاَ
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَ لاَ تَنْهَرْ هُمَا
Janganlah kamu ucapkan kepada dua
orang ibu bapakmu ucapan “ah” dan janganlah kamu bentak keduanya.
Ibarat dari nash ini menunjukkan tidak
bolehnya mengucapkan kata-kata kasar dan menghardik ibu bapak. Hukum “tidak
boleh” itu berlaku pula pada perbuatan “memukul orang tua” secara lebih kuat,
karena sifat menyakiti yang menjadi alasan larangan pada pengucapan kasar lebih
kuat pada perbuatan “memukul”.
2. Hukum yang akan diberlakukan
pada kejadian yang tidak disebutkan dalam nash, keadaannya sama dengan kejadian
yang ada dalam nash-nya.
Contoh, firman Allah dalam surat
an-Nisa : 10 :
إِنَّ
الَّذِ يْنَ يَأْ كُلُوْ نَ أَمْوَالَ اليَتَا مَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْ كُلُوْ
نَ فِي بُطُو نِهِمْ نَا رًا
Bahwasanya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya ia memakan api diperutnya.
Dari ayat tersebut dapat dipahami keharaman
para penerima wasiat untuk memakan harta anak yatim secara zalim. Keharaman
untuk memakannya dan keharaman membakar, mencerai-beraikan dan merusak dengan
segala cara terhadap harta anak yatim. Karena semua itu sama dengan memakan
harta anak yatim secara zalim, artinya merusak harta orang yang lemah dan tidak
mampu menolak aniaya. Dalam hal ini pengertian yang tak terucap sama dengan
yang terucap.[4]
d.
Dilalah al-iqtidha’ atau iqtidha
al-nash
Adalah dalam suatu
ucapan ada suatu makna yang disengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan
bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada
yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak
tersebut dinyatakan.
Contoh, firman Allah
dalam surat Yusuf : 82 :
وَا سْأَلِ الْقَرْ يَتَ الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا وَ الْعِيْرَ الَّتِيْ
أَقْبَلْنَا فِيْهَا
Tanyailah kampung
tempat kita berada dan kafilah kita bertemu dengannya.
Menurut zhahir
ungkapan ayat tersebut ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya pada
“kampung” yang bukan makhluk hidup. Oleh karena itu perlu memunculkan suatu
kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan
adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung”,
yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu
memunculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi
“orang-orang dalam kafilah”, yang memungkinkan memberikan jawaban.
Para ahli ushul
membagi dilalah al-iqtidha dari segi keharusan memunculkan kata yang tidak
tersebut menjadi tiga, yaitu :
Ø Sesuatu yang harus
dimunculkan untuk kebenaran suatu ucapan atau kalimat secara hukum.
Contoh, hadis Nabi yang berbunyi :
لآ
صِيَا مَ لِمَنْ لَمْ يِبْيِتِ النِّيَّةَ
Tiada puasa bagi orang yang tidak
mempermalamkan niat.
Tidak mungkin untuk dikatakan “tidak
ada puasa” karena orang itu ternyata sudah menahan diri dari segala yang harus
ditahan dalam puasa. Sedangkan yang namanya puasa itu adalah menahan diri.
Karenanya, untuk kebenaran ucapan dalam hadis Nabi itu secara hukum perlu
dimunculkan kata “sah”. Jadi, yang tidak ada itu, adalah hukum sahnya puasa
bukan puasa itu sendiri.
Ø Sesuatu yang harus
dimunculkan untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat secara akal.
Contoh, firman Allah dalam surat
al-‘Alaq : 17 :
فَلْيَدْ
عُ نَا دِيَةً
Hendaklah ia memanggil
rombongannya.
Secara lahir yang dipanggil dalam
ungkapan ayat di atas adalah “rombongan”. Tetapi akal tidak membenarkan
menggunakan kata “memanggil” untuk rombongan, karena rombongan itu sesuatu yang
tidak berakal dan tidak mungkin menjawab panggilan. Secara akal dapat diketahui
bahwa ada yang tersembunyi dalam ucapan ini, yaitu kata “orang” di depan kata
“rombongan”, sehingga ungkapannya menjadi : “panggilah orang yang ada dalam
rombongannya”.
Ø Sesuatu yang harus
dimunculkan untuk sahnya ucapan secara hukum.
Contoh, firman Allah dalam surat
al-baqarah : 178 :
فَا
تِّبَا عٌ بِا لمَعْرُوْفِ وَأَ دَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَا نٍ
Maka ikutilah apa yang patut dan
bayarkanlah kepadanya secara baik.
Ayat itu adalah sesudah firman-Nya :
مَنْ
عَفَى عَلَيْهِ شَيْئٌ
Orang yang diberi maaf kepadanya
sesuatu.
Ayat tersebut menyatakan apa yang
harus diberikan secara patut setelah ia diberi maaf atas seuatu. Yang dimaksud
disini adalah pelaksanaan qishash.
Untuk sahnya ayat ini secara hukum
harus ada yang dimunculkan, dalam hal ini adalah “diyat”. Sehingga ungkapan
ayat itu sebenarnya adalah :”orang yang diberi maaf kepadanya sesuatu
(pelaksanaan qishash) maka ikutilah yang demikian secara patut dan berikanlah diyat
kepadanya secara baik.[5]
Ditinjau dari segi bentuk yang harus
dimunculkan untuk kebenaran suatu lafaz secara hukum, dilalah iqtidha dibagi
menjadi dua, yaitu:
Ø Yang dimunculkan itu adalah
“sebuah kata”.
Misalnya kata “sah” dalam sabda Nabi
Muhammad SAW.
لآصَلآ
ةِ لِمَنْ لَمْ يَقْرَ أْفِيْهَا بِفَا تِحَةِ الْكِتَابِ
Tiada shalat bagi orang yang tidak
membaca surat al-Fatihah dalam shalat.
Dalam hadis disebutkan “tiada shalat”.
Meniadakan shalat yang telah terlaksana tentu tidak mungkin, karena sudah
berlalu. Jadi yang harus dimunculkan supaya ucapan dalam hadis di atas benar,
adalah kata “sah”, sehingga menjadi : “Tidak sah shalat (meskipun ia telah
berlangsung) bila dalam shalat itu tidak membaca al-fatihah.
Ø Yang dimunculkan adalah suatu
peristiwa hukum.
Misalnya si A mengatakan kepada si
B,”wakafkanlah kebunmu itu untuk (atas nama) saya dengan bayaran 10 juta
rupiah.”
Jika si B mewakafkan tanahnya tentu
yang akan mendapat pahala adalah si B. Dalam hal ini, si A tidak dapat menyuruh
si B mewakafkan tanah miliknya dengan harapan agar pahala wakaf itu untuk si A
yang menyuruh, karena yang dapat diwakafkan adalah milik sendiri. Agar
perbuatan wakaf itu sah secara hukum, perlu dimunculkan suatu perbuatan hukum,
yaitu jual beli kebun. Jadi susunan ucapan si A menjadi “Juallah kebunmu kepada
saya seharga 10 juta rupiah, kemudian tolong diwakafkan untuk dan atas nama
saya.” Si B menjawab, “Saya jual kebun saya kepada si A seharga 10 juta rupiah
dan saya mewakafkan kebun itu untuk dan atas nama si A.”
2. Dilalah ghairu lafzhiyah
Ialah yang
menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ini terbagi menjadi
empat macam, yaitu :
a.
Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang
tidak disebutkan.
Bila dalam
suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang tersurat itu
dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz itu.
Contoh, firman
Allah dalam surat an-Nisa : 11 :
وَلأِبَوَ يْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَاالسُّدُسُ
مِمَّا تَرَ كَ إِنْ كَا نَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ
وَوَرِثَهُ أَبَوَا هُ فَلِأُ مِّهِ الثُّلُثُ
Untuk dua
orang ibu bapak masing-masing mendapat seperenam bila pewaris meninggalkan
anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang mewarisinya adalah ibu
bapaknya, maka untuk ibunya adalah sepertiga.
Ibarat nash
dari ayat tersebut ialah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu
menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, namun
dari ungkapan ayat ini kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah sisa dari
sepertiga, yaitu dua pertiga.
b.
Dilalah (penunjukkan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk
memberi penjelasan.
Seseorang yang
diberi tugas untuk memberi penjelasan atas sesuatu, namun ia dalam keadaan
tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula seseorang yang
diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia menyaksikan
perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang,namun ia diam saja. Diamnya itu
memberi petunjuk atas suatu hukum. Dalam hal ini adalah izin untuk melakukan
perbuatan itu. Sebab jika perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan tinggal
diam waktu melihat perbuatan tersebut, karena ia bertugas memberikan penjelasan
atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diamnya itu memberikan izin untuk
berbuat.[6]
c.
Menganggap diamnya seseorang sebagai berbicara untuk menghindarkan
penipuan.
Pada bentuk
ini diamnya belum berarti apa-apa, tetapi masih diperlukan ucapannya. Meskipun
dalam hal ini hanya diam, tetapi diamnya itu sudah dapat dianggap berbicara.
Misalnya
seorang wali (orang yang melindungi anak di bawah umur) bersikap diam saat
orang yang berada di bawah perwaliannya melakukan tindakan yang bertalian
dengan hartanya, seperti jual beli. Orang yang berada di bawah perwaliannya
baru sah tindakannya bila secara jelas diizinkan oleh walinya, tidak hanya
diam. Namun karena jual beli itu sudah berlangsung dan kalau tidak mendapat
persetujuan dari walinya, tentu tindakan itu tidak dianggap sah yang akan
merugikan pihak lain.
d.
Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang
terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan penunjangnya ucapan
jika disebutkan.
Contohnya
dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam tata bahasa Arab bila
seseorang berkata مائة وصا ع من ارز (seratus dan satu
gantang beras). Dalam pemakaian bahasa Arab yang lengkap mestinya dijelaskan
dengan ucapan : مائة صاع صاع (seratus gantang dan
satu gantang) untuk maksud bilangan 101 gantang. Namun telah terbiasa membuang
kata “gantang” yang pertama dalam rangka menhindarkan panjangnya ucapan.
B. DILALAH
DALAM PANDANGAN ULAMA SYAFI’IYAH
Dalam
pandangan ulama syafi’iyah, dilalah dibagi menjadi dua macam yaitu dilalah
manthuq dan dilalah mafhum.
1. Dilalah Manthuq
Yaitu
penunjukan lafaz menurut apa yang yang diucapkan atas hukum menurut apa yang
disebut dalam lafaz itu.
Contoh, firman
Allah dalam surat an-Nisa : 23:
وَرَبَا ئِبُكُمُ اللاَّ تِيْ فِي حُجُوْ رِ كُمْ
مِنْ نِسَا ئِكُمُ اللاَّ تِيْ دَ خَلْتُمْ
(Diharamkan
atasmu mengawini) anak-anak tiri yang berada dalam asuhanmu dari istri-istri
yang telah kamu gauli.
Ayat ini menurut manthuqnya menunjukkan
haramnya menikahi anak tiri yang berada di bawah asuhan suami dari istri yang
telah digauli. Apa yang ditunjuk disini jelas terbaca dalam apa yang tersurat
dalam ayat tersebut.
Dilalah
manthuq terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Manthuq sharikh ialah manthuq yang penunjukkannya itu timbul dari
“wadh’iyah muthabiqiyah” dan “wadhi’iyah tadhamminiyah”
Manthuq sharikh dalam
istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dilalah ibarah
dalam pengertian ulama Hanafiyah.
b. Manthuq ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukannya
timbul dari “wadh’iyah iltizhamiyah”. Manthuq ghairu sharikh terbagi menjadi
dua macam, yaitu :
1. Dilalah manthuq ghairu sharikh yang
penunjukan (dilalah)nya dimaksud oleh pembicara, ada dua macam yaitu :
Ø Dilalah iqtidha’
Ø Dilalah ima’ yaitu petunjuk
yang mengisyaratkan sesuatu. Misalnya sabda Nabi kepada seorang Arab pedesaan
yang melaporkan kepada beliau bahwa ia telah menggauli istrinya di siang hari
bulan Ramadhan. Nabi bersabda, “Merdekakanlah hamba sahaya”
Ucapan Nabi tersebut
memberi isyarat bahwa kejadian itulah yang menjadi illat untuk hukum yang
disebutkan. Seandainya tidak menjadi illat, maka penyertaan sifat dengan dengan
hukum itu menjadi sia-sia. Hal yang demikian tidak mungkin terjadi pada
“pembuat hukum” yang bijaksana.
2. Dilalah manthuq ghairu sharikh yang
penunjukan (dilalah)nya tidak dimaksud oleh pembicara hanya terbatas pada satu
bentuk yang disebut dilalah isyarah.
2. Dilalah Mafhum
Yaitu apa yang
dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan. Ada dua macam mafhum, yaitu
:
a. Mafhum Muwafaqah
Yaitu mafhum yang
lafaznya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang
disebutkan dalam lafaz.
Mafhum Muwafaqah
terbagi menjadi dua, yaitu :
Ø Mafhum aulawi yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan
lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang
disebutkan dalam lafaz.
Misalnya firman Allah
dalam surat al-isra’ ayat 23. memukul orang tua hukumnya haram sebagaimana
haramnya mengucapkan kata “uf”, karena sifat menyakiti dalam “memukul” lebih
kuat daripada sifat menyakiti dalam ucapan kasar (uf).
Ø Mafhum musawi yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak
disebutkan dalam manthuq.
Contoh, firman Allah
dalam surat an-Nisa : 10 :
إِنَّ
الَّذِ يْنَ يَأْ كُلُوْ نَ أَمْوَالَ اليَتَا مَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْ كُلُوْ
نَ فِي بُطُو نِهِمْ نَا رًا
Bahwasanya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya ia memakan api diperutnya.
Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya
memakan harta anak yatim secara aniaya. Ada yang tersirat di balik manthuq
tersebut, yaitu haramnya “membakar” harta anak yatim, karena meniadakan harta
anak yatim itu terdapat dalam memakan dan membakar harta. Kekuatan hukum haram
pada membakar sama dengan hukum haram pada memakan karena kesamaan alasan
meniadakan pada kedua keadaan tersebut.
b. Mafhum Mukhalafah
Yaitu mafhum yang lafaznya menunjukan
bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi
beberapa bentuk, yaitu :
1. Mafhum al Washfi ( pemahaman dengan sifat )
Contoh, firman Allah dalam surat
an-nisa : 23 :
وَ
حَلاَ ئِلُ أَبْنَا ئِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَ بِكُمْ
( dan diharamkan bagimu )
istri-istri anak kandungmu (menantu)
Mafhum sifatnya adalah istri anak-anak
yang bukan kandung, seperti cucu sesusuan.
2. Mafhum Ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
Contoh, firman Allah dalam surat
al-baqarah : 230 :\
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَ هُ
jika si suami mentalak istrinya
(talak tiga), tidak halal bekas istri itu untuknya hingga bekas istri itu
mengawini laki-laki lain.
Mafhum Ghayahnya adalah jika istri
tertalak tiga itu kawin dengan selain suami yang telah mentalaknya.
3. Mafhum Syarat ( pemahaman dengan syarat )
Contoh, firman Allah dalam surat
al-thalaq : 6 :
وَأِنْ
كُنَّ أُوْ لاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Jika perempuan (yang dicerai) itu
dalam keadaan hamil maka berilah mereka nafkah sampai mereka melahirkan anak.
Mafhum syaratnya yaitu jika
istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil.[7]
4. Mafhum ‘adad (pemahaman dengan bilangan)
Contoh,firman Allah dalam surat an-nur
: 2 :
ا لزَّا
نِيَةُ وَا لزَّا نِي فَا جْلِدُوْا كُلَّ وَا حِدٍ مِنْهُمَا مِا ئَةَ جَلْدَةٍ
Pezina perempuan dan pezina
laki-laki pukullah masing-masing sebanyak 100 kali.
Manthuq ayat tersebut adalah
menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina laki-laki dan perempuan. Mafhum
‘adadnya adalah tidak sahnya pukulan terhadap pezina itu bila pukulannya lebih
atau kurang dari 100 kali yang ditentukan.
5. Mafhum al-laqab (pemahaman dengan julukan)
Contohnya firman Allah SWT
مُحَمَّدُرَسُولُ
ا للهِ
Muhammad utusan Allah
Manthuq dari ucapan itu adalah
menetapkan kerasulan untuk seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah. Mafhum
laqabnya adalah tidak berlakunya kerasulan bagi orang selain Muhammad bin
Abdullah.[8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar