Cari

Kamis, 07 Maret 2013

Makalah Ushul Fikih-ISTIMDAD ILMU USHUL FIQH-




BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat Islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada Al-Qur’an sebagai al wahyu dan sunnah sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimdat.
Dalam pembahasan makalah ini, mencoba untuk menjabarkan pengambilan hukum dalam ushul fiqih atau dikenal dengan istilah istimdad. Bagaimana ushul fiqih menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan yang sekaligus merupakan dasar hukum dalam kehidupan manusia untuk beribadah maupun bermuamalah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Istimdad dalam Ushul Fiqih
Syariat islam mencakup seluruh sisi hidup dan kehidupan manusia dan seluruh ranah apapun yang dilakonkan oleh manusia. Tidak ada satupun permasalahan dalam dunia manusia yang tidak dijamah oleh syariat. Tidak ada satupun perbuatan manusia kecuali ada hukumnya menurut pandangan syariat. Karena hukum Allah berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia, seperti yang disampaikan oleh para ulama ushul fiqh. Secara spesifik ilmu untuk mengkaji perbuatan manusia dari perspektif syariat ini dikaji dalam ilmu fiqh.
Setiap pengkaji sebuah ilmu sebelum mendalaminya mereka mesti mengetahui dasar-dasar sebuah ilmu. Agar ilmu yang akan ditekuni bisa diraih dengan pencapaian paripurna. Dasar-dasar sebuah ilmu ini dikenal oleh para ulama dengan istilah mabadi` `asyarah al `ilm. Karena seseorang yang tidak tahu apa yang sedang ditekuninya, akan berdampak terhadap kesia-siaan, yang tidak mendatangkan faidah dalam pencariannya. Sebagian ulama mengatakan: “orang-orang yang tidak menguasai dasar-dasar sebuah ilmu, maka ia tidak akan sampai (kepada puncak pencapaian paripurna sebuah ilmu).”[1]
1.   Sumber hukum ushul fiqih
Para ahli ushul sepakat bahwa pokok pengambilan hukum syariat adalah 4: Al Qur`an, sunnah, ijma` dan qiyas. Karena hukum ada yang ditetapkan dengan wahyu atau selain wahyu. Hukum yang ditetapkan dengan wahyu; ada yang bersifat matlu (Al Qur`an) dan ada yang bersifat ghairu matlu (sunnah). Hukum yang ditetapkan dengan selain wahyu; ada yang ditetapkan dengan pendapat yang shahih dan selainnya. Pendapat yang shahih apabila menjadi pendapat jamaah maka akan menjadi ijma`, namun apabila masih merupakan pendapat individu, hanya akan menjadi qiyas.
Adapun istihsan, istishab, mashalih mursahalah, dll. bukanlah menjadi sumber yang disepakati oleh para ahli ushul, namun merupakan cabang dan perpanjangan dari sumber-sumber hukum yang disepakati, dalam upaya untuk mengenali hukum dari dalil-dalil yang sudah disepakati.
Para generasi salaf  ketika dihadapkan kepada sebuah kejadian dalam kehidupan mereka, maka mereka memeriksa penjelasannya di dalam Al-Qur`an. Ketika tidak ditemukan, mereka kemudian memeriksa hadits, apakah sudah ada hadits yang menjelaskan tentang permasalahan tersebut? Ketika tidak ditemukan, mereka kemudian mendatangi para ulama, apakah dalam masalah yang dihadapi telah ada nash Al-Qur`an dan sunnah yang menjelaskannya? Jikalau mereka menemukan, maka mereka kemudian mulai berijtihad untuk mengistinbath hukum, apabila belum bisa dipahami secara rinci. Jikalau tidak juga menemukan, maka mereka mulai melakukan qiyas permasalahan yang belum diketahui hukumnya terhadap permasalahan yang telah diketahuinya dengan bersandarkan kepada nash, karena adanya kesamaan `illat diantara kedua hukum yang dikaji.
Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa ijtihad para fuqaha yang terhimpun di dalam ilmu fiqh tidaklah produk akal manusia belaka, akan tetapi sebagai penjabaran dari al Qur`an dan sunnah. Para mujtahid bukanlah sembarang orang, akan tetapi memeiliki syarat tertentu dan harus memenuhi kaidah-kaidah berijtihad yang telah dijelaskan di dalam ilmu Ushul Fiqh. Maka mengamalkan ijtihad mereka berarti mengamalkan al Qur`an dan sunah. Justru ketika kita menemukan dalil dan berusaha berijtihad dari dalil yang kita temukan, sedangkan kita bukan seorang mujtahid, akan menyebabkan kita mengamalkan dalil berdasarkan hawa dan agama bersumber dari akal kita[2]
2.   Istimdad Ilmu Ushul Fiqih
Para ulama’ ushul menyebutkan bahwa istimdad ilmu ushul fiqih ada tiga hal. Diantaranya, ilmu kalam, ilmu bahasa arab dan ahkam syar’iyyah.
a.     Ilmu kalam
Yakni ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ dalam bidang i’tiqat yang diperoleh dari dalil-dalil yang qath’i atau yang pasti, yang berdasarkan ketetapan akal, Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dengan mengetahui ilmu ini, kita mengetahui adanya tuhan Allah yang menurunkan syari’at dan adanya Rasul yang membawa syari’at tersebut yaitu syari’at Islam.[3]
Hubungannya yaitu sebelum kita lebih jauh mempelajari ilmu ushul fiqih ataupun ilmu yang lain, maka kita hendaklah memiliki aqidah yang lurus, mengimani Allah SWT beserta sifat-sifatnya. Dan meyakini kebenaran rasul-Nya sebagai penyampai risalah Ilahiyyah.
b.     Bahasa Arab
Terkait dengan bahasa Arab, karena Al-Qur’an itu bahasa Arab, maka kita tidak akan dapat mengetahui atau mengambil sesuatu hukum dari padanya kalau kita tidak mengetahui bahasa Arab dalam segala seluk-beluknya, seperti nahwu, sharaf, lughat, dan lain-lain yang berhubungan dengan ini.[4]
Hubungannya bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum nomer satu. Dan semua hal pembahasan ilmu ushul fiqih pada dasarnya diambil dari Al-Qur`an. Maka, bahasa Arab ini sangat penting kedudukanya dalam mempelajari ilmu ushul fiqih.
c.      Al Ahkam as Syar’iyyah
Pengetahuan hukum tidak terlepas dari ruh tasyri’, tujuan hukum (maqashid al-syari’ah) dan hakikat hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung kemaslahatan. Dengan demikian Khudhari Bek (1988: 15) memasukkan ruh tasyrik sehingga salah satu pendorong lahirnya ilmu ushul fiqih.[5]
Keterkaitan antara ushul fiqih dengan ahkam syar’iyyah yaitu sebelum kita mengetahui maudhu’ ilmu ushul fiqih, hendaknya kita memiliki tashowwur atau gambaran mengenai bagaimana hukum syar’i dan pembagiannya.[6]

