PENDAHULUAN
Nash
al-Quran dan as Sunnah menggunakan bahasa Arab. Hukum dari nash tersebut dapat
dipaham secara benar jika memperhatikan tuntunan tata bahasa,cara penganbilan
makna dan artiyang ditunjukkan oleh kata per kata serta susunan kalimat dalam
bahasa Arab. Karena itu para pakar ilmu Ushul Fiqih islam mengadakan penelitian
tentang tata Bahasa Arab, ungkapan dan kosa katanya. Dari hasil penelitian ini
ditambah dengan ketetapan para pakar bahasa dikembangkan menjadi kaidah dan
batasan-batasan. Dengan kaidah itu diharapkan dapat memehami hukum dari nash
syara’ dengan pemahaman orang arab yang mana nash itu diturunkan dengan bahasa
mereka. Juga diharapkandapat membuka nash yang masih samar, menghilangkan
kontradiksi antara nash yang satu dengan yang lain, mentakwilkan nash yang ada
bukti takwilnya, juga hal-hal lainyang berhubungan dengan pengambilan hukun
dari nashnya.
PEMBAHASAN
A. Definisi
Qaidah Ushuliyah
Kata ushul berasal dari kata اصل yang artinya: “Sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain
”Selian itu juga ushul diartikan
sebagai sumber atau dasar. Asal
adalah sesuata yang menjadi dasar (sendi) oleh sesuatu yang lain, sedangkan furu’ adalah sesuatu yang diletakkan di
atas asal tadi. . Seperti
sebuah rumah yang terletak di atas sendi atau fondasi, maka sendi dinamakan
asal, dan rumah yang terletak di atasnya dinamakan furu’. Sedangkan secara
terminologi, kata ashal mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut :
1.
Dalil (landasan hukum)
2.
Qaidah (dasar, fondasi)
3.
Rajih (yang terkuat)
4.
Far'un ( cabang)
5. Mustashab (memberlakukan hukum yang ada
sejak semula, selama tidak ada dalil yang mengubahnya).[1]
Secara umum, dalil itu ada dua, yaitu
dalil tafshili (terinci) dan dalil ijmali (global). Yang dimaksud dalil tafshili adalah al-Quran dan Sunnah,
sedangkan yang dimaksud dalil ijmali
adalah ushul fiqh. Kemudian dalil syara’ ada yang bersifat menyeluruh,
universal, dan global (kulli dan mujmal), dan ada yang hanya ditunjukkan bagi
hukum tertentu dari cabang hukum tertentu. Apabila dalil itu bersifat
menyeluruh dan berkaitan dengan sumber hokum dan hukum, maka itu disebut qaidah ushuliyah.
Dari
pengertian ushul fiqih terkandung
pengertian bahwa objek kajian ushul fiqih itu antara lain adalah kaidah-kaidah
penggalian hukum dari sumbernya. Dengan demikian kaidah ushuliyah adalah sejumlah proporsi/ pernyataan/ ketentuan dalam
menggali hukum islam dari sumber-sumbernya yaitu al-Quran dan as-sunnah.
Menurut
Ibnu Taimiyah, kaidah ushuliyah
adalah al-adillah al-‘ammah. Menurut
Ali Ahmad al-Nadawi, kaidah-kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah universal
yang dapat diaplikasikan kepada seluruh bagian dan objeknya, di mana kaidah
berfungsi sebagai dzari’ah dalam mengistinbath hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis.[2]
B.
Macam-macam Kaidah Ushuliyah
1.
Teori Mengambil Petunjuk Nash
Nash syara’ atau undang-undang, harus dilaksanakan sesuai dengan pemahaman
dari ungkapan, isyarat, dalalah (petunjuk) atu tuntutannya. Karena sesuatu yang
dipaham dari nash dengan salah satu diantara empat cara tersebut adalah pengertian
nash, sedangkan nash adalah argumentasi dari pengertian itu.
Jika pengertian yang diambil dengan
salah satu teori tersebut bertentangan dengan pengertian lain yang diambil dari
teori yang lain, maka yang dimenangkan adalah pengertian dari ungkapan bukan
pengertian dari isyarat. Dan pengertian dari salah satu keduannya dimenangkan
dari pengertian yang berdasarkan petunjuk (dalalah).
Arti global dari kaidah ini adalah bahwa nash syara’ atau undang-undang
kadang-kadang mempunyai pengertian yang berbeda-beda, karena cara pengambilan
makna yang berbeda.
a.
Ungkapan nash
Yang dimaksud
ungkapan nash adalah bentuk kalimat yang tersusun dari kosa kata dan susunan
kalimat. Yang dimaksud dengan pemahaman dari ungkapan nash adalah arti yang langsung dapat dipahami dari bentuknnya,
dan itulah yang dimaksud dari redaksi nash. Jika makna itu jelas dapat dipahami
dari nash, sedangkan nash itu disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka
makna itu adalah madlul (yang ditunjukkan) oleh ungkapan nash, dan
disebut juga makna harfiyah (menurut kata-kata) nash. Jadi petunjuk
ungkapan adalah petunjuk dari bentuk kata yang langsung dapat dipahami makna
yang dimaksud dari redaksi itu, baik maksud redaksi itu nenurut aslinya maupun
konsekuensinya.
Contoh surat Al-Baqarah
ayat 275:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.”
Bentuk
nash ini menunjukkan dalalah yang jelas kepada dua makna yang masing-masing
merupakan maksud dari redaksinya, pertama, bahwa jual beli tidak seperti riba,
kedua, hukum jual beli adalah halal sedangkan riba adalah haram. Keduanya
merupakan makna yang dipaham dari ungkapan nash dan tujuan dari redaksi nash.
Hanya saja makna yang pertama adalah maksud asli dari redaksi, karena ayat
tersebut disusun untuk membantah orang-orang yang mengatakan: sesungguhnya jual
beli adalah seperti riba. Sedangkan makna kedua adalah maksud konsekuensi dari
redaksi, karena menghilangkan kesamaan adalah menjelaskan kedua hukum jual beli
dan riba sampai ditemukan perbedaan hukum bahwa keduanya tidak sama. Seandainya
orang meringkas arti yang dimaksud dari redaksi asal nash itu, dia akan
berkata, “ tidaklah jual beli itu seperti riba.”
b.
Isyarat nash
Yang dimaksud pemahaman dari isyarat nash adalah makna yang tidak secara
langsung dipahami dari kata-kata dan bukan maksud dari susunan katanya,
melainkan makna lazim (biasa) yang sejalan dengan makna yang langsung dari
kata-katanya. Itulah makna kata dengan jalan ketetapan. Karena ia merupakan
makna ketetapan dan bukan makna yang dimaksud dari susunan kata, maka petunjuk
nashnya dengan isyarat bukan ungkapan. Jadi petunjuk isyarat adalah petunjuk
nash tentang makna lazim bagi sesuatu yang dipaham dari ungkapan nash yang
bukan dimaksud dari susunan katanya, yang memerlukan pemikiran mendalam atau
sekedarnya tergantung bentuk ketetapan itu nyata atau samar.
Contoh surat al-Baqarah
ayat 233:
“…dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…”
Dari nash ini dapat dipaham bahwa nafkah yang
berupa makanan dan pakaian para ibu adalah kewajiban para bapak. Karena makna
inilah yang dapat dipaham secara langsung dari nash dan yang dimaksud dengan
kata-katanya. Dari isyarat nash dapat dipaham bahwa para bapak tidak bersama
dengan yang lain dalam kewajiban memberi nafkah kepada anaknya, karena anak itu
adalah miliknya bukan milik orang lain. Seorang ayah ketika membutuhkan sesuatu
milik anaknya berhak mengambil barang itu tanpa pengganti sekadar menutupi
kebutuhannya. Karena anaknya adalah miliknya dan harta anaknya adalah miliknya
juga.
c.
Petunjuk nash
Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipaham dari petunjuk nash adalah makna
yang dipaham dari jiwa dan rasionalitas nash. Apabila ada nash yang ungkapannya
menunjukkan suatu hukum atas kejadian dengan suatu illat, maka hukum ditetapkan
berdasarkan illat tersebut. Kemudian ditemukan kejadian lain yang sama dalam
illat hukumnya atau lebih utama dari illat itu.
Contoh surat Al-Isra’
ayat 23:
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.
Ungkapan
nash ini menunjukkan larangan kepada anak untuk mengatakan “ah” kepada kedua
orang tuanya. Illat dalam larangan ini adalah suatu yang terkandung dalam
“ucapan” kepada keduanya, berupa menyakiti. Kemudian ada bentuk yang lain yang
lebih menyakitkan dari sekadar berkata seperti memukul dan mencaci. Maka dapat
segera dipahami bahwa larangan itu mencakup kejadian yang baru ini. Artinya ia
diharamkan oleh nash yang mengharamkan berkata “ah”. Karena secara bahasa
kangsung dapat dimengerti bahwa larangan berkata “ah” berarti larangan berbuat
sesuatu yang lebih dari itu, yaitu apalagi menyakiti kedua orang tua.
Perbedaan antara teori petunjuk nash dengan kias adalah bahwa persamaan
arti yang tak terucap dengan yang terucap langsung dapat dipahami secara
bahasa, tanpa membutuhkan ijtihad dan mengeluarkan hukum. Sedangkan persamaan
yang dikiaskan dengan yang dikiasi tidak dapat dipaham hanya dengan bahasanya,
bahkan ia membutuhkan ijtihad untuk mengeluarkan illat pada sesuatu yang dikiaskan
dan untuk mengetahui hakekat illat itu pada sesuatu yang dikiasi.
d.
Kehendak nash
Yang dimaksud dengan pemahaman dari kehendak nash adalah makna logika yang
mana kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan mengira-ngirakan makan
itu. Sedangkan bentuk nash tidak ada kata yang menunjukkan makna tersebut,
tetapi kebenaran arti menghendaki makna itu atau membenarkan dan menyesuaikan
dengan kenyataan.
Sabda Nabi saw:
“dihapus dari umatku (dosa) keliru, lupa dan
sesuatu yang dipaksakan kepadanya.”
Ungkapan
hadits ini lahirnya menunjukkan terhapusnya perbuatan bila keliru, lupa atau
dipaksakan. Pengertian ini tidak sesuai, karena bila sudah terjadi perbuatan
itu tidak mungkin dihapus. Jadi, ungkapan ini menghendaki sesuatu yang
dikira-kirakan untuk kebenaran maknanya. Dalam hal ini diperkirakan: dihapus
dari umatku dosa karena keliru. Kata “dosa” pada kalimat di atas tidak
disebutkan, hanya dikira-kirakan demi kebenaran makna nash. Maka kata “dosa” dianggap
sebagai kehendak yang ditunjuk nash.
Nash itu dapat
dipahami dengan empat cara pemahaman:
v Dari petunjuk nash, dan nash itu menjadi dalil atas makna
itu. Karena makna yang diambil dari ungkapan nash adalah makna yang langsung
dipaham dan yang dimaksud dari susunan katanya.
v Makna yang diambil dari nash adalah makna yang sepadan
dengan makna ungkapannya secara tidak terpisah. Jadi makna itu adalah petunjuk
nash secara lazim (logis).
v Makna yang diambil dari petunjuk nash yaitu makna yang
ditunjukkan oleh jiwa dan rasionalitas nash.
v Pengertian menurut kehendak adalah makna yang pasti yang
menuntut suatu makna tersembunyi untuk membenarkan nash atau menegakkan
pengertiannya.[3]
2.
Mafhum Mukhalafah ( Pengertian Kebalikan)
3. Dalalah yang Jelas dan
Tingkatannya
4. Dalil yang Tidak Jelas dan
Tingkatannya
5. Al Musytarak dan Petunjuknya
6. Al ‘aam(umum) dan Petunjuknya
7. Al Khaash dan Petunjuknya[4]
C.
Rumusan Kaidah-kaidah Ushuliyah
1. Sesuatu itu tergantung pada maksud dan tujuannya.
2. Bahaya harus dihilangkan.
3. Adat itu bisa menjadi sumber hukum.
4. Menarik suatu kemudahan.
5. Apabila berkumpul antara halal dan haram
maka yang haram mengalahkan yang halal.
6. Apabila ada dua mafsadat berkumpul, maka
kita memilih yang lebih kecil mafsadatnya.
7. Penetapan hukum itu berdasarkan
maslahat.
8. Kemudahan itu tidak bisa digugurkan
dengan kesulitan.
D.
Perbedaan Qawaid Ushuliyah dengan Qawaid Fiqhiyah
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan kaidah ushul fiqih dengan kaidah fiqih
adalah:
1. Kaidah-kaidah ushul fiqih mengeluarkan hukum dari dalil-dalil tafshili, dan ruang lingkupnya selalu
dalil dan hukum sedangkan kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah universal atau
dominan yang bagian-bagiannya adalah beberapa masalah fiqih, dan ruang
lingkupnya selalu perbuatan mukallaf.
2. Kaidah-kaidah ushul fiqih merupakan kaidah-kaidah universal yang dapat
diaplikasikan kepada seluruh bagian dan ruang lingkupnya, sedangkan
kaidah-kaidah fiqih tidak dapat diaplikasikan kepada seluruh bagiannya, karena
kaidah-kaidah fiqih ada pengecualiannya.
3. Kaidah-kaidah ushul fiqih merupakan dzari’ah
(jalan) dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis, sedangkan
kaidah-kaidah fiqih merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang mempunyai
‘illat sama, di mana tujuannya untuk mendekatkan berbagai persoalan dan
mempermudah mengidentifikasikannya.
4. Eksistensi kaidah-kaidah ushul fiqih baik dalam tataran ide
maupun kenyataan berada sebelum lahirnya hukum-hukum fiqih, sedangkan
kaidah-kaidah fiqih setelah lahirnya hukum-hukum fiqih.
5. Kaidah-kaidah ushul fiqih adakah kumpulan dalil-dalil fiqih yang dapat
mengeluarkan hukum syara’, sedangkan kaidah-kaidah fiqih adalah kumpulan
hukum-hukum syara’.
E. Signifikansi
Qawaid Ushuliyah
Kaidah-kaidah
ushuliyah berfungsi sebagai alat atau
metode dalam menggali ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa
(wahyu) itu. Menguasai kaidah-kaidah ushuliyah dapat mempermudah seorang ahli
fiqih dalam mengetahui dan mengistinbath hukum Allah dari sumber-sumbernya,
yaitu Al-Quran dan Sunnah. Fungsi kaidah ushuliyah
adalah menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya.[5]
F. Hubungan
Nash, Qawaid Ushuliyah, Fiqih dan Qawaid Fiqhiyyah
Muhammad
Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqih-nya menyatakan bahwa sebagian ulama
mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
“pengerahan kesungguhan
dan pencurahan daya upaya, baik dalam mengeluarkan hukum syara’ maupun
penerapannya”.
Berdasarkan
definisi ini, kata Abu Zahrah, ijtihad terbagi atas dua bagian, yaitu:
a) Ijtihad yang khusus berkaitan dengan
istinbath (penggalian) hukum dan penjelasannya, ialah ijtihad yang sempurna dan
khusus bagi sekelompok ulama yang berusaha mengetahui hukum-hukum cabang yang
bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut jumhur ulama,
ijtihad seperti ini dapat terputus pada suatu zaman, sedangkan ulama Hanabilah
berpendapat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari ijtihad model ini.
b) Ijtihad yang khusus berkaitan dengan
penerapan hukum, para ulama sepakat bahwa suatu zaman tidak mungkin kosong dari model ijtihad ini. Mereka
adalah para ulama takhrij dan ulama
yang berusaha menerapkan ‘illat-‘illat hukum yang digali dari
persoalan-persoalan cabang yang telah diistinbath oleh para ulama terdahulu.
Dengan cara tathbiq ini, akan tampak
hukum berbagai masalah yang belum diketahui oleh ulama terdahulu sebagai para
ulama yang mempunyai otoritas ijtihad model pertama. Tindakan para ulama ini
disebut tahqiq al-manath.
Ijtihad
model pertama adalah ijtihad yang menggunakan pendekatan kaidah-kaidah ushuliyah, karena tugasnya adalah
mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya. Masalah penerapannya dilapangan
adalah tugasnya kaidah-kaidah fiqih.
Salah
satu media yang dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus yang brtsifat khusus
adalah ilmu qawaid fiqhiyah. Di
sinilah letak urgensi ilmu ini, sehingga tepat sekali apa yang dikatakan oleh
Ali Ahmad al-Nadawi bahwa secara umum kajian ushul fiqih tidak menyentuh hikmah
dan tujuan disyari’atkannya hukum islam, berbeda dengan qawaid fiqhiyah yang menyentuh tujuan, hikmah dan rahasia
disyari’atkannya hukum islam.
Apabila
digambarkan dalam bentuk skema, maka kaitan antara nash, qawaid ushuliyah, fiqh, dan qawaid
fiqhiyah adalah:
Al-Quran
dan Sunnah (nash)
Ijtihad istinbathi
(qawaid ushuliyah)
Ijtihad
Bayani Ijtihad Qiyasi Ijtihad Istishlahi
Hukum Islam (Fiqih)
Ijtihad Tathbiqi
(qawaid fiqhiyah)
Hikmah dan rahasia
hukum islam
Setiap
istinbath (penggalian hukum) dalam
syari’at islam harus berpijak kepada Al-Quran dan sunnah. Dalil-dalil syara’
yang dapat dijadikan senagai hujjah ada dua macam, yaitu nash (Al-Quran dan sunnah) dan ghair
nash. Pada hakekatnya, dalil-dalil
yang tidak masuk kedalam kategori nash seperti qiyas dan istihsan, digali,
bersumber, dan berpedoman kepada nash. Mengetahui prosedur istinbath hukum
menjadi keharusan bagi seorang faqih.
Menurut
al-Syatibi, dalil syara’ terbagi dua, yaitu dalil
naql dan dalil ra’yi. Pembagian
ini apabila dikaitkan dengan ushul
al-adillah (sumber dalil), sedangkan jika tidak dikaitkan dengan ushul al-adillah, keduanya saling
berkaitan. Hal ini karena beristidlal dengan naql memerlukan nadhr
(pemikiran), dan begitu juga sebaliknya, ra’yu
tidak dianggap sebagai dalil syara’ apabila tidak berdasarkan kepada naql.
Dalil
naql, adalah Al-Quran dan sunnah nabi
Muhammad, sedangkan dalul ra’yi
adalah qiyas dan istidlal. Kedua dalil syara’ ini mempunyai mulhaq (cabang), baik yang disepakati
maupun yang diperselisihkan. Ijma’, madzab
shahabi dan syar’u man qablana merupakan mulhaq
dalil naql, karena sifatnya yang ta’abudi
dan tidak ada nadhr (pemikiran).
Istihsan dan mashalih mursalah, jika dipandang sebagai nadhr, merupakan mulhaq
dalil ra’yi, sedangkan jika dipandang
dari al-‘umumah al-ma’nawiyah (makna
umum) dalil-dalil naql, merupakan mulhaq dalil naql.
Pada
dasarnya, dalil syara’ hanya terbatas kepada dalil naql, karena eksistensi ra’yi
bukan diakui oleh akal (rasio), tetapi diakui oleh naql. Dalil naql menjelaskan kebolehan berpegang kepada ra’yi. Dengan demikian, dalil naql
adalah ‘umdah (pokok) dan menjadi
landasan hukum taklifi dari dua sudut pandang, yaitu :
a. Sudut penunjukkannya terhadap hukum yang
bersifat cabang, seperti penunjukkannya atas hukum bersuci, salat, zakat, haji,
jihad, berburu , jual beli, dan hudud.
b. Sudut penunjukkannya terhadap
kaidah-kaidah yang menjadi landasan hukum yang bersifat cabang, seperti
penunjukkannya bahwa ijma’, qiyas, qaul
shahabi, dan syar’u man qablana
adalah hujjah.
Statement
al Syatibi bahwa bagian kedua dari dua sudut pandang dalil naql adalah penunjukkannya terhadap kaidah-kaidah yang menjadi
landasanhukum yang bersifat cabang, mengindikasikan masuknya kaidah fiqh. Ia
menyatakan bahwa kaidah-kaidah yang menjadi landasan hukum yang bersifat cabang
adalah ijma’, qiyas, qaul shahabi, syar’u
man qablana, dan lain-lain. Kaidah fiqih dapat dimasukkan ke dalam kaidah
yang lain-lain tersebut, karena pada kajian sebelumnya al-Syathibi telah
menguraikan urgensi dan keistimewaan
qawa’id fiqhiyyah.[6]
PENUTUP
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa pengertian ushul fiqh terkandung
pengertian bahwa objek kajian ushul fiqh itu antara lain adalah kaidah-kaidah
penggalian hukum dari sumbernya. Dengan demikian, kaidah ushuliyah adalah
sejumlah proporsi / pernyataan / ketentuan dalam menggali hukum islam dari
sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Di sini juga diterangkan
perbedaan-perbedaan antara qawaid ushuliyah dengan qawaid fiqhiyah.
Kaidah-kaidah ushuliyah berfungsi sebagai alat atau metode dalam menggali
ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai
kaidah-kaidah ushuliyah dapat mempermudah seorang ahli fiqih dalam mengetahui
dan mengistinbathkan hukum Allah dari sumber-sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah. Fungsi kaidah ushuliyah adalah menggali dan mengeluarkan hukum islam
dari sumber-sumbernya.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,
Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
Rohayana,
Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
http://aminlrg.blogspot.com/2011/05.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar