Cari

Jumat, 08 Maret 2013

Makalah Ushul Fikih-MAHZAB, TAQLID, TALFIQ DAN IFTA-


PENDAHULUAN

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu bidang ilmu keislaman yang penting dalam memahami syarat Islam dari sumber aslinya, yaitu Alquran dan Sunah. Melalui Ilmu Ushul Fiqih dapat diketahui kaidah-kaidah, prinsip-prinsip umum syariat Islam, cara memahami suatu dalil dan penerapannya dalam kehidupan manusia.
 Jadi  setiap perbuatan ada dalil hukumnya, ada cara-cara mengeluarkan hukum dari dalilnya, maka para ahli Ushul Fiqih pada macam-macam hukum, macam-macam dalil dan soal-soal disekitar dalil, menerangkan cara mengeluarkan huum-hukum dari dalilnya, dan menerangkan syarat-syarat mujtahid dan hukum-hukum ijtihad serta tingkat-tingkatnya.
Pembahasan yang tidak kalah pentingnya dalam Ilmu Ushul Fiqih adalah kajian tentang pembahasan Madzhab, Taqlid, Talfiq, dan Ifta. Madzhab merupakan pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Madzhab dalam memecahkan masalah atau mengistinbatkan hukum Islam. Pembahasan tentang Taqlid merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang Madzhab. Taqlid adalah salah satu dampak dari lahirnya madzhab sedangkan Talfiq secara syara berarti mengambil dan mengikuti 2 madzhab atau lebih dalam satu permasalahan ibadah.
Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami mencoba untuk memaparkan lebih lanjut tentang maksud dari Madzhab, Talfiq, Taqlid dan Ifta serta perkembanganya.  

  
PEMBAHASAN
Madzhab, Taqlid, Talfiq dan Ifta’

A.   MADZHAB
1.     Definisi Madzhab
Kata madzhab adalah isim matan (kata yang menunjukkan tempat) yang di ambil dari fi’il madhi (kata dasar) dzahaba, berati “pergi”. Dapat juga berarti al-ra’yu, yang artinya “pendapat”. Sedangkan secara terminologi madzhab dapat di artikan sebagai :
a.     Jalan pikir atau metode yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian.
b.      Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu kejadian.[1]
Jadi madzhab merupakan pokok pikiran/dasar yang digunakan oleh Imam Madzhab dalam memecahkan masalah/mengistinbahtkan hukum islam.
2.     Latar Belakang Timbulnya Madzhab dan Dampaknya Terhadap Fiqih
Taqlid merupakan salah satu dampak dari lahirnya madzhab. Sebelum adanya madzhab, para ulama bahkan umat Islam secara keseluruhan mempunyai kebebasan untuk mengikuti pendapat siapa yang dikehendakinya. Namun, setelah pintu ijtihad dinyatakan tertutup  (sekitar pertenghan abad  ke-4 H), dan para ulama banyak memusatkan perhatiannya kepada pemikiran ulama-ulama tertentu, maka mereka sendiri bahkan umat Islam secara keseluruhan menjadi terpecah-pecah ke dalam beberapa aliran (madzhab).[2]
     Munculnya Madzhab-madzhab tersebut menunjukan betapa majunya perkembangan hukum islam pada waktu itu. Hal ini terutama disebabkan adanya tiga faktor yang sangat menentukan bagi perkembangan hukum islam sesudah wafatnya Rasulullah saw, yaitu :
a.     Semakin luasnya daerah kekuasaan islam yang mencakup Arab, Irak, Mesir dan lainnya.
b.     Pergaulan kaum muslim dengan bangsa yang ditaklukannya.
c.      Akibat jauhnya negara-negara yang ditaklukanya itu dengan ibu kota khalifah (pemerintahan) islam, sehingga para gubernur, hakim dan ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem baru yang dihadapi.
Perbedaan-perbedaan antara satu madzhab dengan yang lainya itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1.     Corak kajian fiqih yang berbeda dasar bijaknya antara aliran tradisional dengan aliran rasional.
2.     Pemahaman ayat yang berbeda.
3.     Berbeda dalam pemakaian al-sunah.
4.     Perbedaan dalam pemakaian kaidah-kaidah ushul.[3]
 Madzhab-madzhab tersebut menyebar ke seluruh pelosok negara yang berpenduduk muslim. Dengan tersebarnya madzhab-madzhab tersebut, berarti tersebar pula syariat islam ke pelosok dunia yang dapat mempermudah umat islam untuk melaksanakannya. Selain itu, muncul dan berkembangnya madzhab itu juga menimbulkan dampak negatif misalnya menipisnya toleransi di kalangan-kalangan pengikut madzhab sehingga timbul persaingan dan permusuhan sebagai akibat dari fanatisme madzhab yang berlebihan.
3.     Perkembangan dan Macam-Macam Madzhab
Madzhab yang dapat bertahan dan berkembang terus sampai sekarang serta banyak diikuti oleh umat islam di seluruh dunia, hanya empat madzhab, yaitu:
1.     Madzhab Hanafi, pendirinya imam Abu Hanifah.
2.     Madzhab Maliki, pendirinya imam Malik.
3.     Madzhab Syafi’i, pendirinya imam Al-Syafi’i.
4.     Madzhab Hanbali, pendirinya imam Ahmad bin Hanbal.
Menurut Khuddari Bek, perkembangan keempat madzhab tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1.     Pendapat-pendapat mereka dikumpulkan dan dibukukan.
2.     Adanya murid-murid yang berusaha menyebarluaskan pendapat mereka, mempertahankan dan membelanya.
3.     Adanya kecenderungan jumhur ulama yang menyarankan agar keputusan yang di putuskan oleh hakim harus berasal dari suatu madzhab, sehingga dalam berpendapat tidak ada dugaan yang negatif.
Mahzab fiqih yang paling penting dapat dikelompokan kepada dua macam yaitu mazhzab ahli sunnah wal jama’ah dan mahzab syiah. Mahzab ahli sunah wal jama’ah ini secara terus menerus dijadikan pegangan dan diamalkan oleh mayoritas kaum muslim sampai sekarang. Mereka itu adalah mahzab empat yaitu mahzab Hanbali, madzhab Syafi’, madzhab Maliki, dan madzhab Hanafi.
Begitu juga, mahzab yang masih bertahan sampai sekarang adalah madzhab syi’ah. Mereka itu adalah madzhab syi’ah zaidiyah, syi’ah imamiyah, dan syi’ah isma’iliyah.
4.     Pendekatan antar Madzhab pada Zaman Modern
Pada zaman para imam madzhab, kaum muslim mempunyai kebebasan dalam mengikuti pendapat mana yang dikehendakinya. Diantara dampak dari kebebasan ini  tumbuh dan berkembangnya para ulama yang kemudian hari dikenal sebagai pendiri madzhab-madzhab. Zaman keemasan ijtihad dibidang fiqih ini berlangsung sekitar tiga abad sampai datangnya masa kemunduran ijtihad di bidang fiqih,  sekitar pertengahan abad ke-4 Hijrah. Setelah masa ini, mayoritas ulama tidak berani melakukan ijtihad secara bebas. Para ulama tersekat-sekat ke dalam beberapa madzhab dan masing-masing hanya memperkuat argumentasi-argumentasi yang digunakan oleh para imam madzhabnya. Dengan demikian, Ilmu fiqih berhenti sedangkan ilmu-ilmu lain yang mendukung Ilmu Fiqih ini berkembang,  seperti ilmu ushul fiqih. Kemunduran Fiqih Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 sampai akhir abad ke-13 H sering disebut sebagai penutupan pintu ijtihad (Periode Taqlid). Disebut demikian, karena sikap dan paham yang mengikuti pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan yang lumrah. Bahkan dipandang tepat.[4]
Kemudian pada abad ke-4 Hijrah atau abad ke-20 Masehi, bermuncullah para ulama yang giat mengadakan pendekatan antar berbagai madzhab dalam pemikiran-pemikiran fiqihnya, seperti Syeh Mahmud  Syaltut (w.1963) dengan gerakan taqrib bain al-mazaqib (pendekatan antar madzhab).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada masa ini terdapat ulama-ulama yang berusaha mengkontekstualkan ketentuan-ketentuan hukum Islam dengan berbagai persoalan hidup dan agar mereka memegang kendali dalam kehidupan ini. Tanda-tanda kebangkitan kembali pemikiran fiqih atau gejala pendekatan antar madzhab pada masa modern dapat dilihat pada sistem mempelajarinya yang berbentuk perbandingan (muqaran) yang objektif, segi-segi penulisannya yang spesifik dalam membahas suatu bidang tertentu.
5.     Peranan Madzhab dalam Pengembangan Hukum Islam
Peran yang besar dalam pengembangan hukum islam madzhab-madzhab fiqih telah melahirkan rumusan-rumusan metodologi kajian hukum yang luas dan komprehensif, sehingga Fiqih Islam tidak hanya mampu membawa persoalan-persoalan kontemporer. Selain itu, berkembangnya madzhab-madzhab fiqih itu membuat hukum islam menjadi fleksibel.[5]

B.   TAQLID
1)  Pengertian Taqlid
Kata taqlid berasal dari kata qaladah (kalung), yaitu sesuatu yang lain dikalungi olehnya. Sedangkan definisi taqlid menurut ulama adalah:
a.   Al-Ghazali mendefinisikan taqlid adalah menerima ucapan tanpa hujjah.
b.  Al-Asnawi mendefinisikan taqlid adalah mengambil perkaraan orang lain tanpa dalil.
c.   Ibn Subki mendefinisikan taqlid adalah mengambil suatu perkaraan tanpa mengetahui dalil.[6]
Dengan demikian essensi taqlid adalah :
1.  Beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2.  Ucapan atau pendapat orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3.  Tidak mengetahui hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.
2)  Hukum Bertaqlid
Taqlid itu ada yang haram dan haram kita memberikan fatwa berdasarkan paham tersebut. Namun, ada yang wajib, dan ada pula yang boleh kita anut[7].
Ø Taqlid yang haram, yang disepakati oleh seluruh ulama ada tiga jenis, yaitu:
a.  Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala yang bertentangan dengan Alquran dan hadis. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 170, yang berarti “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah swt.” Mereka menjawab, “(tidak) kami hanya mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya), padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan mendapat petunjuk.”
b.  Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
c.   Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala tersebut.
Ø Taqlid yang wajib. Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.
Ø Taqlid yang diperbolehkan, yaitu bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum yang berhubungan dengan suatu peristiwa dengan syarat bahwa yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. 
3) Ketentuan Bertaqlid
Ibn al-humman menunjukan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada seorang dari kalangan ahli ilmu yang di ketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat adil (pengertian a’dil disini mengandung maksud khusus yaitu ‘adil dalam pengertian periwayatan hadist, bukan dalam pengertian peradilan), yaitu seorang yang memiliki kriteria (sifat) sebagai berikut:
1.     Tidak pernah melakukan dosa besar.
2.     Tidak sering melakukan dosa kecil.
3.     Selalu menjaga muru’ah atau harga diri.
Pengetahuan terhadap kemampuan seseorang untuk berijtihad dan memiliki sifat adil  tersebut dapat diperoleh melalui kepopuleran orang itu. Juga diperoleh dari berita tentang dirinya, atau diketahui melalui kedudukannya, dan orang-orang sering meminta fatwa kepadanya serta menghormati kedudukanya.
Menurut kalangan ulama syafi’iyah bahwa pendapat yang ashah (paling tepat) adalah memeriksa tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang-orang dan untuk mengetahui keadilannya cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa perlu memeriksa.
Bila dua persyaratan tersebut (berilmu dan ‘adil) tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya. Para ualama sepakat bahwa bila diduga kuat ia tidak memiliki satu diantara keduanya, maka orang awam tidak boleh bertanya atau bertaqlid kepadanya. Pendapat lainnya mengatakan bila yang tidak diketahuinya dari orang itu adalah tentang keilmuannya, maka tidak boleh minta fatwa dan bertaqlid kepadanya.
C.   TALFIQ
1.     Pengertian Talfiq
Kata talfiq berasal dari kata laffaqa yang artinya mempertemukan menjadi satu. Adapun secara istilah talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.[8]
Contohnya seperti dua orang laki-laki dan perempuan melaksanakan akad nikah, tanpa wali dan saksi, cukup dengan melaksanakan pengumuman saja. Dasar pendapat mereka adalah dalam hal wali mereka mengikuti pendapat madzhab Hanafi. Menurut pendapat Hanafi syah nikah tanpa wali. Sedang mengenai persaksian, mereka mengikuti pendapat madzhab Maliki. Menurut madzhab Maliki syah akad nikah tanpa saksi, cukup dengan pengumuman saja. Bila demikian hanya dapat disimpulkan bahwa syah nikah tanpa wali dan saksi asal ada pengumuman saja.

2.     Hukum Talfiq
Para ulama berpendapat mengenai hukum Talfiq. Al-asnawi dalam kitabnya Nihayah Al-Sul menyatakan bahwa ulama berpendapat, Talfiq yang mengarah kepada talfiq dalam satu masalah tidak dibenarkan.[9]
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq, semata-mata untuk melaksanakan pendapat itu dan mengambil apa yang paling benar dalam arti setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil apa yang dianggap lebih kuat dasar hukumnya. Akan tetapi ada talfiq yang tujuanya untuk mencari yang ringan-ringan dalam arti bahwa yang diikuti adalah pendapat yang paling mudah untuk dikerjakan. Sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini dicela para ulama. Jadi talfiq pada dasarnya kembali pada niat.
D.   IFTA’
1.     Pengertian Ifta’
Ifta’ berasal dari kata afta yang artinya memberikan penjelasan. secara sederhana, ifta’ di rumuskan sebagai “Usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”.[10]
Contoh dari ifta’ adalah mengenai hukum hadiah undian, ada tiga bentuk hukum yang menyangkut hukum tersebut salah satunya hukum–hukum yang diperbolehkan syariat hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak kepada peningkatan ilmu.[11] pengetahuan yang bermanfaat dan amal sholeh misalnya, hadiah dalam perlombaan menghafal Al-Quran.
Ciri-ciri dari Ifta’  (berfatwa) adalah:
a.   Usaha memberi penjelasan.
b.  Penjelasan yang di berikan berkaitan dengan hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c.   Yang memberi penjelasan adalah orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskannya.
d.  Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.[12]
2.     Mufti
Mufti adalah mujtahid. Ada yang berkata mufti ditujukan untuk seorang ahli fiqih (faqih), karena yang dimaksud dengan mufti adalah mujtahid dalam  istilah ulama ahli ushul. Secara global, syarat-syarat mufti dapat dikelompokan kepada empat bagian berikut:
·     Syarat umum, yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya. Karena mufti akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan hukum syara dan pelaksanaanya.
·     Syarat keilmuan, yaitu mengetahui secara baik dalil-dalil sam’i dan mengetahui secara baik dalil-dalil aqli. Mufti harus ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad.
·     Syarat kepribadian, yaitu adil dan dapat dipercaya.
·     Syarat pelengkap dalam kedudukanya sebagai ulama panutan yang oleh al-Amidi diuraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersifat tenang atau sakinah, dan berkecukupan. Imam Ahmad menurut yang dijelaskan oleh ibn al-Qoyyim menambah dengan sifat berikut: mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat. Secara umum, al-Isnawi mengemukakan syarat mufti adalah sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang perowi hadist,karena dalam tugasnya mufti memberi penjelasan sama dengan tugas perowi.
Kewajiban-kewajiban para Mufti, yaitu:
a.     Tidak memberikan fatwa dalam keadaan sangat marah, atau sangat ketakutan.
b.     Hendaklah dia memohon pertolongan kepada Allah agar  menunjukan ke jalan yang benar.
c.      Berdaya upaya menetapkan hukum yang diridhai Allah[13].
Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang mufti menurut pendapat Imam Ahmad adalah:
a.     Mempunyai niat dalam memberi fatwa, yakni mencari keridhaan  Allah semata.
b.     Hendaklah dia mempunyai ilmu, ketenangan, kewibawaan, dan dapat menahan kemarahan.
c.      Hendaklah Mufti itu seorang yang benar-benar menguasai ilmunya.
d.     Hendaklah Mufti itu seorang yang mepunyai kerukunan dalam bidang material.
e.      Hendaklah mufti itu mempunyai ilmu kemasyarakatan.[14]
3.     Fatwa
      Fatwa  adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran islam yang di sampaikan oleh lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, yakni Mufti. Hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Apabila dalam suatu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hak berfatwa atas mufti tersebut adalah fardhu ain, namun apabila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hak berfatwa bagi mufti tersebut adalah adalah fardhu Kifayah.


4.     Mengikuti  (Fatwa) Seorang Mufti
     Al-Isnawi dan Ibnu Al-Humman mengklaim bahwa ada kesepakatan ulama tentang tidak bolehnya menarik diri dari seorang mufti untuk mengkuti mufti lain dalam masalah yang sama. Al-Amidi mengutip ijma’ ulama dalam hal ini, Tajahudin Al-Subkhi tidak membolehkan hal ini, tetapi tidak menyebutkan adanya ijma’ ulama, disamping mengecualikan jika fatwa yang diterimanya itu belum diamalkannya.
     Kemudian Tajuddin Al-Subkhi mengemukakan beberapa pendapat  bandingan terhadap pendapat tersebut dalam bentuk pengecualian, yaitu:[15]
a.     Tidak boleh meninggalkan pendapat mufti dengan semata-mata ia telah minta fatwa.
b.    Harus tetap mengikuti pendapat mufti itu jika telah diamalkan.
c.     Harus tetap mengikuti mufti itu jika yakin akan keshahihan pendapatnya itu.
d.    Harus tetap mengikuti pendapat mufti jika tidak menemukan mufti yang lain.
    Bertolak pada pendapat yang membolehkan bermadzhab, bolehkah orang yang bermadzhab itu pindah madzhab. Dalam hal ini terdapat perbedaaan pendapat ulama:
a.     Sebagaian ulama mengatakan tidak boleh. Karena ia telah menyatakan dirinya untuk mengikuti  madzhab asal mulanya tidak harus.
b.     Ulama lain mengatakan boleh-boleh saja karena bermadzhab itu sendiri tidak harus.
c.      Ada juga ulama yang mengambil jalan tengah dengan mengatakan tidak boleh dalam sebagain masalah dan boleh dalam bagian lain. Maksudnya, ketidakbolehan itu tidaklah mutlak.

                                                PENUTUP
Ø Madzhab adalah pokok pikiran yang digunakan Imam Madzhab untuk memecahkan masalah-masalah dan mengistinbatkan hukum Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Ø Taqlid adalah perkataan atau pendapat yang diikuti dan diterima itu tidak diketahui dasar dan alasanya apakah ada atau tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Ada 3 macam Taqlid, yaitu taqlid yang haram, taqlid yang dibolehkan, dan taqlid yang wajib.
Ø Talfiq ialah mengambil ataun mengikuti hukum dari suatu peristiwa dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Mencampur sejumlah pendekatan dari beberapa madzhab yang diperbolehkan, namun seorang praktisi dianjurkan tetap bertahan pada garis pedoman madzhab tertentu.
Ø Ifta’ merupakan usaha memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.





DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro,  Totok   dan Samsul   Munir. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh.  Jakarta:
Amzah.
Qaradhawi,   Yusuf.   2002.  Fatwa-Fatwa   Kontemporer. Jakarta: Gema  Insani
 Press.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Press.
Rosada,  Dede.  1999.  Hukum  Islam  dan  Pranata   Sosial.  Jakarta:  PT.  Raja
Grafindo.
Shiddieqy,  M.  Hasbi  Ash.  1997.  Pengantar  Hukum  Islam.  Semarang:   PT.
 Pustaka Rizki putra.
Syarifudin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.








[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih jld.II (Jakarta: PT.LOGOS Wacana Ilmu, 2001), h. 422
[2]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih (Pekalongan:STAIN Press, 2006), h. 304
[3] Ibid, h.305
[4]  Ibid., h.310
[5] Dede Rosada,  Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.1999), h. 160-161
[6]Amir Syarifuddin, op. Cit, h. 408
[7]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 141
[8] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih ( Jakarta: Amzah, 2005),h. 322.
[9] Ade Dedi Rohyana, Op.Cit.,h.323
[10] Ibid.,h.327
[11] Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer ( Jakarta: Gema Insani press, 2002), h. 499
[12] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op.Cit., h. 101
[13] Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddiqi, Op.Cit., h. 168 
[14] M. Hasbi Ash.Shiddieky, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1994), h. 180.
[15] Ade Dedi Rohyana, Op.Cit., h. 334

Tidak ada komentar:

Posting Komentar