B.     Hubungan Ushul Fiqih dengan Ilmu Lainnya
1.       Ilmu Tauhid
Ilmu fiqih sangat erat hubungannya dengan ilmu tauhid, karena sumber ilmu fiqih yang pokok adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Mengakui Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan paling utama berangkat dari keimanan bahwa Al-Qur’an diturunkan Allah SWT. Dengan perantaraan malaikat kepada nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Disini ilmu fiqih sudah memerlukan keimanan kepada Allah, keimanan kepada para malaikat, keimanan kepada rasul, dan keimanan kepada kitab-kitab Allah sebagai wahyu Allah.
Selanjutnya oleh karena tujuan akhir ilmu fiqih untuk mencapai keridhaan Allah di dunia dan akhirat, maka sudah pasti harus yakin pula akan adanya hari akhirat. Hari pembalasan segala amal perbuatan manusia. Seperti kita ketahui aspek hukum dari perbuatan manusia ini menjadi objek pembahasan ilmu fiqih. Masalah-masalah yang berkaitan dengan keimanan ini dibahas di dalam ilmu tauhid. Singkatnya hubungan antara ilmu fiqih dan ilmu tauhid seperti hubungan antara bangunan dengan pondasinya. Ilmu tauhid merupakan pondasi yang kokoh, sedangkan bangunan yang berdiri tegak dengan megahnya di atas pondasi yang kokoh yang kuat itulah ilmu fiqih.[7]
2.     Ilmu Akhak
Ilmu fiqih tidak bisa dipisahkan dari ilmu akhlak atau tasawuf, meskipun keduanya bisa dibedakan. Pemisahan ilmu fiqih dari ilmu akhlak secara tajam akan mengakibatkan ilmu fiqih kehilangan keindahannya. Tanpa ilmu akhlak, ilmu fiqih hanya merupakan bangunan yang kosong, sunyi dan tidak membawa kepada ketentraman dan ketenangan hati. Juga sebaliknya ilmu akhlak tanpa ilmu fiqih dalam artinya yang luas akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan syari’ah. Pada gilirannya penyimpangan-penyimpangan ini sulit untuk bisa dipertanggungjawabkan.
Singkatnya hubungan antara ilmu fiqih dan ilmu akhlak ini adalah seperti bangunan dan isi serta hiasan bangunan tersebut. Jadi ilmu tauhid merupakan pondasinya yang kokoh dan kuat, ilmu fiqih merupakan bangunannya yang megah, dan tasawuf merupakan isi dan hiasan yang indah.[8]
3.     Ilmu Sejarah
Ilmu sejarah atau tarikh memiliki tiga dimensi; masa lalu, masa kini dan kemungkinan-kemungkinannya, masa yang akan datang. Untuk mengetahui bagaimana ilmu fiqih di masa lalu, bagaimana sekarang, dan bagaimana kemungkinan-kemungkinannya pada masa yang akan datang bisa ditelusuri dari ilmu sejarah Islam dan sejarah hukum Islam atau lebih dikenal dengan Tarikh al-Tasyri’.
Masa lalu dan masa sekarang memberikan data dan fakta. Data dan fakta ini dicari latar belakangnya serta ditelusuri kandungan maknanya, sehingga ditemukan benang merahnya yang merupakan semangat ajaran Islam pada umumnya dan semangat ilmu fiqih pada khususnya yang berlaku sepanjang masa. Penerapan semangat ajaran ini akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya dengan tetap memperhatikan metodologi ilmu fiqih yaitu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqhiyah.[9]
4.     Perbandingan Madzab
Perbandingan madzab ini lebih tepat disebut sebagai cara mempelajari fiqih dengan membandingkan antara satu madzab dengan madzab lainnya. Prosesnya adalah sebagai berikut: “pertama kali, disebutkan masalahnya dan hukum masalah tersebut dari setiap madzab. Kemudian dikemukakan dalil-dalilnya dan cara ijtihadnya yang mengakibatkan perbedaan hukum dari setiap imam madzab. Selanjutnya ditelaah dan dianalisis dalil-dalil tersebut dari segala aspeknya yang berkaitan dengan penarikan hukum. Terakhir disimpulkan hukumnya yang paling tepat.[10]
5.       Falsafah Hukum
Ilmu fiqih berkaitan erat dengan falsafah hukum, khususnya falsafah hukum Islam yaitu: “satu falsafah tentang syari’ah Islam yang membuahkan pengertian, pengenalan, pengetahuan dan penghayatan terhadap makna, kegunaan kaidah-kaidah dan aturan syari’ah untuk mengatur kehidupan manusia sehingga menggerakkannya untuk melaksanakan syari’ah sebagai dasar di dalam kebijaksanaan hidup.[11]
6.     Ilmu Hukum
Maksud ilmu hukum di sini adalah ilmu hukum sistem Romawi dan sistem hukum adat. Seperti sering terjadi, sistem hukum Islam dalam masyarakat bertemu dengan sistem hukum Romawi dan atau sistem hukum adat, misalnya di Indonesia hukum Islam menghargai sistem hukum lain yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat selama tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dengan tegas di dalam hukum Islam.[12]

BAB III
KESIMPULAN

Fiqh islami adalah sebuah ilmu yang sangat subur dan mampu menjawab setiap permasalahan umat. Ketika kita mengamalkan fiqh bukan berarti beramal dengan produk akal manusia, akan tetapi tetap beramal dengan Al Qur`an dan sunnah yang otentik dengan perantaraan ijtihad para ulama yang kompeten. Belakangan pengajaran fiqh tidak segiat para ulama beebrapa kurun waktu lalu. Warisan berharga emas para ulama pun hanya terpendam di dalam kitab-kitab klasik sebagai sebuah nostalgia. Ini mengakibatkan konsep syariat islam yang merupakan rahmat bagi sekalian alam dan bersifat universal gagal diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari muslim.


DAFTAR PUSTAKA

Alnofiandri Dinar, Pengantar Ilmu Fiqih, 
syariahkita.wordpress.com/2010/11/01/pengantar-ilmu-fiqh.
Dedi Ade Rohayana. 2006.Ushul Fiqih..Pekalongan.STAIN Pekalongan Press.
Djazuli.  H.A. 2005. Ilmu Fiqih. Jakarta. Prenada Media.
Fachul Machasin, Pengantar Ilmu Ushul Fikih,  
Rifa’i Muhammad. 1995.Ushul Fiqih.Bandung: PT. Al-Ma’arif.




[1] Alnofiandri Dinar, Pengantar Ilmu Fiqih, syariahkita.wordpress.com/2010/11/01/pengantar-ilmu-fiqh/,(27/9/2011 pukul 20.42).
[2] Ibid.
[3] Muhammad Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1995), h. 11.
[4] Ibid.
[5] Ade Dedi Rohayana, Ushul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2006), h. 16.
[6] Fachul Machasin, Pengantar Ilmu Ushul Fikih,  http://makasin.blogspot.com/2009/04/pengantar-ilmu-ushul-fikih.html, (27/9/2011 pukul 25.56)
[7] H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 33-34.
[8] Ibid.
[9] Ibid., h. 37.
[10] Ibid.
[11] Ibid., h. 38.
[12] Ibid., h. 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar