Cari

Kamis, 07 Maret 2013

Makalah Ushul Fikih-SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM-




A.   PENDAHULUAN

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi ushul fiqih dan istimdad dalam ushul fiqih. Yang mana pengertian ushul fiqih secara terminologi yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat mengantarkan kepada hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan istimdad itu sendiri adalah pengambilan dari suatu hukum yang dalam kaitannya dengan ilmu ushul fiqih.
Dalam makalah kelompok kami ini, akan membahas tentang adanya sumber dan dalil hukum-hukum Islam yakni pengertian sumber dan dalil, sumber dan dalil hukum Islam yang meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu (Ijtihad) yang terdiri dari ijma, qias, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan mazab shahabi.




B.   PEMBAHASAN

1.  Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan “sumber” secara etimologi adalah mashdar (مصدر), yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam al-syar’iyyah (مصادرالاحكام الشرعية) secara terminologi berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sedangkan “dalil” dari bahasa Arab al-dalil (الدليل), jamaknya al-adillah (الادلة), secara etimologi berarti:
الهادي الى اي شئ اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung pengertian:
مايتوصل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).[1]

2.  Sumber dan Dalil Hukum Islam
1)  Alquran
a.  Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologis Alquran adalah:

القران هوالكلام الله المعجزالمنزل على خاتم الانبياءوالمرسلين بواسطة الامين جبريل المكتوب فى المصاحف المنقول الينابالتواترالمتعبد بتلاوته المبدوبسورة الفاتحة والختوم بسورة الناس.
“Alquran adalah Kalam Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.”[2]



b.  Hukum-hukum Yang Dikandung Alquran dan Tujuan Diturunkan Alqquran
Para ulama Ushul Fiqih menginduksi hukum-hukum yang dikandung Alquran terdiri atas: I’tiqadiyah, Khuluqiyah, dan Ahkam ‘amaliyah.[3]
Tujuan diturunkannya Alquran yakni sebagai mukjizat yang membuktikan kebenaran Rasulullah dan sebagai petunjuk, sumber syari’at dan hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.[4]
c.   Penjelasan Alquran Terhadap Hukum-hukum
1.  Ijmali (global), yaitu penjelasan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh: masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
2.  Tafshili (rinci), yaitu keterangannya jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.[5]
d.  Dalalah Alquran Terhadap Hukum-hukum
Dalalah Alquran terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’ dan adakalanya bersifat zhanni.[6]
1.  Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
2.  Zhanni yaitu lafal-lafal yang dalam Alquran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.
e.   Kaidah Ushul Fiqih Yang Terkait dengan Alquran
Para ulama ushul fiqih, mengemukakan beberapa kaidah umumushul fiqih yang terkait dengan Alquran. Kaidah-kaidah itu diantaranya adalah:[7]
1.  Alquran merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung Alquran.
2.  Untuk memahami kandungan Alquran, mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya Alquran (asbab al-nuzul).
3.  Dalam memahami kandungan Alquran, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan.

2)  As-Sunnah
a.  Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).”[8]
b.  Dalil Keabsahan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alquran memerintahkan kaum muslimim untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik (QS. Al-Ahzab: 21), bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai seorang yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam QS. An-Nisa: 65 dan 80, dan QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.[9]



c.   Pembagian As-Sunnah atau Hadis
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu: hadis mutawwatir dan hadis ahad.[10]
d.  Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
~     Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
~     Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
~     Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Alquran.[11]

3)  Ra’yu (Ijtihad)
a.  Ijma’
a)  Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan. Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
b) Rukun dan Syarat Ijma’
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu:
1.  Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
2.  Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
3.  Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya
4.  Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
5.  Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis

c)   Syarat-syarat Ijma’ Menurut Jumhur Ulama
1.  Yang melakukan ijma’ adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad
2.  Kesepakatan muncul dari mujtahid yang bersifat adil
3.  Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
d) Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt. QS. An-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran. Sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu berdasarkan kepada Sunnah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.

b.  Qiyas
a)  Pengertian Qias
Qias menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).[12]
b) Rukun dan Syarat Qias
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:[13]
1.  Ashl
Syarat-syarat ashl itu adalah:
a)  Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
b)  Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
c)   ‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
d)  Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
e)   Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
f)    Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qias
2.  Hukum al-Ashl
a)  Tidak bersifat khusus
b)  Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
c)   Tidak ada nash
d)  Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
3.  Far’u
a)   ‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
b)  Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
c)   Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
d)  Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
4.  ‘Illat
a)  ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
b)  ‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
c)   ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
d)  ‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
e)   ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
f)    ‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
g)  ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
h)   ‘Illat itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.
c)   Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى الابصار (الحشر:٢)
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.

c.   ‘Urf
a)  Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidin:
ماالفه المجتمع واعتاه وسارعليه فى حياته من قول اوفعله
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.”[14]
b) Macam-macam ‘Urf
‘Urf baik berupa perbuatan maupun berupa perkataan, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:
1)  Al-‘urf al-‘Am (adat kebiasaan umum) yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri disatu masa
2)  Al-‘Urf al-Khas (adat kebiasaan khusus) yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu
Disamping pembagian di atas, ‘urf dibagi pula kepada:
1)  Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya
2)  Adat kebiasaan yang tidak benar (fasid) yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah.[15]
c)   Keabsahan ‘Urf  menjadi Landasan Hukum
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum. Menururt hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid bahwa mazab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah serta kalangan Hanbaliyah dan Syafi’iyah.
d) Syarat-syarat ‘Urf
Abdul Karim Zaidan menyebutkan beberapa syarat-syarat ‘urf yaitu:
1)  ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang shahih
2)  ‘Urf harus bersifat umum
3)  ‘Urf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu
4)  Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut.[16]
e)   Kaidah ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, disamping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qias, istihsan dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat.

d.  Istishab
a)  Pengertian
Kata istishab secara etimologi berarti meminta ikut serta secara terus menerus. Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan yaitu:
استدامة انبات ماكان ثابتاءاونفى ماكان منفيا
“Menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.”[17]


b) Macam-macam Istishab
Muhamad Abu Zahrah menyebutkan empat macam-macam istishab sebagai berikut:
1)  Istishab al-ibahah al-ishliyah yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal sesuatu yaitu mubah. Contoh: bahwa seluruh hutan ini milik manusia kecuali kalau ada orang yang mempunyai bukti yang kuat sebagai pemiliknya.
2)  Istishab al-baraah al-ashliyah yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu
3)  Istishab al-hukm yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya
4)  Istishab al-wasf yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.[18]

e.   Syar’u Man Qablana
a)  Pengertian
Ialah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa.[19]
b) Pendapat Para Ulama
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Alquran dan Sunnah tidak berlaku lagi bagi umat.
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam Alquran tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkannya. Misalnya persoalan hukuman qishas dalam syariat nabi Musa yang diceritakan dalam surat Al-Maidah ayat 45 yang artinya:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan luka (pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adaladh orang-orang yang zalim.”

f.    Mazhab Shahabi
Mazhab Sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah Saw. Tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud sahabat Rasulullah adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.[20]
Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat kategori:
1)  Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad
2)  Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka dikenal dengan ijma sahabat
3)  Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat lain
4)  Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’ya dan ijtihad.




C.   PENUTUP

Sumber berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Sedangkan dalil yaitu suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
Sumber dan dalil hukum-hukum Islam yaitu meliputi Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran adalah kalam Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Sedangkan Sunnah Rasul adalah segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).
Dalil dan metode penggunaan dalil yaitu ijma, qias, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan mazab shahabi. Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama. Qias yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).
‘Urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan. Perbedaan ‘urf dengan adat yaitu ‘urf merupakan mayoritas kebiasaan banyak orang sedangkan adat muncul karena adanya kebiasaan pribadi. Istishab yakni menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya. Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Dan mazab shahabi adalah pendapat sahabat Rasulullah Saw. Tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah.




DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effend, H. Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. 2005. Jakarta: Kencana.
Haroen, H. Nasrun. 1996. Ushul Fiqih I. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
Ali Shodiqin, “Pengantar Fiqih/Ushul Fiqih”, http://www.scribd.com/doc/11496794/Sumber-Dalil-Dalam-Islam, 30/09/2011.



[1] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqih Alislami (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 417. dan Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 20.
[2] H. Sam’ani Sya’roni, Tafkirah Ulum Alquran (Al-Ghotasi Putra, 2006), hlm. 11.
[3] Abdul Wahhab Khalaf, op. cit., hlm. 33.
[4] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan: STAIN Press, 2005), hlm. 65-66.
[5] Ali Shodiqin, “Pengantar Fiqih/Ushul Fiqih”, http://www.scribd.com/doc/11496794/Sumber-Dalil-Dalam-Islam, 30/09/2011.
[6] Zakiyuddin al-Sya’ban, Ushul Fiqih (Mesir: Dar al-Ta’lif), hlm. 144. dan Abdul Wahhab Khalaf, op. cit., hlm. 37.
[7] Wahbah al-Zuhaili, op. cit., hlm. 445. dan Zakiyuddin al-Sya’ban, op. cit., hlm. 26.
[8] H. Satria Effend dan M. Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 112.
[9] Ibid., h. 112-117.
[10] Ibid., h. 117-124.
[11] Ibid., h. 121-125.
[12] Nazar Bakry, op. cit., hlm. 44.
[13] H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 165.
[14] H. Satria Effend dan M. Zein, op. cit., hlm. 153.
[15] Ibid., h. 154-155.
[16] Ibid., h. 156-157.
[17] Ibid., h. 159.
[18] Ibid., h. 161-162.
[19] Ibid., h. 162-163.
[20] Ibid., h. 169.

3 komentar:

  1. alhamdulillah bisa nambah ilmu dengan artikel di atas..sukses selalu ya

    BalasHapus
  2. alhamdulillah,, makasih ya postingannya insya Allah sgt membantu,, boleh izin share ya, pak. terimakasih banyak

    BalasHapus