Cari

Jumat, 08 Maret 2013

Makalah Ushul Fikih-KAIDAH-KAIDAH USHULUIYYAH-




PENDAHULUAN
Nash al-Quran dan as Sunnah menggunakan bahasa Arab. Hukum dari nash tersebut dapat dipaham secara benar jika memperhatikan tuntunan tata bahasa,cara penganbilan makna dan artiyang ditunjukkan oleh kata per kata serta susunan kalimat dalam bahasa Arab. Karena itu para pakar ilmu Ushul Fiqih islam mengadakan penelitian tentang tata Bahasa Arab, ungkapan dan kosa katanya. Dari hasil penelitian ini ditambah dengan ketetapan para pakar bahasa dikembangkan menjadi kaidah dan batasan-batasan. Dengan kaidah itu diharapkan dapat memehami hukum dari nash syara’ dengan pemahaman orang arab yang mana nash itu diturunkan dengan bahasa mereka. Juga diharapkandapat membuka nash yang masih samar, menghilangkan kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lain, mentakwilkan nash yang ada bukti takwilnya, juga hal-hal lainyang berhubungan dengan pengambilan hukun dari nashnya.  



PEMBAHASAN
A.   Definisi Qaidah Ushuliyah
Kata ushul berasal dari kata اصل yang artinya: “Sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain ”Selian itu juga ushul diartikan sebagai sumber atau dasar. Asal adalah sesuata yang menjadi dasar (sendi) oleh sesuatu yang lain, sedangkan furu’ adalah sesuatu yang diletakkan di atas asal tadi. . Seperti sebuah rumah yang terletak di atas sendi atau fondasi, maka sendi dinamakan asal, dan rumah yang terletak di atasnya dinamakan furu’. Sedangkan secara terminologi, kata ashal mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut :
1. Dalil (landasan hukum)
2. Qaidah (dasar, fondasi)
3. Rajih (yang terkuat)
4. Far'un ( cabang)
5. Mustashab (memberlakukan hukum yang ada sejak semula, selama tidak ada dalil yang mengubahnya).[1]
Secara umum, dalil itu ada dua, yaitu dalil tafshili (terinci) dan dalil ijmali (global). Yang dimaksud dalil tafshili adalah al-Quran dan Sunnah, sedangkan yang dimaksud dalil ijmali adalah ushul fiqh. Kemudian dalil syara’ ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal), dan ada yang hanya ditunjukkan bagi hukum tertentu dari cabang hukum tertentu. Apabila dalil itu bersifat menyeluruh dan berkaitan dengan sumber hokum dan hukum, maka itu disebut qaidah ushuliyah.
Dari pengertian ushul fiqih terkandung pengertian bahwa objek kajian ushul fiqih itu antara lain adalah kaidah-kaidah penggalian hukum dari sumbernya. Dengan demikian kaidah ushuliyah adalah sejumlah proporsi/ pernyataan/ ketentuan dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya yaitu al-Quran dan as-sunnah.
Menurut Ibnu Taimiyah, kaidah ushuliyah adalah al-adillah al-‘ammah. Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, kaidah-kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian dan objeknya, di mana kaidah berfungsi sebagai dzari’ah dalam mengistinbath hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis.[2]

B.   Macam-macam Kaidah Ushuliyah
1.     Teori Mengambil Petunjuk Nash
Nash syara’ atau undang-undang, harus dilaksanakan sesuai dengan pemahaman dari ungkapan, isyarat, dalalah (petunjuk) atu tuntutannya. Karena sesuatu yang dipaham dari nash dengan salah satu diantara empat cara tersebut adalah pengertian nash, sedangkan nash adalah argumentasi dari pengertian itu.
 Jika pengertian yang diambil dengan salah satu teori tersebut bertentangan dengan pengertian lain yang diambil dari teori yang lain, maka yang dimenangkan adalah pengertian dari ungkapan bukan pengertian dari isyarat. Dan pengertian dari salah satu keduannya dimenangkan dari pengertian yang berdasarkan petunjuk (dalalah).
Arti global dari kaidah ini adalah bahwa nash syara’ atau undang-undang kadang-kadang mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena cara pengambilan makna yang berbeda.
a.     Ungkapan nash
Yang dimaksud ungkapan nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari kosa kata dan susunan kalimat. Yang dimaksud dengan pemahaman dari ungkapan nash adalah arti yang langsung dapat dipahami dari bentuknnya, dan itulah yang dimaksud dari redaksi nash. Jika makna itu jelas dapat dipahami dari nash, sedangkan nash itu disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka makna itu adalah madlul (yang ditunjukkan) oleh ungkapan nash, dan disebut juga makna harfiyah (menurut kata-kata) nash. Jadi petunjuk ungkapan adalah petunjuk dari bentuk kata yang langsung dapat dipahami makna yang dimaksud dari redaksi itu, baik maksud redaksi itu nenurut aslinya maupun konsekuensinya.
Contoh surat Al-Baqarah ayat 275:
 “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Bentuk nash ini menunjukkan dalalah yang jelas kepada dua makna yang masing-masing merupakan maksud dari redaksinya, pertama, bahwa jual beli tidak seperti riba, kedua, hukum jual beli adalah halal sedangkan riba adalah haram. Keduanya merupakan makna yang dipaham dari ungkapan nash dan tujuan dari redaksi nash. Hanya saja makna yang pertama adalah maksud asli dari redaksi, karena ayat tersebut disusun untuk membantah orang-orang yang mengatakan: sesungguhnya jual beli adalah seperti riba. Sedangkan makna kedua adalah maksud konsekuensi dari redaksi, karena menghilangkan kesamaan adalah menjelaskan kedua hukum jual beli dan riba sampai ditemukan perbedaan hukum bahwa keduanya tidak sama. Seandainya orang meringkas arti yang dimaksud dari redaksi asal nash itu, dia akan berkata, “ tidaklah jual beli itu seperti riba.”
b.     Isyarat nash
Yang dimaksud pemahaman dari isyarat nash adalah makna yang tidak secara langsung dipahami dari kata-kata dan bukan maksud dari susunan katanya, melainkan makna lazim (biasa) yang sejalan dengan makna yang langsung dari kata-katanya. Itulah makna kata dengan jalan ketetapan. Karena ia merupakan makna ketetapan dan bukan makna yang dimaksud dari susunan kata, maka petunjuk nashnya dengan isyarat bukan ungkapan. Jadi petunjuk isyarat adalah petunjuk nash tentang makna lazim bagi sesuatu yang dipaham dari ungkapan nash yang bukan dimaksud dari susunan katanya, yang memerlukan pemikiran mendalam atau sekedarnya tergantung bentuk ketetapan itu nyata atau samar.
Contoh surat al-Baqarah ayat 233:
“…dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…”
Dari nash ini dapat dipaham bahwa nafkah yang berupa makanan dan pakaian para ibu adalah kewajiban para bapak. Karena makna inilah yang dapat dipaham secara langsung dari nash dan yang dimaksud dengan kata-katanya. Dari isyarat nash dapat dipaham bahwa para bapak tidak bersama dengan yang lain dalam kewajiban memberi nafkah kepada anaknya, karena anak itu adalah miliknya bukan milik orang lain. Seorang ayah ketika membutuhkan sesuatu milik anaknya berhak mengambil barang itu tanpa pengganti sekadar menutupi kebutuhannya. Karena anaknya adalah miliknya dan harta anaknya adalah miliknya juga.


   
c.      Petunjuk nash
Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipaham dari petunjuk nash adalah makna yang dipaham dari jiwa dan rasionalitas nash. Apabila ada nash yang ungkapannya menunjukkan suatu hukum atas kejadian dengan suatu illat, maka hukum ditetapkan berdasarkan illat tersebut. Kemudian ditemukan kejadian lain yang sama dalam illat hukumnya atau lebih utama dari illat itu.
Contoh surat Al-Isra’ ayat 23:
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.
Ungkapan nash ini menunjukkan larangan kepada anak untuk mengatakan “ah” kepada kedua orang tuanya. Illat dalam larangan ini adalah suatu yang terkandung dalam “ucapan” kepada keduanya, berupa menyakiti. Kemudian ada bentuk yang lain yang lebih menyakitkan dari sekadar berkata seperti memukul dan mencaci. Maka dapat segera dipahami bahwa larangan itu mencakup kejadian yang baru ini. Artinya ia diharamkan oleh nash yang mengharamkan berkata “ah”. Karena secara bahasa kangsung dapat dimengerti bahwa larangan berkata “ah” berarti larangan berbuat sesuatu yang lebih dari itu, yaitu apalagi menyakiti kedua orang tua.
Perbedaan antara teori petunjuk nash dengan kias adalah bahwa persamaan arti yang tak terucap dengan yang terucap langsung dapat dipahami secara bahasa, tanpa membutuhkan ijtihad dan mengeluarkan hukum. Sedangkan persamaan yang dikiaskan dengan yang dikiasi tidak dapat dipaham hanya dengan bahasanya, bahkan ia membutuhkan ijtihad untuk mengeluarkan illat pada sesuatu yang dikiaskan dan untuk mengetahui hakekat illat itu pada sesuatu yang dikiasi.
d.     Kehendak nash
Yang dimaksud dengan pemahaman dari kehendak nash adalah makna logika yang mana kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan mengira-ngirakan makan itu. Sedangkan bentuk nash tidak ada kata yang menunjukkan makna tersebut, tetapi kebenaran arti menghendaki makna itu atau membenarkan dan menyesuaikan dengan kenyataan.
Sabda Nabi saw:
 “dihapus dari umatku (dosa) keliru, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.”
Ungkapan hadits ini lahirnya menunjukkan terhapusnya perbuatan bila keliru, lupa atau dipaksakan. Pengertian ini tidak sesuai, karena bila sudah terjadi perbuatan itu tidak mungkin dihapus. Jadi, ungkapan ini menghendaki sesuatu yang dikira-kirakan untuk kebenaran maknanya. Dalam hal ini diperkirakan: dihapus dari umatku dosa karena keliru. Kata “dosa” pada kalimat di atas tidak disebutkan, hanya dikira-kirakan demi kebenaran makna nash. Maka kata “dosa” dianggap sebagai kehendak yang ditunjuk nash.
Nash itu dapat dipahami dengan empat cara pemahaman:
v Dari petunjuk nash, dan nash itu menjadi dalil atas makna itu. Karena makna yang diambil dari ungkapan nash adalah makna yang langsung dipaham dan yang dimaksud dari susunan katanya.
v Makna yang diambil dari nash adalah makna yang sepadan dengan makna ungkapannya secara tidak terpisah. Jadi makna itu adalah petunjuk nash secara lazim (logis).
v Makna yang diambil dari petunjuk nash yaitu makna yang ditunjukkan oleh jiwa dan rasionalitas nash.
v Pengertian menurut kehendak adalah makna yang pasti yang menuntut suatu makna tersembunyi untuk membenarkan nash atau menegakkan pengertiannya.[3]
2.     Mafhum Mukhalafah ( Pengertian Kebalikan)
3.    Dalalah yang Jelas dan Tingkatannya
4.    Dalil yang Tidak Jelas dan Tingkatannya
5.    Al Musytarak dan Petunjuknya
6.    Al ‘aam(umum) dan Petunjuknya
7.    Al Khaash dan Petunjuknya[4]

C.   Rumusan Kaidah-kaidah Ushuliyah
1.     Sesuatu itu tergantung pada maksud dan tujuannya.
2.     Bahaya harus dihilangkan.
3.     Adat itu bisa menjadi sumber hukum.
4.     Menarik suatu kemudahan.
5.     Apabila berkumpul antara halal dan haram maka yang haram mengalahkan yang halal.
6.     Apabila ada dua mafsadat berkumpul, maka kita memilih yang lebih kecil mafsadatnya.
7.     Penetapan hukum itu berdasarkan maslahat.
8.     Kemudahan itu tidak bisa digugurkan dengan kesulitan.

D.   Perbedaan Qawaid Ushuliyah dengan Qawaid Fiqhiyah
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan kaidah ushul fiqih dengan kaidah fiqih adalah:
1.     Kaidah-kaidah ushul fiqih mengeluarkan hukum dari dalil-dalil tafshili, dan ruang lingkupnya selalu dalil dan hukum sedangkan kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah universal atau dominan yang bagian-bagiannya adalah beberapa masalah fiqih, dan ruang lingkupnya selalu perbuatan mukallaf.
2.     Kaidah-kaidah ushul fiqih merupakan kaidah-kaidah universal yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian dan ruang lingkupnya, sedangkan kaidah-kaidah fiqih tidak dapat diaplikasikan kepada seluruh bagiannya, karena kaidah-kaidah fiqih ada pengecualiannya.
3.     Kaidah-kaidah ushul fiqih merupakan dzari’ah (jalan) dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis, sedangkan kaidah-kaidah fiqih merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang mempunyai ‘illat sama, di mana tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan mempermudah mengidentifikasikannya.
4.     Eksistensi kaidah-kaidah ushul fiqih baik dalam tataran ide maupun kenyataan berada sebelum lahirnya hukum-hukum fiqih, sedangkan kaidah-kaidah fiqih setelah lahirnya hukum-hukum fiqih.
5.     Kaidah-kaidah ushul fiqih adakah kumpulan dalil-dalil fiqih yang dapat mengeluarkan hukum syara’, sedangkan kaidah-kaidah fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara’.

E.   Signifikansi Qawaid Ushuliyah
Kaidah-kaidah ushuliyah berfungsi sebagai alat atau metode dalam menggali ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai kaidah-kaidah ushuliyah dapat mempermudah seorang ahli fiqih dalam mengetahui dan mengistinbath hukum Allah dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Fungsi kaidah ushuliyah adalah menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya.[5]

F.    Hubungan Nash, Qawaid Ushuliyah, Fiqih dan Qawaid Fiqhiyyah
Muhammad Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqih-nya menyatakan bahwa sebagian ulama mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:  
“pengerahan kesungguhan dan pencurahan daya upaya, baik dalam mengeluarkan hukum syara’ maupun penerapannya”.
Berdasarkan definisi ini, kata Abu Zahrah, ijtihad terbagi atas dua bagian, yaitu:
a)     Ijtihad yang khusus berkaitan dengan istinbath (penggalian) hukum dan penjelasannya, ialah ijtihad yang sempurna dan khusus bagi sekelompok ulama yang berusaha mengetahui hukum-hukum cabang yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut jumhur ulama, ijtihad seperti ini dapat terputus pada suatu zaman, sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari ijtihad model ini.
b)    Ijtihad yang khusus berkaitan dengan penerapan hukum, para ulama sepakat bahwa suatu zaman tidak  mungkin kosong dari model ijtihad ini. Mereka adalah para ulama takhrij dan ulama yang berusaha menerapkan ‘illat-‘illat hukum yang digali dari persoalan-persoalan cabang yang telah diistinbath oleh para ulama terdahulu. Dengan cara tathbiq ini, akan tampak hukum berbagai masalah yang belum diketahui oleh ulama terdahulu sebagai para ulama yang mempunyai otoritas ijtihad model pertama. Tindakan para ulama ini disebut tahqiq al-manath.

Ijtihad model pertama adalah ijtihad yang menggunakan pendekatan kaidah-kaidah ushuliyah, karena tugasnya adalah mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya. Masalah penerapannya dilapangan adalah tugasnya kaidah-kaidah fiqih.
Salah satu media yang dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus yang brtsifat khusus adalah ilmu qawaid fiqhiyah. Di sinilah letak urgensi ilmu ini, sehingga tepat sekali apa yang dikatakan oleh Ali Ahmad al-Nadawi bahwa secara umum kajian ushul fiqih tidak menyentuh hikmah dan tujuan disyari’atkannya hukum islam, berbeda dengan qawaid fiqhiyah yang menyentuh tujuan, hikmah dan rahasia disyari’atkannya hukum islam.
Apabila digambarkan dalam bentuk skema, maka kaitan antara nash, qawaid ushuliyah, fiqh, dan qawaid fiqhiyah adalah:

       Al-Quran dan Sunnah (nash)

Ijtihad istinbathi (qawaid ushuliyah)

Ijtihad Bayani             Ijtihad Qiyasi               Ijtihad Istishlahi

Hukum Islam (Fiqih)

Ijtihad Tathbiqi (qawaid fiqhiyah)

Hikmah dan rahasia hukum islam

Setiap istinbath (penggalian hukum) dalam syari’at islam harus berpijak kepada Al-Quran dan sunnah. Dalil-dalil syara’ yang dapat dijadikan senagai hujjah ada dua macam, yaitu nash (Al-Quran dan sunnah) dan ghair nash. Pada hakekatnya, dalil-dalil yang tidak masuk kedalam kategori nash seperti qiyas dan istihsan, digali, bersumber, dan berpedoman kepada nash. Mengetahui prosedur istinbath hukum menjadi keharusan bagi seorang faqih.
Menurut al-Syatibi, dalil syara’ terbagi dua, yaitu dalil naql dan dalil ra’yi. Pembagian ini apabila dikaitkan dengan ushul al-adillah (sumber dalil), sedangkan jika tidak dikaitkan dengan ushul al-adillah, keduanya saling berkaitan. Hal ini karena beristidlal dengan naql memerlukan nadhr (pemikiran), dan begitu juga sebaliknya, ra’yu tidak dianggap sebagai dalil syara’ apabila tidak berdasarkan kepada naql.
Dalil naql, adalah Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad, sedangkan dalul ra’yi adalah qiyas dan istidlal. Kedua dalil syara’ ini mempunyai mulhaq (cabang), baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. Ijma’, madzab shahabi dan syar’u man qablana merupakan mulhaq dalil naql, karena sifatnya yang ta’abudi dan tidak ada nadhr (pemikiran). Istihsan dan mashalih mursalah, jika dipandang sebagai nadhr, merupakan mulhaq dalil ra’yi, sedangkan jika dipandang dari al-‘umumah al-ma’nawiyah (makna umum) dalil-dalil naql, merupakan mulhaq dalil naql.
Pada dasarnya, dalil syara’ hanya terbatas kepada dalil naql, karena eksistensi ra’yi bukan diakui oleh akal (rasio), tetapi diakui oleh naql. Dalil naql menjelaskan kebolehan berpegang kepada ra’yi. Dengan demikian, dalil naql adalah ‘umdah (pokok) dan menjadi landasan hukum taklifi dari dua sudut pandang, yaitu :
a.     Sudut penunjukkannya terhadap hukum yang bersifat cabang, seperti penunjukkannya atas hukum bersuci, salat, zakat, haji, jihad, berburu , jual beli, dan hudud.
b.     Sudut penunjukkannya terhadap kaidah-kaidah yang menjadi landasan hukum yang bersifat cabang, seperti penunjukkannya bahwa ijma’, qiyas, qaul shahabi, dan syar’u man qablana adalah hujjah.
Statement al Syatibi bahwa bagian kedua dari dua sudut pandang dalil naql adalah penunjukkannya terhadap kaidah-kaidah yang menjadi landasanhukum yang bersifat cabang, mengindikasikan masuknya kaidah fiqh. Ia menyatakan bahwa kaidah-kaidah yang menjadi landasan hukum yang bersifat cabang adalah ijma’, qiyas, qaul shahabi, syar’u man qablana, dan lain-lain. Kaidah fiqih dapat dimasukkan ke dalam kaidah yang lain-lain tersebut, karena pada kajian sebelumnya al-Syathibi telah menguraikan urgensi dan keistimewaan qawa’id fiqhiyyah.[6]

PENUTUP

Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa pengertian ushul fiqh terkandung pengertian bahwa objek kajian ushul fiqh itu antara lain adalah kaidah-kaidah penggalian hukum dari sumbernya. Dengan demikian, kaidah ushuliyah adalah sejumlah proporsi / pernyataan / ketentuan dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Di sini juga diterangkan perbedaan-perbedaan antara qawaid ushuliyah dengan qawaid fiqhiyah. Kaidah-kaidah ushuliyah berfungsi sebagai alat atau metode dalam menggali ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai kaidah-kaidah ushuliyah dapat mempermudah seorang ahli fiqih dalam mengetahui dan mengistinbathkan hukum Allah dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Fungsi kaidah ushuliyah adalah menggali dan mengeluarkan hukum islam dari sumber-sumbernya.



DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
http://aminlrg.blogspot.com/2011/05.





[1] http://aminlrg.blogspot.com/2011/05.
[2] Ade Dedi Rohayana,Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Press, cet.2, 2006), h.206-207.

[3]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 203-2018.
[4] Ibid,.hlm. 280.
[5] Ade Dedi Rohayana,Op.Cit., hlm. 209
[6] Ibid., hlm. 213.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar