Cari

Jumat, 08 Maret 2013

Makalah Ushul Fikih-Dalalah al-alfadz dan hukum syara-



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Dilalah
Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlu’ (yang ditunjuk). dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut dengan madlu’ itu adalah “hukum” itu sendiri.
Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
   Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah.
1.     Dilalah lafzhiyyah (petunjuk berbentuk lafadz)
Yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafadz, suara atau kata. Dengan demikian, lafadz, suara dan kata menunjukkan kepada maksud tertentu. Penunjukannya kepada maksud tertentu itu diketahui melalui 3 hal ;
a.     Melalui hal – hal yang bersifat alami yang menunjuk kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini.
b.     Melalui akal. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu.
c.      Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Penunjukan bentuk ini disebut wadh’iyah secara lengkap bisa disebut dilalah lafdhiyyah wadh’iyyah.
Dari berbagai ketiga bentuk dilalah diatas, dilalah bentuk istilah yang paling dominan dibicarakan dalam ushul fiqih.  
Para ahli membagi dilalah wadh’iyyah menjadi tiga bentuk :
1)    Muthabiqiyyah yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dilalah merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada istilah tersebut.
2)    Tadhammuniyah yaitu bila istilah yang digunakan sebagai dilalah merupakan salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun hanya menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menunjukkan maksud yang dituju.
3)    Iltizhamiyyah yaitu bila dilalahnya bukan arti atau istilah yang sebenarnya, tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim berlaku pada istilah tersebut. Melalui penyebutan sifat yang lazim itu, orang akan mengetahui apa yang dimaksud.
2.     Dilalah Ghairu Lafdziyyah (Dilalah bukan lafadz)
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadz dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya” sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu.
Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal – hal sebagai berikut :
a.     Melalui hal – hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang dimana saja,
Contohnya: warna pucat pada wajah seseorang menunjukan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui bahwa secara alamiah tanpa dibuat-buat, bila seseorang berada dalam ketakutan, maka muka nya akan pucat.pucat itu timbul dengan sendirinya dari rasa takut itu.penunjukan seperti ini disbut” thabi’iyah”.
b.     Melalui akal, maksudnya meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu.
Contohnya: asap yang mengepul dari sesuatu menunjukan ada api didalam nya.meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahui nya, karena menurut pertimbangan akal:dimana ada asap pasti ada api.penunjukan dalam bentuk ini disebut “aqliyyah”.
c.      Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu.
Contohnya:huruf H didepan nama seorang muslim menunjukan bahwa orang itu sudah melakukan ibadah haji.penunjukan seperti ini disebut”wadh’iyah”.

Penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan.
Bentuk dilalah yang luas penggunaannya adalah dilalah lafdziyyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah ghairu lafdziyyah juga digunakan dalam penunjukkannya terhadap hukum, tetapi mengundang banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqih.  [1]

B.     Hukum Syara’
Hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syari’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau ketetapan.
Menurut abu Zahrah hukum syara’ adalah titah syar’I (Allah) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik yang bersifat tuntutan, pilihan atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.[2]
Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf  dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum taklifi dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan hukum wadh’i. dari sini ditetapkan bahwa hukum syara’ itu terbagi dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh’i 
1.     Hukum taklifi
Adalah hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat atau tidak.
Menurut Abu Zahrah hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan, atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara melakukan dan meninggalkan.
Bentuk – bentuk hukum taklifi :
a.     Wajib
Menurut syara’ adalah sesuatu yang dituntut oleh syari’ untuk dikerjakan oleh mukallaf secara pasti yakni tuntutan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk berbuat.
Menurut Abu Zahhrah dalam pandangan jumhur ulama’ wajib yaitu tuntutan syara’ yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan, orang yang meninggalkannya terkena sanksi.
Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat :
1)    Wajib ditinjau dari waktu pelaksanaannya, ada yang muaqqat (dibatasi waktu) dan ada yang muthlaq (tidak dibatasi waktu)
2)    Wajib ditinjau dari tuntutan menunaikan terbagi menjadi wajib ain dan wajib kifayah
3)    Wajib ditinjau dari ukurannya terbagi menjadi wajib muhaddad (yang dibatasi) dan ghairu muhaddad (yan tidak dibatasi)
4)    Wajib ditinjau dari sifatnya terbagi menjadi wajib muayyan (tertentu) dan wajib mukhayyar (pilihan)
b.     Mandub (sunnah)
Adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’I yang dilaksanakan oleh mukallaf secara tidak pasti. Menurut Al – Syaukani, sunnah adalah sesuatu yang terpuji orang yang melakukannya dan tidak tercela oleh orang  yang meninggalkannya.
Sunnah terbagi menjadi 3 bagian:
1)    Sunah yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan.
Contohnya: adzan, melakukan sholat lima waktu dengan berjamaah,dsb.
2)    Sunah yang dianjurkan oleh syara’ untuk dikerjakan.
Contohnya:bersedekah pada para fakir,puasa pada haari kamis dalam setiap minggu,atau sholat beberapa rakaat sebagai tambahan sholat fardhu.
3)    Sunah tambahan.
Contohnya:seperti makan,minum,tidur dan berpakaian menurut sifat yang dilakukan oleh Rosul.
c.      Haram
Haram adalah sesuatu yang dituntut syar’I untuk tidak dikerjakan dengan tuntutan yang pasti. Artinya bentuk tuntutan larangan itu sendiri menunjukkan kepastian
Pembagian haram
1)    Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram
2)    Haram karena sesuatu yang baru
d.     Makruh
Makruh adalah sesuatu yang dituntut syar’I untuk tidak dikerjakan oleh mukallaf dengan tuntutan yang tidak pasti, seperti jika bentuk tuntutan itu sendiri menunjukkan ketidak pastian.
e.      Mubah
Adalah sesuatu yang oleh syar’I seorang mukallaf diperintah memilih antara melakukannya atau meninggalkannya.
2.     Hukum wadh’i
Adalah hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi sebab bagi sesuatu yang lain atau menjadi syarat atau menjadi pengahalang.
Hukum wadh’I terbagi menjadi lima :
1)    Sebab, adalah sesuatu yang oleh syar’I dijadikan sebagai tanda atas sesuatu akibat dan hubungan adanya akidah dengan sebab serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab.
Macam – macam sebab :
a.     Sebab kadang – kadang menjadi sebab pada hokum taklif
b.     Kadang – kadang sebab itu menjadi sebab untuk menetapkan kepemilikan, kehalalan atau menghilangkan keduanya
c.      Kadang – kadang sebab itu berupa perbuatan yang mampu dilakukan mukallaf
d.     Kadang – kadang sebab berupa sesuatu yang tidak mampu dilakukan mukallaf dan bukan termasuk perbuatan mukallaf.
2)     Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’ , tetapi keberadaan hukum syara tergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syarat. Oleh karena itu,suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan kecuali telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara’.
Misalnya: wudhu adalah salah satu syarat syah sholat.sholat tidak bisa dilaksanakan tanpa wudhu.akan tetapi,apabila seseorang berwudhu,ia tidak harus melaksanakan sholat.
3)    Mani’ (pengahalang), adalah sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Mani’ menurut istilah ushul fiqih adalah sesuatu yang ditemukan setelah terbukti sebabnya dan memenuhi syaratnya tetapi dapat menghalangi hubungan sebab akibat.
4)    Rukhshah dan Azimah.
Rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyaratkan oleh Allah atas mukallaf atas keadaan tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut. Atau sesuatu yang disyariatkan karena ada uzur yang memberatkan dalam keadaaan tertentu.
Sedangkan azimah adalah hukum  - hukum yang telah disyariatkan oleh Allah secara umum sejak semula yang tidak terbatras pada keadaan tertentu dan pada perorangan (mukallaf) tertentu.
5)     Sah dan Batal,
Menurut syara’ sah adalah perbuatan mukallaf itu mempunyai pengaruh secara syara’
Pengertian batal adalah tidak adanya pengaruh secara syara’, jika yang dilakukan berupa kewajiban, maka kewajiban itu tidak gugur dan ia tidak bebas dari tanggungan. Jika berupa sebab syara’ maka tidak mempunyai pengaruh hukum. Jika berupa syara’ maka yang disyarati belum ditemukan. Hal itu karena syari’ menggantungkan pengaruh pada perbuatan, sebab dan syarat yang terpenuhi sebagaimana tuntutan dan syariatnya. [3]




BAB III
KESIMPULAN

Dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut madlu’ (yang ditunjuk). dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut dengan madlu’ itu adalah “hukum” itu sendiri.
Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
   Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu dilalah lafdziyah dan dilalah ghairu lafdziyah.
Hukum syara’ menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syari’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau ketetapan.
Menurut abu Zahrah hukum syara’ adalah titah syar’I (Allah) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik yang bersifat tuntutan, pilihan atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.
 Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf  dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum taklifi dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan hukum wadh’i. dari sini ditetapkan bahwa hukum syara’ itu terbagi dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh’i 



DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahhab, 2003, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani
Rohayana, Ade Dedi, 2006, Ushul Fiqih, Pekalongan : STAIN Pekalongan Press
Syarifuddin, Amir, 2009,  Ushul Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Group


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hlm, 126 - 129
[2] Ade Dedi Rohayana, Ushul Fiqih (Pekalongan : STAIN Pekalongan Press, 2006), hlm, 251
[3] Abdul wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm, 131 - 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar