BAB I
PENDAHULUAN
Al Qur’an dan sunnah (keduanya merupakan sumber dan
dalil pokok hukum Islam) adalah berbagai Arab, karena Nabi yang menerima dan
menjelaskan Al Qur’an itu menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu setiap usaha
memahami dan menggali hukum dari teks kedua sumber hukum tersebut sangat
tergantung kepada kemampuan memahami bahasa Arab. Para ahli ushul menetapkan
bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan aqidah.
Maka dalam makalah ini akan dibahas tentang lafadz
dari segi kejelasan artinya dan lafadz dari segi ketidakjelasan artinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Lafazh Yang
Terang Artinya
Para ulama berbedapendapat dalam menilai tingkatan dilalah lafazhdari
segi kejelasannya. Pertama yaitu ulama hanafiyah yang membagi lafazh dari segi
kejelasan terhadap makna dalam empat bagian yaitu dari yang jelasnya bersifat
sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan
sangat-sangat jelas (muhkam) dan yang kedua jumhur ulama dari kalangan
mutakallimin, dipelopori oleh Imam al-Syafi’I yang membagi lafazh dari segi
kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir dan nash.[1]
Pembagian lafazh ini sebenarnya dilihat dari segi mungkin atau tidaknya
ditakwilkan atau dinasakh, sebagaimana berikut ini :
Ø Menurut Ulama Hanafiyah
1.
Zhahir
Menurut Al Bazdawi lafazh zhahir adalah suatu nama
bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar melalui bentuk
lafazh itu sendiri.
Abu Zahra berpendapat bahwa lafazh zhahir menurut
ulama hanafiah adalah al-kalam alladzi yadullu ‘ala ma’nan bayyinin wadhihin wa
lakin lam yasqi al-kalam li ajli hadzal ma’na (pembicaraan yang menunjukkan
makna yang jelas lagi terang, tetapi pembicaraan tidak digiring kepada makna
terang ini). Petunjuk lafazh terhadap makna ini tidak dimaksudkan pada makna
yang pertama, tetapi petunjuk mengarah kepada makna lain. Misalnya, dapat
dikemukakan contoh berikut ini :
واحل الله البيع و حرم الربوا
Artinya : “Dan Allah telah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(QS. Al Baqara (2) : 275)
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai
halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu
sendiri tanpa memerlukan qarinah lain. Masing-masing dari lafazh al-bai’ dan al
riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di takhsish. Kedudukan
lafazh zhahir adalah wajib diamalkan sesuai dengan petunjuk lafazh itu sendiri,
sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya atau menasakhnya.[2]
2.
Nash
Ulama Hanafiyah membedakan antara zhahir dengan nash,
dengan memberikan definisi nash sebagai berikut :
Artinya : Lafazh yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan makna yang
dimaksud secara langsung menurut apa yang diungkapkan dan ada kemungkinan di
ta’wilkan.
Sebagai cotoh adalah ayat 275 surat al-Baqarah (2)
diatas, petunjuk lafazh nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan
hukum antara jual beli dan riba.
Nash itu dalam penunjukannya terhadap hukum adalah
lebih kuat dibandingkan dengan zhahir, karena penunjukan nash lebih terang dar
segi maknanya. Nash itu yang dituju menurut ungkapan “asal” sedangkan zhahir
bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh sebab itu,
apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka
lafazh nash lebih didahulukan pemakainnya dan wajib membawa lafazh zhahir pada
lafazh nash.[3]
3.
Mufassar
Lafazh mufassar adalah lafazh yang
menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas. Sehingga petunjuk
itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis.
Kejelasan petunjuk lafazh mufassar
lebih tinggi daripada petunjuk lafazh zhahir dan lafazh nash. Karena pada
petunjuk lafazhzhahir dan lafah nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau
ditakhsis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali
tidak ada.
Mufassar itu ada dua macam yaitu :
a. Menurut
asalnya, lafazh itu memang sudah jelas dan terinci sehingga tidak perlu
penjelasan lebih lanjut. Contoh :
والذين يرمون
المخصنات ثم لم يا توا با ر بعة شهداء فا جلدوهم
ثما نين جلده
“Orang-orang
yang menuduh perempuan-perempuan baik (berzina) kemudian mereka tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka delapan puluh kali”.
b. Asalnya
lafazh itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan pemahaman artinya.
Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. Contoh :
المستحاضة تتوضا لكل صلاة
Perempuan yang mustahadhah
harus berwudhu pada setiap menunaikan sholat.
Kemudian datang
hadits lain yang berbunyi :
المستحاضة تتوضالوقت كل صلاة
Perempuan yang mustahadhah
harus berwudhu pada setiap kali masuk waktu sholat.
4.
Muhkam
Lafazh muhkan adalah lafazh yang
menunjukkan makna dengan petunjuk tegas dan jelas serta qath'i dan tidak
mempunyai kemungkinan ditakwil, ditakhsis dan dinasakh sekalipun pada masa Nabi
Muhammad, lebih-lebih pada masa setelah beliau.[4]
Muhkam itu ada dua macam, yaitu :
a. Muhkam
Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya, bila tak ada kemungkinan untuk pembatalan atau
nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri.
b. Muhkam
Lighairihi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu di nasakh
bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang
menasakhnya.
Pengaruh kejelasan lafadz terhadap buku
1.
Pertentangan
antara zhahir dan nash
Contonhnya : Friman Allah dalam surat An
nisa’ (4) : 24 yang artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
itu, bahwa kamu mencari istri-istri denganhartamu untuk dikawini bukan untuk
berzina”. Ayat ini bertentangan dengan Al Qur’an surat An Nisa (4) : 3 yang
artinya “Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan) maka kawinilah
perempuan-perempuan yang kamu senangi 2, 3 atau 4. Jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil maka hendaklah cukup satu saja atau kawinilah budak-budak
yang kamu miliki.”
Dengan demikian terjadi pertentangan
antara ayat pertama dan kedua yaitu pertama boleh menikahi wanita lebih dari
empat sedangkan ayat yang kedua tidak boleh lebih dari empat. Dalam hal ini
petunjuk yang dapat diambil adalah yang kedua sebab petunjuk yang kedua
termasuk petunjuk nash dan petunjuk nash lebih kuat dari pada petunjuk dhahir.
2.
Pertentangan
antara muhkam dengan nash
Misalnya, Firman Allah dalam surat An
Nisa (4) : 3 yang artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap anak-anak yatim (perempuan) maka kawinilah perempuan-perempuan yang
kamu senangi 2, 3 atau 4”.
Ayat ini bertentangan dengan surat Al
Ahzab (33) : 53 yang artinya: “dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah
dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya.”
Ayat pertama termasuk petunjuk nash,
secara petunjuk nash ayat ini menunjukkan dibolehkannya mengawini wanita mana
saja termasuk janda Rasulullah dengan syarat tidak melebihi empat. Ayat kedua
petunjuknya muhkam ayat ini mengharamkan mengawini janda Rasulullah. Dengan
demikian kedua ayat ini ta’arud (pertentangan). Maka harus diambil dilalah ayat
yang kedua karena dilalah ayat ini muhkam.
3.
Pertentangan
antara nash dengan mufassar
Misalnya : diriwayatkan oleh Aisyah, ia
berkata Fatimah binti Abu Hubais datang kepada Rasulullah kemudian berkata
“Sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa
bersuci, apakah aku harus meninggalkan sholat. Rasulullah menjawab, “tidak,
karena mustahadah bukan darah haid. Jauhi sholat pada waktu haidmu, kemudian
mandilah dan berwudhulah untuk setiap sholat dan sholatlah sekalipun dalam
keadaan mustahadah.
Pertentangan riwayat pertama dan kedua
ini darisegi lafadz dapat dikatakan antara nash dan mufassar. Hadits riwayat
pertama berbentuk nash, sedangkan yang kedua berbentuk mufassar. Oleh sebab itu
dalam hal ini harus mendahulukan hadits kedua karena termasuk mufassar.
4.
Pertentangan
antara mufassar dengan muhkam
Misalnya : Firman Allah dalam Al Qur’an
surat At Thalaq (65) : 2 bertentangan dengan Al Qur’an surat An Nur (24) : 4.
Ayat pertama termasuk lafazh mufassar. Ayat ini menunjukkan diterimanya
kesaksian yang adil daripada siapa saja. Ayat yang kedua termasuk muhkam. ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian
orang yang menuduh zina (qadzaf), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini,
menurut sebagian ulama digunakan petunjuk ayat kedua.
Ø Menurut Ulama Mutakallimin (Syafi'iyah)
Menurut ulama
mutakallimin, kejelasan lafazh terbagi atas dua macam, yaitu zhahir dan nash. Namun, Imam
Al-Syafi'I tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Baginya, lafazh zhahhir
dan lafazh nash ini adalah dua nama (lafazh) untuk satu arti. Seperti
dikemukakan oleh Abu Al-Hasan Al-Basri, nash menurut batasan Imam al-Syafi'I
adalah suatu khitab (firman) yang dapat diketahui hukum yang dimaksud baik
diketahuinya itu dengn sendirinya atau melalui yang lain. Tetpai dalam
perkembangan selanjutnya, setelah Imam al-Syafi'I lafazh nash dan lafazh zhahir
ini dibedakan pengertiannya yaitu "nash adalah suatu lafazh yang tidak
mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk
ditakwil".
B.
Lafazh Yang
Tidak Terang Artinya
Dalam hal ini ulama hanafiyah membagi
ketidakjelasan lafazh menjadi empat macam tingkatan yaitu khafi, musykil,
mujmal dan mutasyabih. Sedangkan ulama syafi'iyah (mutakallimin) membaginya
menjadi dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.
Ø Menurut Ulama Hanafiyah
1.
Khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas
atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah suatu lafazh yang petunjuknya tidak
jelas atas sebagian satuannya, karena adanya unsur dari luar lafazh yang
membutuhkan pemahaman dan perhatian sungguh-sungguh terhadap sebagian satuan
tersebut.[5]
Contoh lafazh khafi ini adalah lafazh
السارق
(pencuri)
dalam firman Allah, surat al-maidah (5) : 4
السارق والسارقة فاقطعواايديهما
“Pencuri laki-laki dan pencuri
perempuan, potonglah tangan keduanya.”
Lafazh السارقitu cukup jelas yaitu orang yang
mengambil harta yang bernilai milik orang lain dalam tempat penyimpanannya
secara sembunyi-sembunyi". Namun lafazh "pencuri" itu mempunyai
satuan arti (afrad) yang banyak seperti pencopet, perampok, pencuri barang
kuburan dan lain sebagainya.
2.
Musykil
Musykil adalah suatu lafazh nash yang
bentuknya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendak, caranya ialah
harus dilakukan pembahasan dengan memperhatikan qarinah dan petunjuk dari luar
yang terkait dengannya.
Sebagai contoh adalah lafazh quru'
yang terdapat dalam firman Allah Surat Al Baqarah (2) : 228.
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قرء
Perempuan-perempuan
yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah selama tiga quru’
lafazh quru' disini termasuk lafazh
musytarak, yaitu mempunyai pengertian ganda antara suci dan haidh. Akibatnya,
petunjunya menjadi tidak jelas, mana yang harus dikehendaki dari dua arti
tersebut. Oleh karena itu, dalam pengamalan lafazh musykil harus dikaji secara
menyeluruh dengan menentukan dan memilih salah satu makna untuk dijadikan
pegangan.
3.
Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global
atau tidak dirinci. Menurut istilah adalah lafazh yang tidak dapat dipahami
maksudnya. Kecuali ada penafsiran dari pembuat mujmal, yaitu syar'I
(al-Sarakhsi, 1372 H, 1 : 168)
Contohnya : lafazh sholat, secara
bahasa berarti doa, tetapi secara istilah syara' adalah ibdaha khusus yang
segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah. Contoh lain :
يدالله فوق ايدهم
“Tangan Allah diatas tangan
mereka”.
4.
Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa adalah
sesuatu yang mempunyai kemiripan dan simpang siur. Menurut istilah, berdasarkan
pendapat sebagian ulama adalah suatu lafazh yang maknanya tidak jelas dan juga
tidak ada penjelasan dari syarat baik al-Qur'an maupun sunnah, sehingga tidak
dapat diketahui oleh semua orang, kecuali orang-orang yang mendalam ilmu
pengetahuannya. (al-Syarakhsi, 1372 H, 1 : 169)
Mutasyabih itu ada dua bentuk :
1. Dalam
bentuk potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat
dalam al-Qur'an seperti يس, كهيعص, الر,الم dan sebagainya.
Potongan-potongan dalam bentuk huruf
ini tidak mengandung arti apa-apa ditinjau dari segi lafaznya.[6]
2. Ayat-ayat
yang menurut zhahirnya mempersamakan Allah maha pencipta dengan makhluk-Nya,
sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut lughawinya karena Allah SWT
Maha suci dari pengertian yang demikian.
Contoh :
ويبغى وجه ربك ذو الجلال والا كرام
“Dan akan tetap kekal muka Tuhanmu Yang
Maha Besar dan Maha Mulia”.
Ø Menurut Ulama Mutakallimin
Ulama mutakallimin (syafi'iyah) tidak
memiliki pernyataan yang tegas dalam membagi lafazh ditinjau dari segi
ketidakjelasannya. Namun dapat disimpulkan bahwa mereka membagi lafazh itu
kedalam dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih. Namun, secara umum dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang
menunjukkan makna yang dimaksud tetapi petunjuknya tidak jelas.
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan makalah ini, dapatdismpulkan bahwa:
A. Lafazh
yang terang artinya
Jumhur ulama dari kalangan mutakallimin, yang dipelopori oleh Imam
al-Syafi’I membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua macam yaitu zhahir
dan nash
B. Lafazh
yang tidak terang artinya
Dalam hal ini ulama hanafiyah membagi
ketidakjelasan lafazh menjadi empat macam tingkatan yaitu khafi, musykil,
mujmal dan mutasyabih. Sedangkan ulama syafi'iyah (mutakallimin) membaginya
menjadi dua bagian yaitu mujmal dan mutasyabih.
.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Rohayana, Ade. 2005. Ilmu
Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku
Muhammad. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra
Syarifuddin,
Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
[1] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul
Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005), hlm. 219
[2] Ibid, hlm.220
[3] H. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997). Hlm. 6
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pnegantar Hukum Islam, (Semarang
: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 308
Tidak ada komentar:
Posting Komentar