PENDAHULUAN
Ilmu Ushul
Fiqih merupakan salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami
syarat Islam dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan Sunah. Melalui Ilmu Ushul
Fiqih dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syariat Islam, cara
memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.
Jadi
setiap perbuatan ada dalil hukumnya, ada cara-cara mengeluarkan hukum
dari dalilnya, maka para ahli Ushul Fiqih pada macam-macam hukum, macam-macam
dalil dan soal-soal disekitar dalil, menerangkan cara mengeluarkan huum-hukum
dari dalilnya, dan menerangkan syarat-syarat mujtahid dan hukum-hukum ijtihad
serta tingkat-tingkatnya.
Pembahasan
yang tidak kalah pentingnya dalam Ilmu Ushul Fiqih adalah kajian tentang
pembahasan Madzhab, Taqlid, Talfiq, dan Ifta. Madzhab merupakan pikiran atau
dasar yang digunakan oleh Imam Madzhab dalam memecahkan masalah atau
mengistinbatkan hukum Islam. Pembahasan tentang Taqlid merupakan kelanjutan
dari pembahasan tentang Madzhab. Taqlid adalah salah satu dampak dari lahirnya
madzhab sedangkan Talfiq secara syara berarti mengambil dan mengikuti 2 madzhab
atau lebih dalam satu permasalahan ibadah.
Untuk lebih
jelasnya dalam makalah ini, kami mencoba untuk memaparkan lebih lanjut tentang
maksud dari Madzhab, Talfiq, Taqlid dan Ifta serta perkembanganya.
PEMBAHASAN
Madzhab, Taqlid, Talfiq dan Ifta’
A.
MADZHAB
1.
Definisi
Madzhab
Kata madzhab adalah isim matan (kata yang menunjukkan tempat) yang di
ambil dari fi’il madhi (kata dasar) dzahaba,
berati “pergi”. Dapat juga berarti al-ra’yu,
yang artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologi madzhab dapat di artikan
sebagai :
a. Jalan
pikir atau metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu
kejadian.
b. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau
mufti tentang hukum suatu kejadian.[1]
Jadi madzhab merupakan pokok pikiran/dasar yang digunakan oleh Imam
Madzhab dalam memecahkan masalah/mengistinbahtkan hukum islam.
2.
Latar
Belakang Timbulnya Madzhab dan Dampaknya Terhadap Fiqih
Taqlid merupakan salah satu dampak
dari lahirnya madzhab. Sebelum adanya madzhab, para ulama bahkan umat Islam
secara keseluruhan mempunyai kebebasan untuk mengikuti pendapat siapa yang dikehendakinya.
Namun, setelah pintu ijtihad dinyatakan tertutup (sekitar pertenghan abad ke-4 H), dan para ulama banyak memusatkan
perhatiannya kepada pemikiran ulama-ulama tertentu, maka mereka sendiri bahkan
umat Islam secara keseluruhan menjadi terpecah-pecah ke dalam beberapa aliran
(madzhab).[2]
Munculnya Madzhab-madzhab tersebut
menunjukan betapa majunya perkembangan hukum islam pada waktu itu. Hal ini
terutama disebabkan adanya tiga faktor yang sangat menentukan bagi perkembangan
hukum islam sesudah wafatnya Rasulullah saw, yaitu :
a. Semakin
luasnya daerah kekuasaan islam yang mencakup Arab, Irak, Mesir dan lainnya.
b. Pergaulan
kaum muslim dengan bangsa yang ditaklukannya.
c.
Akibat jauhnya negara-negara yang
ditaklukanya itu dengan ibu kota khalifah (pemerintahan) islam, sehingga para
gubernur, hakim dan ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban
terhadap problem baru yang dihadapi.
Perbedaan-perbedaan antara satu
madzhab dengan yang lainya itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Corak
kajian fiqih yang berbeda dasar bijaknya antara aliran tradisional dengan
aliran rasional.
2. Pemahaman
ayat yang berbeda.
3. Berbeda
dalam pemakaian al-sunah.
4. Perbedaan
dalam pemakaian kaidah-kaidah ushul.[3]
Madzhab-madzhab tersebut menyebar ke seluruh
pelosok negara yang berpenduduk muslim. Dengan tersebarnya madzhab-madzhab
tersebut, berarti tersebar pula syariat islam ke pelosok dunia yang dapat
mempermudah umat islam untuk melaksanakannya. Selain itu, muncul dan
berkembangnya madzhab itu juga menimbulkan dampak negatif misalnya menipisnya
toleransi di kalangan-kalangan pengikut madzhab sehingga timbul persaingan dan
permusuhan sebagai akibat dari fanatisme madzhab yang berlebihan.
3.
Perkembangan
dan Macam-Macam Madzhab
Madzhab yang dapat bertahan dan
berkembang terus sampai sekarang serta banyak diikuti oleh umat islam di
seluruh dunia, hanya empat madzhab, yaitu:
1. Madzhab
Hanafi, pendirinya imam Abu Hanifah.
2. Madzhab
Maliki, pendirinya imam Malik.
3. Madzhab
Syafi’i, pendirinya imam Al-Syafi’i.
4. Madzhab
Hanbali, pendirinya imam Ahmad bin Hanbal.
Menurut Khuddari Bek, perkembangan
keempat madzhab tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1. Pendapat-pendapat
mereka dikumpulkan dan dibukukan.
2. Adanya
murid-murid yang berusaha menyebarluaskan pendapat mereka, mempertahankan dan
membelanya.
3. Adanya
kecenderungan jumhur ulama yang menyarankan agar keputusan yang di putuskan
oleh hakim harus berasal dari suatu madzhab, sehingga dalam berpendapat tidak
ada dugaan yang negatif.
Mahzab fiqih yang paling penting
dapat dikelompokan kepada dua macam yaitu mazhzab ahli sunnah wal jama’ah dan
mahzab syiah. Mahzab ahli sunah wal jama’ah ini secara terus menerus dijadikan
pegangan dan diamalkan oleh mayoritas kaum muslim sampai sekarang. Mereka itu
adalah mahzab empat yaitu mahzab Hanbali, madzhab Syafi’, madzhab Maliki, dan
madzhab Hanafi.
Begitu juga, mahzab yang masih
bertahan sampai sekarang adalah madzhab syi’ah. Mereka itu adalah madzhab
syi’ah zaidiyah, syi’ah imamiyah, dan syi’ah isma’iliyah.
4.
Pendekatan
antar Madzhab pada Zaman Modern
Pada zaman para imam madzhab, kaum
muslim mempunyai kebebasan dalam mengikuti pendapat mana yang dikehendakinya.
Diantara dampak dari kebebasan ini
tumbuh dan berkembangnya para ulama yang kemudian hari dikenal sebagai
pendiri madzhab-madzhab. Zaman keemasan ijtihad dibidang fiqih ini berlangsung
sekitar tiga abad sampai datangnya masa kemunduran ijtihad di bidang
fiqih, sekitar pertengahan abad ke-4
Hijrah. Setelah masa ini, mayoritas ulama tidak berani melakukan ijtihad secara
bebas. Para ulama tersekat-sekat ke dalam beberapa madzhab dan masing-masing
hanya memperkuat argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh para imam
madzhabnya. Dengan demikian, Ilmu fiqih berhenti sedangkan ilmu-ilmu lain yang mendukung
Ilmu Fiqih ini berkembang, seperti ilmu ushul
fiqih. Kemunduran Fiqih Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4
sampai akhir abad ke-13 H sering disebut sebagai penutupan pintu ijtihad
(Periode Taqlid). Disebut demikian, karena sikap dan paham yang mengikuti
pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah.
Bahkan dipandang tepat.[4]
Kemudian pada abad ke-4 Hijrah atau
abad ke-20 Masehi, bermuncullah para ulama yang giat mengadakan pendekatan
antar berbagai madzhab dalam pemikiran-pemikiran fiqihnya, seperti Syeh
Mahmud Syaltut (w.1963) dengan gerakan taqrib bain al-mazaqib (pendekatan antar
madzhab).
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pada masa ini terdapat ulama-ulama yang berusaha mengkontekstualkan ketentuan-ketentuan
hukum Islam dengan berbagai persoalan hidup dan agar mereka memegang kendali
dalam kehidupan ini. Tanda-tanda kebangkitan kembali pemikiran fiqih atau
gejala pendekatan antar madzhab pada masa modern dapat dilihat pada sistem
mempelajarinya yang berbentuk perbandingan (muqaran) yang objektif, segi-segi
penulisannya yang spesifik dalam membahas suatu bidang tertentu.
5.
Peranan
Madzhab dalam Pengembangan Hukum Islam
Peran yang besar dalam pengembangan
hukum islam madzhab-madzhab fiqih telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi
kajian hukum yang luas dan komprehensif, sehingga Fiqih Islam tidak hanya mampu
membawa persoalan-persoalan kontemporer. Selain itu, berkembangnya
madzhab-madzhab fiqih itu membuat hukum islam menjadi fleksibel.[5]
B.
TAQLID
1)
Pengertian
Taqlid
Kata taqlid berasal dari kata qaladah (kalung), yaitu sesuatu yang
lain dikalungi olehnya. Sedangkan definisi taqlid menurut ulama adalah:
a. Al-Ghazali
mendefinisikan taqlid adalah menerima ucapan tanpa hujjah.
b. Al-Asnawi
mendefinisikan taqlid adalah mengambil perkaraan orang lain tanpa dalil.
c. Ibn
Subki mendefinisikan taqlid adalah mengambil suatu perkaraan tanpa mengetahui
dalil.[6]
Dengan demikian essensi taqlid adalah :
1. Beramal
dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2. Ucapan
atau pendapat orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3. Tidak
mengetahui hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.
2)
Hukum Bertaqlid
Taqlid itu ada yang haram dan haram
kita memberikan fatwa berdasarkan paham tersebut. Namun, ada yang wajib, dan
ada pula yang boleh kita anut[7].
Ø Taqlid
yang haram, yang disepakati oleh seluruh ulama ada tiga jenis, yaitu:
a.
Taqlid semata-mata mengikuti adat
kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala yang
bertentangan dengan Alquran dan hadis. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah:
170, yang berarti “Dan apabila dikatakan
kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah swt.” Mereka menjawab,
“(tidak) kami hanya mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya), padahal nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui apapun dan mendapat petunjuk.”
b. Taqlid
kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui
bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
c. Taqlid
kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya,
seperti menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau
keahlian berhala tersebut.
Ø Taqlid
yang wajib. Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai
dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.
Ø Taqlid
yang diperbolehkan, yaitu bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang
mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum yang berhubungan dengan suatu
peristiwa dengan syarat bahwa yang bersangkutan harus selalu berusaha
menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu.
3) Ketentuan Bertaqlid
Ibn al-humman menunjukan kesepakatan
ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada seorang dari kalangan ahli ilmu yang di
ketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki
sifat adil (pengertian a’dil disini mengandung maksud khusus yaitu ‘adil dalam
pengertian periwayatan hadist, bukan dalam pengertian peradilan), yaitu seorang
yang memiliki kriteria (sifat) sebagai berikut:
1. Tidak
pernah melakukan dosa besar.
2. Tidak
sering melakukan dosa kecil.
3. Selalu
menjaga muru’ah atau harga diri.
Pengetahuan terhadap kemampuan seseorang untuk berijtihad dan memiliki
sifat adil tersebut dapat diperoleh
melalui kepopuleran orang itu. Juga diperoleh dari berita tentang dirinya, atau
diketahui melalui kedudukannya, dan orang-orang sering meminta fatwa kepadanya
serta menghormati kedudukanya.
Menurut kalangan ulama syafi’iyah bahwa pendapat yang ashah (paling
tepat) adalah memeriksa tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada
orang-orang dan untuk mengetahui keadilannya cukup dari keadilan menurut
lahirnya tanpa perlu memeriksa.
Bila dua persyaratan tersebut (berilmu dan ‘adil) tidak terdapat pada
seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya. Para ualama sepakat bahwa bila
diduga kuat ia tidak memiliki satu diantara keduanya, maka orang awam tidak
boleh bertanya atau bertaqlid kepadanya. Pendapat lainnya mengatakan bila yang
tidak diketahuinya dari orang itu adalah tentang keilmuannya, maka tidak boleh
minta fatwa dan bertaqlid kepadanya.
C.
TALFIQ
1.
Pengertian
Talfiq
Kata talfiq berasal dari kata laffaqa
yang artinya mempertemukan menjadi satu. Adapun secara istilah talfiq
adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan
mengambilnya dari berbagai macam madzhab.[8]
Contohnya seperti dua orang laki-laki
dan perempuan melaksanakan akad nikah, tanpa wali dan saksi, cukup dengan
melaksanakan pengumuman saja. Dasar pendapat mereka adalah dalam hal wali
mereka mengikuti pendapat madzhab Hanafi. Menurut pendapat Hanafi syah nikah
tanpa wali. Sedang mengenai persaksian, mereka mengikuti pendapat madzhab
Maliki. Menurut madzhab Maliki syah akad nikah tanpa saksi, cukup dengan
pengumuman saja. Bila demikian hanya dapat disimpulkan bahwa syah nikah tanpa
wali dan saksi asal ada pengumuman saja.
2.
Hukum Talfiq
Para ulama berpendapat mengenai hukum
Talfiq. Al-asnawi dalam kitabnya Nihayah Al-Sul menyatakan bahwa ulama
berpendapat, Talfiq yang mengarah kepada talfiq dalam satu masalah tidak
dibenarkan.[9]
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam
agama, selama tujuan melaksanakan talfiq, semata-mata untuk melaksanakan
pendapat itu dan mengambil apa yang paling benar dalam arti setelah meneliti
dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar
hukumnya. Akan tetapi ada talfiq yang tujuanya untuk mencari yang ringan-ringan
dalam arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling mudah untuk
dikerjakan. Sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini dicela para
ulama. Jadi talfiq pada dasarnya kembali pada niat.
D.
IFTA’
1.
Pengertian
Ifta’
Ifta’ berasal dari kata afta
yang artinya memberikan penjelasan. secara sederhana, ifta’ di rumuskan
sebagai “Usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada
orang yang belum mengetahuinya”.[10]
Contoh dari ifta’ adalah mengenai
hukum hadiah undian, ada tiga bentuk hukum yang menyangkut hukum tersebut salah
satunya hukum–hukum yang diperbolehkan syariat hadiah-hadiah yang disediakan
untuk memotivasi dan mengajak kepada peningkatan ilmu.[11]
pengetahuan yang bermanfaat dan amal sholeh misalnya, hadiah dalam perlombaan
menghafal Al-Quran.
Ciri-ciri dari Ifta’ (berfatwa) adalah:
a. Usaha
memberi penjelasan.
b. Penjelasan
yang di berikan berkaitan dengan hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil
ijtihad.
c. Yang
memberi penjelasan adalah orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskannya.
d. Penjelasan
itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.[12]
2.
Mufti
Mufti adalah mujtahid. Ada
yang berkata mufti ditujukan untuk seorang ahli fiqih (faqih), karena yang
dimaksud dengan mufti adalah mujtahid dalam
istilah ulama ahli ushul. Secara global, syarat-syarat mufti dapat
dikelompokan kepada empat bagian berikut:
·
Syarat umum, yaitu muslim, dewasa dan
sempurna akalnya. Karena mufti akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan
hukum syara dan pelaksanaanya.
·
Syarat keilmuan, yaitu mengetahui
secara baik dalil-dalil sam’i dan mengetahui secara baik dalil-dalil aqli.
Mufti harus ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad.
·
Syarat kepribadian, yaitu adil dan
dapat dipercaya.
·
Syarat pelengkap dalam kedudukanya
sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi diuraikan antara lain: dengan berfatwa
ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang atau
sakinah, dan berkecukupan. Imam Ahmad menurut yang dijelaskan oleh ibn
al-Qoyyim menambah dengan sifat berikut: mempunyai niat dan i’tikad yang baik,
kuat pendirian dan dikenal ditengah umat. Secara umum, al-Isnawi mengemukakan
syarat mufti adalah sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang perowi
hadist,karena dalam tugasnya mufti memberi penjelasan sama dengan tugas perowi.
Kewajiban-kewajiban para Mufti, yaitu:
a. Tidak
memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan.
b. Hendaklah
dia memohon pertolongan kepada Allah agar
menunjukan ke jalan yang benar.
c.
Berdaya upaya menetapkan hukum yang
diridhai Allah[13].
Sifat-sifat yang harus dimiliki
seorang mufti menurut pendapat Imam Ahmad adalah:
a. Mempunyai
niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridhaan Allah semata.
b. Hendaklah
dia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan.
c.
Hendaklah Mufti itu seorang yang
benar-benar menguasai ilmunya.
d. Hendaklah
Mufti itu seorang yang mepunyai kerukunan dalam bidang material.
e.
Hendaklah mufti itu mempunyai ilmu
kemasyarakatan.[14]
3.
Fatwa
Fatwa
adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran islam yang di sampaikan
oleh lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, yakni Mufti. Hukum berfatwa
menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Apabila dalam suatu wilayah hanya ada
seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan
akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hak berfatwa atas mufti
tersebut adalah fardhu ain, namun apabila ada mujtahid lain yang kualitasnya
sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah yang
mendesak untuk segera dipecahkan, maka hak berfatwa bagi mufti tersebut adalah
adalah fardhu Kifayah.
4.
Mengikuti (Fatwa) Seorang Mufti
Al-Isnawi
dan Ibnu Al-Humman mengklaim bahwa ada kesepakatan ulama tentang tidak bolehnya
menarik diri dari seorang mufti untuk mengkuti mufti lain dalam masalah yang
sama. Al-Amidi mengutip ijma’ ulama dalam hal ini, Tajahudin Al-Subkhi tidak
membolehkan hal ini, tetapi tidak menyebutkan adanya ijma’ ulama, disamping
mengecualikan jika fatwa yang diterimanya itu belum diamalkannya.
Kemudian
Tajuddin Al-Subkhi mengemukakan beberapa pendapat bandingan terhadap pendapat tersebut dalam
bentuk pengecualian, yaitu:[15]
a. Tidak
boleh meninggalkan pendapat mufti dengan semata-mata ia telah minta fatwa.
b. Harus
tetap mengikuti pendapat mufti itu jika telah diamalkan.
c. Harus
tetap mengikuti mufti itu jika yakin akan keshahihan pendapatnya itu.
d. Harus
tetap mengikuti pendapat mufti jika tidak menemukan mufti yang lain.
Bertolak
pada pendapat yang membolehkan bermadzhab, bolehkah orang yang bermadzhab itu
pindah madzhab. Dalam hal ini terdapat perbedaaan pendapat ulama:
a. Sebagaian
ulama mengatakan tidak boleh. Karena ia telah menyatakan dirinya untuk
mengikuti madzhab asal mulanya tidak
harus.
b. Ulama
lain mengatakan boleh-boleh saja karena bermadzhab itu sendiri tidak harus.
c.
Ada juga ulama yang mengambil jalan
tengah dengan mengatakan tidak boleh dalam sebagain masalah dan boleh dalam
bagian lain. Maksudnya, ketidakbolehan itu tidaklah mutlak.
PENUTUP
Ø Madzhab
adalah pokok pikiran yang digunakan Imam Madzhab untuk memecahkan
masalah-masalah dan mengistinbatkan hukum Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali.
Ø Taqlid
adalah perkataan atau pendapat yang diikuti dan diterima itu tidak diketahui
dasar dan alasanya apakah ada atau tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Ada 3
macam Taqlid, yaitu taqlid yang haram, taqlid yang dibolehkan, dan taqlid yang
wajib.
Ø Talfiq
ialah mengambil ataun mengikuti hukum dari suatu peristiwa dengan mengambilnya
dari berbagai macam madzhab. Mencampur sejumlah pendekatan dari beberapa
madzhab yang diperbolehkan, namun seorang praktisi dianjurkan tetap bertahan
pada garis pedoman madzhab tertentu.
Ø Ifta’
merupakan usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada
orang yang belum mengetahuinya.
DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro, Totok dan
Samsul Munir. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta:
Amzah.
Qaradhawi, Yusuf. 2002. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani
Press.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Press.
Rosada, Dede. 1999.
Hukum Islam
dan Pranata Sosial. Jakarta: PT. Raja
Grafindo.
Shiddieqy, M. Hasbi
Ash. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang:
PT.
Pustaka Rizki putra.
Syarifudin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Logos Wacana
Ilmu.
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih jld.II (Jakarta: PT.LOGOS
Wacana Ilmu, 2001), h. 422
[2]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan:STAIN
Press, 2006), h. 304
[5] Dede Rosada, Hukum
Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1999), h. 160-161
[6]Amir Syarifuddin, op. Cit, h. 408
[7]Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam
(Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 141
[8] Totok Jumantoro dan Samsul Munir
Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih (
Jakarta: Amzah, 2005),h. 322.
[9] Ade Dedi Rohyana, Op.Cit.,h.323
[10] Ibid.,h.327
[11] Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer ( Jakarta: Gema
Insani press, 2002), h. 499
[12] Totok Jumantoro dan Samsul Munir
Amin, Op.Cit., h. 101
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Siddiqi, Op.Cit., h. 168
[14] M. Hasbi Ash.Shiddieky, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: PT. Karya
Unipress, 1994), h. 180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar