PENDAHULUAN
Segala
perintah yang diperintahkan oleh Syari’ baik itu yang terdapat dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah. Ketika seorang mujtahid berkeinginan untuk meng-istinbath-kan
sebuah hukum baik itu yang sudah disinggung dalam nash-nash yang ada maupun
yang tidak disinggung sama sekali, maka terlebih dahulu ia harus mengetahui
atau mempelajari alat-alat yang dapat membawanya pada hukum tersebut. Para
ulama itu sendiri yang menggunakan mafhum mukhâlafah meskipun imam Abu
Hanifah mengingkari dalam menggunakan mafhum mukhâlafah tersebut.
Maka dari itu
pada makalah ini kami ingin mengulasnya lebih lanjut, semoga apa yang kami
terngakan dapat dipahami dengan mudah lagi bermasnfaat. Segala puji hanya untuk
Allah,sholawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi Muhammad bin Abdullah
selaku penutup para nabi.
.
PEMBAHASAN
AL-MAFHUM
a. Definisi al-Mafhum
Secara etimologi pengertian
al-mafhum adalah : sebuah ibarat dari kumpulan beberapa sifat yang
menjelaskan terhadap makna secara keseluruhan. al-mafhum itu sendiri
berasal dari kata "fahima as-Syaia fahman dari bab ta'iba"
mempunyai arti : sebuah gambaran yang sangat bagus.[1]
Sedangkan secara terminilogis makna
al-mafhum adalah : lafadz yang menunjukkan terhadap sesuatu diluar
pembicaraan (fi ghairi mahalli an-nutqi), dan menjadi sebuah hukum
terhadap yang telah ditetapkan[2]
b. Pembagian al-Mafhum
Para ulama yang
mengakui adanya mafhum, membagi menjadi dua bagian yaitu mafhum
al-muwâfaqah dan mafhum al-mukhâlafah.
1. Mafhum al-Muwâfaqah
Mafhum al-Muwâfaqah adalah penunjukan lafadz terhadap
adanya sebuah hukum yang tidak disebutkan dalam suatu nash sesuai dengan bunyi
(manthuq) lafadz tersebut.[3]
Dalam masalah mafhum
al-Muwâfaqah para ulam' ushul fiqh meletakkan nama-nama yang dipakai dalam
menyebutnya sesuai dengan keadaannya, mereka membagi dua bagian:
Pertama: Jika hukum yang tidak disebutkan itu, lebih utama dari hukum
yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafadz, mereka menyebutnya
dengan "fahwâ al-Khithâb" seperti frman Allah swt.:
(QS Al-Isra’ [17] : 23) :
“Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan ‘ah’ .”
ayat ini menunjukkan haramnya
memukul kedua orang tua lebih utama, karena bunyi ayat ini menunjukkan haramnya
mengeluarkan kata-kata "Ah" pada kedua orang tua, sedangkan dengan
jalan " fahwâ al-Khithâb" ayat ini menunjukkan haramnya
mencaci maki serta memukul keduanya.
Kedua: Jika hukum yang tidak disebutkan itu, sama setatusnya dengan
hukum yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafadz, mereka
menyebutnya dengan "Lahnu al-Khithâb" seperti firman Allah swt:
(QS
An-Nisa’ [4] : 10 ):
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya … “
bunyi (manthuq) ayat ini
menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim, sedangkan dengan penertian
(mafhum) yang sama ayat ini menunjukkan haramnya membakar harta anak yatim
atau dengan segala sesuatu yang dapat merusak harta tersebut, menyia-nyiakan,menelantarkan
selain memakannya.
Para ulama ushul fiqh sepakat,
bahwa mafhum al-muwâfaqah dapat dijadikan dalil dalam mengistinbathkan
sebuah hukum, kecuali dari kalangan adz-Dzâhiriyah yang mengingkari kehujjahan
dari mafhum al-muwâfaqah tersebut.
2. Mafhum al-Mukhâlafah
Mafhum
al-Mukhâlafah adalah menetapkan kebalikan dari hukum yang disebut (manthuq)
lantaran tidak adanya suatu batasan (qayd) yang membatasi berlakunya
hukum menurut nashnya.[4]
Mafhum juga disebut dengan dalîl al-khithâb, karena dalilnya
diambil dari jenis perintah itu sendiri.
Misalnya, sabda Rasulullah saw.[5]
:
(فى الغنم السائمة الزكاة)
“Didalam kawanan domba ada zakat”
bunyi (manthuq)
yamg dikeluarkan hadist tersebut menunjukkan, bahwa Biri-biri (Domba) yang
digembalakan dipadang rumput wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi dengan
menggunakan mafhum
al-mukhâlafah dafat difahami, bahwa Biri-biri (Domba) yang
dipelihara (dibiayai) tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
a. Macam-macam Mafhum al-Mukhâlafah
Dalam pembagian mafhum
al-mukhâlafah para ulama' ushul fiqh berbeda-beda pendapat, namun penulis
disini ingin mencoba menguraikan sedikit dari berbagai macam mafhum
al-mukhâlafah tersebut.
- Mafhum al-Washfi
(as-Sifat)
Mafhum al-washfi adalah menetapkan hukum dalam bunyi
(manthuq) suatu nash yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat
yang terdapat dalam lafadz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka
terjadilah kebalikan hukum tersebut .[6]
Misalnya, firman Allah swt. yang berbunyi (an-Nisa:
25):
“dan barang siapa diantara kamu (orang
merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi
beriman, boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu
miliki.”
diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat
tersebut adalah dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan, oleh karena itu
waita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal untuk dinikahi.
- Mafhum as-Syart
Mafhum as-syart adalah menetapkan kebalikan suatu
hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang (at-Tholaq:
6):
Misalnya, firman Allah swt. dalam surat ath-Thalaq:6 yang
berbunyi :
“kemudian jika suami
mentalaqnya (sesudah talaq kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya
hingga ia kawin lagi dengan suami yang lain.”
ayat tersebut
menunjukkan bahwa kewajiban memberi kan nafakah kepada isteri yang dicerai dan
tengah menjalani masa 'iddah dibatasi jika isteri tersebut sedang dalam
hamil. Dengan menggunakan mafhum al-mukhâlafah dapat dipahami, jika
isteri yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka bekas suaminya teidak
berkewajiban memberikan nafkah. Sedangkan dengan mengunakan mafhum
as-syart dapat dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah
kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali
isteri tersebut dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil.
- Mafhum al-Ghâyah
Mafhum al-ghâyah adalah menetapkan hukum yang berada
diluar tujuan nash (ghâyah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan
(ghâyah).[7]
Dan hukum yang terjadi sesudah ghâyah tersebut berbeda dengan hukum yang
terjadi sebelum ghâyah.
Misalnya, firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah : 222
yang berbunyi :
“dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci”
ayat ini menunjukkan
seorang suami diperbolehkan mencampuri isterinya setelah isteri tersebut suci
dari haid.
- Mafhum al-'Adad
Mafhum al-'adad adalah penetapan kebalikan dari
suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak
terpenuhi.[8]
Misalnya, firman Allah swt. dalam surat an-Nur : 2
yang berbunyi :
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera”
dalam ayat ini ditetapkan hukuman pukulan sebanyak seratus
kali bagi siapa saja yang berzina, hukum pukulan tersebut tidak boleh dikurangi
atau ditambah. Larangan ini adalah didasarkan pada mafhum al-mukhâlafah,
yakni jika suatu hukuman (sanksi) telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh
ditambah atau dikurangi.[9]
- Mafhum al-Laqab (al-Ism)
Mafhum al-laqab adalah
menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim 'alam atau isim nau'.[10]contohnya
yaitu seperti sabda Nabi SAW. Seperti lafadz "fi al-Ghanami zakâtun".
Artinya : pada gandum dikenakan zakat. Dengan mafhum laqab maka ditetapkan
hukum zakat tidak dikenakan kepada selain gandum.
- Mafhum al-Hashr
Mafhum al-hashr adalah penetapan dari kebalikan
suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innamâ,
illâ", dan lain sebagainya.
Misalnya, firman Allah swt. yang berbunyi QS. an-Nisa' ayat
171:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu , dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.
Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang
diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya . Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya
dan janganlah kamu mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari
ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha
Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.”
ayat ini seyara manthuq menunjukkan bahwa sifat
ketuhanan itu hanya terdapat pada tuhan yang satu yaitu Allah swt. sedangkan dengan
mafhum mukhâlafah dapat dipahami, bahwa sifat ketuhanan itu tidak ada
pada selain Allah.
Contoh lainya:
misalnya
pada (QS Al-Fatihah [1] : 5) :
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah
kami memohon pertolongan … “
Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah selain Allah dan tidak
boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.
Kehujahan Mafhum Mukholafah
Para Ulama sepakat bahwa mafhum laqab tidak dapat dijadikan hujah untuk menetap hukum, jika mafhum laqab ini dapat dijadikan hujah, pastilah akan mencegah usaha mencari illah hukumnya; yang oleh karenanya tidak dapat dibenarkan mengkias sesuatu padanya, namun tidak ada seorangpun para ulama pendukung kias yang membenarkan bahwa pada hukum tersebut dengan isim alam atau isim jenis tidak boleh dicari illah hukumnya.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah yang lain yaitu: mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghoyah dan mafhum adad, ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah menggunakannya sebagai hujah, namu dengan ketentuan:
1. Mafhum Mukholafah tidak bertentangan dengan Dalalah Mantuq dengan nash yang lain. Seperti firman Allah (al-Isro’:31)
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah, karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)
Mafhum Mukholafah nya adalah boleh membunuh anak kalau tidak takut miskin, maka ini tidak bisa dijadikan hujah, karena bertentangan dengan Dalalah manthuq dari firman Allah (al-Isro’: 33)
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar”
2. Apabila adanya pembatasan hukum yang disebut (mantuq) tidak mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya (mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafa. Arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut menunjukan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, antara lain:
a. Pembatasan hukum tersebut sesuai dengan adat atau merupakan sesuatu yang banyak terjadi, misal firman Allah (an-Nisa: 23)
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
b. Pembatasan hukum yang disebut dimaksud sebagai pendorong untuk dilaksanakan, seperti sabda Nabi SAW: ”tidak boleh bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih tiga hari kecuali terhadap (kematian) suaminya, selama empat bulan sepuluh hari”.
c. Pembatasan hukum yang tersebut, dimaksud untuk menyatakn jumlah yang tak terbatas, seperti firman Allah. (at-Taubah :80)
“Kamu
memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah
sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali,
namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.”
d. Pembatasan hukum yang tersebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, seperti ketika Nabi ditanya tentang zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab. ”pada unta yang mencari makan sendiri dikenakan zakat”.
Alasan ulam yang menjadikan mafhum mukholafah sebagai hujah, yaitu:
1. Bahwasnya syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas hikmah.
2. Jika mafhum mukholafah dijadikan hujah, maka kita harus selalu mengambil dengan mafhum mukholafah tesebut dan meninggalkan hukum yang disebu oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukan bahwa syara’ mengabaikan penggunaan mafhgum mukholafah seperti firman Allah ( an-Nisa’:101)
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir”
3. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum bagi yang disebut pasti mempunyai penggunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; ulama hanafiyah mengatakan bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi yang tidak disebut, melainkan kegunaannya adalah adanya yang tidak disebut itu justeru mengharuskan hukumnya dari dalil lain atau ditetapkan hukumnya berdasarkan: ”asal dari sesuatu itu boleh”
Dalam buku ushul fiqih karya Drs. Zainal Abidin Ahmad manuliskan bahwa ”menurut Jumhur, agar mafhum mukholafah dapat dijadikan hujjah maka harus adanya syarat-syarat” diantara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. mafhum mukallaf itu tidak bertentangan denga dalil yang lebih kuat (rajih) dari padanya, seperti Manthuq dan Mafhum Mukhalafah. Jika ia bertentangan dengan Qiyas Jali, maka didahulukan Qiyas daripadanya.
2. Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat. Jika ia disebutkan dalam hubungan menguatkan sebutan nikmat, maka mafhum mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
Artinya: “Dan Dia-lah,
Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya
daging yang segar (ikan)”. (QS. An Nahl: 14).
Mafhum Mukhalafah nya
yaitu terlarang makan ikan kering tidak menjadi hujjah. Artinya ayat ini tidak
menunjukkan terlarangnya makan ikan kering.
3. Sesuatu yang disebutkan itu bukanlah dimaksudkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan. Jika ia disebutkan untuk menunjukkan penting dan agungnya persoalan, maka mafhum mukhalafah nya tidak menjadi hujjah.
Contohnya adalah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمَ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ {رواه البخارى مسلم}
Artinya: “Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik
atau hendaknya ia diam”. (HR. Bukhari Muslim).
Mafhum mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
Mafhum mukhalafah dari lafaz yang beriman tidak menjadi hujjah, karena ia disebut untuk menunjukkan bahwa menguccapkan sesuatu yang baik atau diam kalau tidak ada yang baik yang akan dikatakan, adalah persoalan yang penting lagi agung.
4. jika kait disebutkan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, maka mafhum Mukhalafah tidak menjadi hujjah.
Misalnya firman Allah:
Artinya: “janganlah
kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam
mesjid…”. (QS. Al
Baqarah: 187)
Kait dalam
masjid-masjid mafhumnya yang tidak menjadi hujjah, artinya ayat ini tidaklah
menunjukkan b ahwa bagi orang yang beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh
dengan isterinya.
5. kait tidak
menunjukkan suatu kebiasaan yang umum. Jika ia menunjukkan suatu
kebiasaan yang umum,
maka mafhum Mukhalafahnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
Contoh ayat:
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ
Artinya: “anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu…”. (QS. An Nisaa’: 23).
Kait dalam pemeliharaanmu tidak ada mafhumnya, karena ia menunjukkan kebiasaan yang umum yaitu anak tiri biasanyaberada dalam pemeliharaan bapak tirinya. Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa seorang laki-laki boleh mengawini anak tirinya yang bukan dalam pemeliharaannya.
6. jika suatu kait
menunjukkan kekejian suatu keadaan atau kejadian, maka mafhum mukhalafahnya
tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Surat
Ali Imran: 130).
Kait dengan berlipat
ganda tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan kekjian riba.
Jadi ayat ayat ini tidak menunjukkan bahwa memakan riba yang tidak berlipat
ganda itu hukumnya mubah (boleh).
7. jika suatu kait menunjukkan banyak (jumlah) yang tidak terbatas, maka mafhum mukhalafhnya tidak menjadi hujjah.
Contoh ayat:
Artinya: “Kendati pun
kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali
tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At Taubah: 80).
Kait tujuh puluh kali
tidak ada mafhumnya, karena ia disebut untuk menunjukkan tidak terbatas,
artinya bagaimanapun tidak diberi ampunan kepda mereka (orang-orang munafik).
Jadi ayat ini tidaklah menunjukkan kalaupun ampunan dimohonkan lebih dari tujuh
puluh kali lalu mereka diampunkan.
Lafadz
ditinjau dari segi bentuk taklif
Hukum
syari adalah khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam
bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Khitab dalam bentuk tuntutan ada dua
bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan.
Setiap tuntutan mengandung taklif atas pihak yang dituntut; dalam hal ini
adalah manusia mukallaf. Tuntutan yang mengandung beban hukum untuk dikerjakan
disebut amar (perintah), sedangkan
tuntutan yang mengandung beban hukum
untuk ditinggalkan disebut nahyi
(larangan).[11]
·
Amar
1.
Definisi Amar
Amar
merupakan kebalikan dari nahyi, menurut al- Ghazali(1977:290), definisi amar
adalah: “ucapan yang dituntut agar yang
diperintah mau mematuhi perintah dengan mewujudkan apa yang menjadi tuntutannya.”
Tuntutan
ini dilihat dari segi sumbernya bersal dari posisi yang lebih tinggi tingkatannya,
yang memang mempunyai otoritas untuk memerintah.
2. Karakteristik Amar
Menurut
Musthafa Sa’id Al- Khin , ada lima macam bentuk amar (perintah), yaitu :
a. Dengan menggunakan fi’il amar, yaitu
kata kerja bentuk perintah.
b. Fi’il mudhari yang dihubungkan dengan
lam amar yang mengandung perintah.
c. Isim mashdar yang bdiperlukan sebagai
pengganti fi’il amar.
d. Dengan menggunakan kalimat berita (jumlah khabariyah) yang mengandung
perintah.
e. Menggunakan kata-kata yang mengandung
tuntutan untuk berbuat dan kewajiban
yang harus dilaksankan, seperti kata amara
dan kataba.[12]
3.
Kandungan Tuntutan Amar
Menurut
Khudhari Bek (1988:194-195), menyimpulkannya kepada lima macam saja, yaitu :
a. Amar menunjukkan kepada wajib
b. Amar menunjukkan kepada sunnah
c. Amar menunjukkan kepada semata-mata
tuntutan
d. Amar menunjukkan kepada kebolehan
e. Amar menunjukkan kepada arti lain selain
arti di atas.
·
Nahyi
Nahyi
secara etimologi, nahyi (larangan) adalah lawan dari kata amar (perintah).
Menurut Khudhari Bek (1988:199), nahyi
adalah tuntutan yang mengandung larangan untuk melakukan perbuatan yang datang
dari yag lebih tinggi kedudukannya.
Dengan
demikian, nahyi adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar
tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’I yang telah
dituangkan dalam nash yaitu al- Quran dan Sunnah.
2. Karakteristik Nahyi
Menurut
Musthafa Sa’id Al- Khin, ada empat macam bentuk nahyi, yaitu :
a. Fi’il MUdhari yang dihubungkan dengan la nahyi, yaitu yang menunjukkan
larangan
b. Kata yang berbentuk perintah yang
menuntut untuk menjauhi larangan
c. Menggunakan kata nahyi itu sendii dalam kalimat
d. Jumlah Khabariyah,yaitu kalimat berita
yang digunakan untuk menunjuka larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau
menyatakan tidak halalnya sesuatu.
3.
Kandungan Larangan Nahyi
Menurut
Musthafa Sa’id Al- Khin, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa nahyi digunakan
untuk beberapa pengertian berikut, yaitu :
a. Nahyi menunjukan kepada tahrim (haram)
b. Nahyi menunjukan kepada karahah (makruh)
c. Nahyi menunjukan kepada irsyad (petunjuk)
d. Nahyi menunjukan kepada tahdid (ancaman)
e. Nahyi menunjukan kepada tahqir
(merendahkan)
f. Nahyi menunjukan kepada bayan al –
aqibah (akibat suatu perbuatan)
g. Nahyi menunjukan kepada ta’yis
(menyatakan putus asa) [13]
PENUTUP
Dari pembahasan yang sangat singkat ini,
mungkin dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, memahami mukhalafah dan mafhum
sangatlah penting bagi kehidupan seseorang demi kebenaran terhadap
pemahaman-pemahaman nash-nash al-Qur'an maupun as-Sunnah.
Akhir kalam, dengan sebuah harapan semoga
makalah yang sangat singkat ini dapat bermanfaat serta membantu dalam memahami mukhalafah
dan mafhum, sehingga pemahaman terhadap teks-teks yang telah ada
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mu'jam al-Washith .,
Majma' Al Lugoh Al 'Arobiyah-Asy Syamilah
Irsyad al-Fuhul. Imam as-Syaukani. Juz 2,
Ushul fiqh al-Islami. Dr. Wahbah Zuhaili. Juz 1
Hadist shahih. Al-Bukhari : kitab zakat, bab zakat biri-biri
/ domba. No. 1454.
Terjemahan ushul fiqh. Prof. Mohammad Abu Zahrah,
[2] Irsyad al-Fuhul. Imam as-Syaukani. Juz 2 hal 519, Ushul fiqh al-Islami.
Dr. Wahbah Zuhaili. Juz 1 hal.361
Tidak ada komentar:
Posting Komentar