اَلمِسْيَارَ
Nikah Misyar
Oleh : Muhammad Fachmi Hidayat
PENGANTAR
Sudah tidak
dipungkiri lagi bahwa jaman sekarang melangsungkan pernikahan teramat sulit dan
dipersulit. Hal ini disebabkan oleh perbedaan zaman yang semakin jauh dari
islam dan beberapa undang-undang yang menjadi kerikil tajam bagi seseorang yang
hendak menikah.
Di indonesia saja
misalnya, bahwa sekitar tahun 1970-an pernah direncanakanya suatu undang-undang
yang mengatur bahwa pernikahan harus dilakukan oleh lelaki yang berumur 25
tahun keatas dan wanita 19 tahun ketas. Padahal tidak ada satu dasar dari agama
Muhammad saw yang mengatur peraturan yang sedemikian. Dan juga dari segi adat
(urf), banyak orang tua (wali) dimasa sekarang yang mematok baik-buruk
pernikahan dari hal nafkah (finansial) dan bisa tidaknya memfasilitasi istri
(sandang, pangan dan tempat tinggal). Bilamana ada dua anak manusia yang saling
memadu kasih, namun mungkin saja sang lelaki belum ba’ah dalam hal nafkah
melainkan sudah ba’ah dalam hal seksual. Maka seolah-olah tidak ada jalan untuk
mereka berdua menghalalkan cinta mereka dalam bingkai nikah yang bersyari’ah.
Akhirnya oleh sebab
masalah-masalah “konyol” diatas, maka dewasa ini banyak para lelaki enggan
menikahi atau berani melamar sang pujaan hatinya-sebab masih belum memiliki
kemampuan finansial yang baik-. Banyak para lelaki sholeh yang hendak menjaga
kesucianya, begitu pula para wanita shaliha terasa sulit untuk menikah sebab
masih berstatus pelajar atau mengambil stufi di perguruan tinggi. Banyak para
pasangan muda-mudi yang memilih berpacaran ketimbang menikah, yang akhirnya
merebaklah perzinahan yang menghinakan. Dan anehnya orang tua hanya “tersenyum”
atas semua itu. Maklum, bisa jadi mereka ini tidak mendapat rizqi dari Allah
berupa ilmu islam berupa syariat-Nya yang membawa rahmat dan maslahat.
SEKILAS KISAH-KISAH PERNIKAHAN
Dahulu seorang ulama
besar dari Andalusia, Ibnu Hazm melepas
masa lajangnya sekita umur 17 tahun. Ia dinikahkan oleh orang tuanya ketika
umurnya masih belia dan belum mampu mencari recehan dinar dan dirham.[1]
Semua kebutuhan rumah tangga keluarga Ibnu Hazm ditanggung oleh ayahnya hingga
Ibnu Hazm mampu mencari nafkah sendiri untuk menunaikan hak istrinya. Dan
selama kewajiban memenuhi nafkah Ibnu Hazm berada ditanggungan sang ayah, ia
hanya berkewajiban memenuhi hak istrinya yang lain (mabid dirumah istri dan
memenuhi hak jima’).
Cerita serupa namun
tak sama datang dari salah seorang ikhwan yang beruntung, sebab ia mendapatkan
istri dan mertua yang paham agama. Ikhwan[2]
ini adalah seorang anak yang merantau dari NTB (Nusa Tenggara Barat) ke Jawa
(Solo) untuk mencari ilmu agama. Ikhwan ini adalah anak lelaki yang cerdas,
fasih dalam berbahasa dan baik pemahaman fikihnya. Akhirnya tak hayal dengan
skill yang ia miliki mampu menarik hati seorang akhwat[3].
Oleh sebab akhwat ini sudah menyukai sang ikhwan tersebut, ia melapor kepada
ayahnya untuk bisa dinikahkan dengannya. Dan oleh sebab sang ayah tidak mampu
menghalangi kemahuan putrinya, maka mahu tidak mahu ia memanggil sang ikhwan.
Ketika si ikhwan ini
dipanggil ia ditawari untuk dinikahkan dengan putrinya, dan iapun mengangguk
sebagai tanda bersedianya ia menerima sang akhwat. Namun, disela pembicaraan ia
menunjukan ketidak siapan. Sang ikhwan ini menerima sang akhwat namun belum
siap menikah dengannya. Dan ketika ditanyakan alasanya, ia beralasan bahwa
ia belum siap secara finansial.
Namun alasan
tersebut tidak diterima oleh sang akhwat dan ayahnya, mereka beralasan ketidak
siapan finansial bukan penghalang akan keberlangsungan pernikahan mereka
berdua. Akhirya setelah dicarikan jalan keluar, sang akhwat bersedia
mengugurkan haknya selaku istri agar bisa memperingan sang ikhwan yang kelak
akan menjadi suaminya. Hak yang digugurkan adalah hak sandang, pangan dan
hunian[4].
Akhirnya selama pernikahan
mereka, sang ikhwan terbebas dari kewajiban menafkahi (baik biaya hidup harian,
uang semseter dan biaya kuliyah). Hanya saja ketika ia memiliki uang lebih
terkadang digunakan untuk mentraktir istrinya. Sedangakan sang ikhwan punya hak
berkunjung untuk mabid dirumah istrinya (mertua) sebab mereka berdua sudah sah
menjadi pasangan suami istri. Sang suami makan di pondoknya dan istrinya juga
makan dirumah orang tuanya sendiri, namun juga terkadang sang suami makan
dirumah istrinya bersama sang mertua. Hal ini berlangsung sampai sang ikhwan
memiliki pekerjaan untuk menunaikan kewajiban memberikan nafkah. Hingga sang
ikhwan sarjana dan mendapatkan gelar LC, ia belum jua mendapatkan pekerjaan,
hingga ia akhirnya dimodali mertuanya untuk berwiraswata membuat roti kemasan.
Dan sekarang ikhwan
tersebut sudah mapan dan menjadi “bos” roti, roti produksinya sudah bisa
dikirim hingga Lampung, Medan dan Makasar, termasuk juga Jawa Tengah dan
Bekasi. Inilah rahmat Allah oleh sebab niatan ikhlas mereka dalam bertaqwa pada
Allah swt. Ketika penulis mendengar kisah tersebut, penulis sempat berdecak
kagum. Kok ada pasangan yang demikian dijaman sekarang. Sehingga penulis ingat
kisah Rasulullah ketika menikahkan Fatimah dengan Ali yang belum mapan.
Ketika itu Rasulullah
mendatangi Ali bin Abi Thalib, dan ia ditawari untuk menikah dengan putrinya
Fatimah. Namun Ali keberatan sebab tidak memiliki harta untuk mahar pernikahan.
Hingga Rasulullah berkata : “Bukankah kau memiliki baju besi (perang),
gunakanlah itu untuk mahar”. akhirnya Ali menjual baju besinya untuk mahar.
Namun setelah menikah , ternyata Ali belum juga memiliki kemampuan yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya (Fatimah). Hingga segala perkakas rumah
tangga Rasulullah saw yang membelikan, dan bahkan ketika Fatimah kerepotan dan
membutuhkan pembantu, Fatimah memintanya pada Rasulullah saw. Buakn dengan Ali,
sebab ia paham bahwa Ali masih belum mampu memenuhinya. Allahu’alam.
NIKAH MISYAR DALAM BAHASA
Secara bahasa
berasal dari kata اَلسَّيْرُ yang
artinya pergi (perjalanan). Bila dikatakan سَارَ –
يَسِيْرُ – سَيْرًا – مَسِيْرًا – تَسْيَارًا – مَسِيْرَةً (artinya
pergi), maka kata اَلتّسْيَارُ berasal
dari wazan (format kata) تَفْعَالٌ dari kata dasar اَلسَّيْرُ . kata ini mengandung pengertian katsrah (terjadi
dengan intensitas tinggi).[5]
Nama اَلمِسْيَارَ ( Al-Misyar
) adalah nama bagi pernikahan, di mana suami pergi ke tempat istrinya.
Pernikahan ini dikatakan Misyar dikarenakan suamilah yang bertolak
menuju kediaman istri diwaktu-waktu yang sempit.[6]
Maksudnya yaitu istri tetap berada di kediamanya sedang suami yang bertandang
ke rumahnya, hal ini disebabkan sang suami belum mampu memenuhi nafkah (hunian)
pada sang istri sehingga suamilah yang mengunjunginya, bukan istri yang ikut dan
berdiam di kediamannya (suami).
Usamah al-Asyqar
menyatakan, “Sesungguhnya kata مِسْيَار sesungguhnya merupakan bentuk mubalaghah,
diperuntukan bagi seorang lelaki yang banyak menempuh perjalanan. Sebagai
contoh sebuah perkataan رَجُلٌ مِسْيَارٌ وَ سَيَّارٌ (Lelaki yang banyak menempuh perjalanan), yang kemudian
menjadi nama untuk pernikahan jenis ini. sebab orang yang menikah dalam
pernikahan ini, fleksibel dalam dalam memenuhi hak-hak rumah tangga yang telah
diwajibkan oleh syariat (nafkah).[7]
Sebagian pihak
memandang kata misyar adalah bahasa ‘amiyah (bahasa khusus, atau
bahasa yang tidak umum diketahui oleh orang / masyarakat), yang berasal dari
para Badui di beberapa negeri Arab.[8]
Berkaitan dengan ini DR. Yusuf Qardawi mengatakan “ Saya tidak mengetahui makna
misyar. Menurutku, ini bukan suatu kata baku. Akan tetapi, bentuk ‘amiyah
yang berkembang disebagian khusus negara Teluk. Yang artinya ‘menyempatkan
tinggal dalam waktu yang lama’.
Jadi bisa disimpulkan
bahwa dalam bahasa, misyar adalah bahasa khusus dan bukan bahasa umum
(‘am). Yaitu kata misyar ini hanya berlaku atau ada disebagian negara
Teluk dan tidak diseluruh Arab. Kata misyar ini hanya populer di daerah
Najed Arab Saudi, jadi di daerah Syria, Libanon dan Turki kata misyar
ini termasuk bahasa asing. Dan secara bahasa dasar misyar artinya
perjalanan atau jalan. Yang oleh sebab itu seorang lelaki yang berjalan dan
istrinya menetap.
NIKAH MISYAR DALAM MAKNA
DR. Yusuf al
Qardhawi mengatakan “Sesungguhnya nikah misyar bukanlah model pernikahan
baru. Namun,sudah dikenal oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Subsatnsi (makna
inti) pernikahan ini adalah istri membebaskan (selaku rukhsah) suami dari
memenuhi kewajiban mencarikan tempat tinggal, membayar nafkah, dan istri ini
hanya menginginkan menjaga kehormatan dirinya, dicintai dan dilindungi-oleh
lelaki yang dicintainya-. Ia tidak menuntut macam-macam dari suaminya, sebab
sang istri sudah merasa memiliki kecukupan berupa kekayaan dan kemandirian yang
penuh”.[9]
Al Mukaram Syaikh
Abdullah bin Sulaiman bin Mani’ (Ulama Besar Saudi Arabia) mengatakan, “Nikah misyar
adalah pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat nikah, yang mengharuskan
berlakunya konsekuensi hukum-hukum yang menjadi implikasi dari pernikahan
syar’i pada umumnya. Sebagaimana kewajiban menjalin rumah tangga, pemberian
nafkah, pertautan tali nasab anak, hukum-hukum talak, Khulu’, nusyuznya
istri, masa idah (bila bercerai), baik idah talak atau kematian suami,
hak waris mewarisi dan hukum-hukum lainya yang ada dan diatur dalam syara’.
Sisi perbedaan nikah misyar dan penikahan syar’i pada umunya adalah
bahwasanya sang istri merelakan lepasnya hak pribadinya dalam pembagian nafkah.[10].[11]
Abdul Malik bin
Yusuf al-Muthlaq menjabarkannya dengan, “Nikah misyar yaitu pernikahan
Syar’i yang telah melengkapi rukun-rukun dan syarat-syarat yang sudah familiar
di kalangan para fuqaha dan jumhur ulama. Hanya saja, disini memuat aspek
kerelaan istri untuk mengugurkan sebagian haknya yang telah ditetapkan syari’at
kepada suami. Misal, tuntutan nafkah, hunian, mabid. Hal ini berlangsung
atas keridhaan istri secara pribadi (buka hasil intervensi wali, atau lainya)
atau karena hal-hal lainya. Dan biasanya hal ini tidak perlu dimaktubkan dalam
akad nikah.[12].[13]
Jadi nikah misyar
ini adalah sebagaimana pernikahan syar’i pada umumnya, yaitu wajib terpenuhinya
rukun dan syarat nikah. Hanya saja didalamnya ada penguguran kewajiban suami
atas tertunaikanya hak istri yang dilakukan oleh istri. Sebab hak itu sifatnya
adalah boleh diterima dan boleh tidak, dan dalam hal ini sang istri rela tidak
mengambil haknya dan memberikan kelapangan pada suami untuk tidak menunaikan
kewajibannya yaitu memenuhi hak istri tersebut. hal ini sudah sesuai dengan
syara’ yang berlaku dan diakui oleh para ulama akan keabsahannya.Allahu’alam.
NIKAH MISYAR DALAM HUKUM
Hukum nikah secara
umum adalah sunnah, namun bila model misyarnya dihukumi mubah. Mengenai
nikah model misyar ini para ulama tidak ada yang menghukumi mustahab
(dianjurkan) atau dilarang (makruh). Dan mayoritas pengkaji hukum islam sudah
menegaskan bahwa nikah model misyar ini, selama syarat dan rukun nikah
sebagaimana nikah syar’i pada umumnya terpenuhi maka dihukumi sah. Dan tetap
adanya tuntutan konsekuensi sebagaimana nikah syar’i pada umunya seperti
kewajiban menjalin rumah tangga, pemberian nafkah, pertautan tali nasab anak,
hukum-hukum talak, Khulu’, nusyuznya istri, masa idah
(bila bercerai), baik idah talak atau kematian suami, hak waris mewarisi dan
hukum-hukum lainya yang ada dan diatur dalam syara’. Diantara ulama yang
berpenapat sedemikian itu adalah :
1.
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz
2.
Syaikh
Abdul Aziz Alu Syaikh (Mufti Besar Karajaan Saudi Sekarang)
3.
Syaikh
Abdullah bin Mani’
4.
Syaikh
Sayyid Thantawi (Syaikh Besar Al Azhar Mesir)
5.
Syaikh,
Prof,DR. Yusuf Qardhawi
6.
Syaikh,
Prof,DR. Wahbah az-Zuhaili (Ulama Syiria)
7.
Syaikh,
DR. Ahmad Al-Hajj al-Kurdi
8.
Syaikh
Al Qari’ Su’ud as-Syuraim (Imam dan Khatib Masjid Al Haram dan ulama terpercaya
lainya.[14].[15]
Keputusan hukum ini
berdasarkan kaidah fikih “Yang menjadi pedoman transaksi-transaksi adalah
tujuan dan kandungannya, bukan teks ataupun bentuknya”.
Esensi nikah adalah ibadah,
menjaga diri dari zina dan meneruskan keturunan. Jadi jangan sampai
teks-teks yang ada seperti menunaikah nafakah, penyediaan hunian dan sejenisnya
menjadi penghalang atas esensi nikah tersebut yang lebih utama. Namun hal ini
tidak berarto mengindahkan teks yang sudah ada, ketetapan teks tetap
diperjatikan. Namun dalam hal yang khusus bisa dikompromikan dengan keadaan
yang ada. Masalah ini bisa dibagikan antara genting dan penting. Nafkah,
hunian, sandang, pangan adalah penting dalam pernikahan namun yang genting
adalah esensi nikah yaitu agar tertunaikanya ibadah, kelestarian
keturunan/umat islam, dan tidak terciptanya perzinahan. Maka
tidaklah “lucu” bila maslah penting menumbangkan yang genting, yang ada dan
logis adalah masalah genting harus didahulukan daripada yang penting.
Seperti shalat
berjamaah itu penting, namun menolong orang sekarat adalah genting. Maka
menunaikan shalat jama’ah namun membunuh orang (sebab tidak menolongnya padahal
ia sekarat) adalah perkara kemunkaran yang nyata, padahal esensi shalat adalah
mencegah perkara munkar. Namun sebab menuruti shalat berjamaah malahan
menyebabkan perkara munkar, ini artinya esensi shalat tidak tercapai. Maka dari
itu menunaikan yang genting (menolong oarang sekarat) lebih diutamakan daripada
shalat berjamaah.
Begitupula
pernikahan yang esensinya adalah ada 3 sebagaimana dijelaskan Ibnu Qayim.
Yaitu; Ibdah, meneruskan keturunan dan mencegah zina/menunaikan fitrah
biologis. Jangan sampai esensi tersebut terhalang oleh perkara seperti,
keberatan memenuhi nafkah, menyediakan hunian dan membelikan sandang dan
pangan. Maka sebab itulah model misyar sebagaimana tersebut diatas
dibenarkan.
NIKAH MISYAR DALAM HIKMAH
DR. Yusuf Qardawi
menjelaskan bahwa hikmah nikah misyar ini adalah mempermudah tercapainya
tujuan pernikahan, sebagaimana menghindari perzinahan, tertunaikanya nilai
ibadah dan terlestarikanya keturunan. Terlebih dijaman sekarang ini banyak
kerikil-kerikil dalam menghambat tertunaikannya pernikahan oleh sebab-sebab
sebagaimana studi (sedang kuliyah), ketidak mampuan nafkah,
banyaknya perawan tua, kemiskinan dan lainya.[16]
SYARAT BERLAKUNYA MISYAR
Adanya misyar
ini adalah dari pihak wanita / istri. Dimana ia haruslah wanita baligh, berakal
dan berpikiran lurus. Terbebas dari paksaan dan atas kehendak dan kesadarannya
sendiri. Sebab dalam nikah model ini, ialah yang akan akan menjalaninya.[17]
SEBAB NIKAH MISYAR DIHARAMKAN
Nikah misyar
bisa dikenai keharaman bila nikah model ini dijadikan tujuan untuk niatan jahat
dan perkara haram lainya. Seperti digunakan untuk memperdaya istri sehingga
istri terdzalimi sehingga seolah hanya sebagai alat pemuas nafsu, dikarenakan
terlepaskannya hak dia dan kewajiban suami sebagaimana diatur dalam syara’. Hal
ini ditegaskan oleh para ulama seperti Syaikh Nasrudin al Bani, DR. Ibrahim
Fadhil dan Dr. Muhammad az Zuhaili.[18]
Maka dari itu dalam
hal ini sang istri harus berhati-hati dalam mencari suami, carilah benar-benar
suami yang terpercaya tanggung jawab dan kasih sayangnya. Dalam hal ini
biasanya ada dalam lelaki yang shaleh dan khusuk shalatnya. Sebab shalat ksusuk
adalah wujud atau buah dari baiknya kelakuan. Inilah yang diterangkan oleh
Syaikh Jamil Zainu.
NIKAH MISYAR DALAM TIMBANGAN
Memang benar bahwa
secara keumuman nikah misyar ini kurang ideal, namun keidealan tersebut
sebenarnya tergantung dari situasi. Sebagaimana bila ada seorang lelaki yang
sedang studi, dan ia harus menikah. Sedang ia adalah lelaki yang tidak kuat
finansialnya. Apakah ia harus menikah dengan menunggu ia harus selesai studinya
sedang ia adalah manusia biasa yang rawan fitnah dan memiliki dorongan fitrah
yang juga kuat layaknya manusia pada umumnya. Maka dalam hal ini sang istri
bisa memberikan kelonggran pada sang suami untuk tidak memberatkanya
sebagaimana disebutkan diatas. Sebab sangat berat bila ia harus memikul beban
biyaya nafkah, studi dan orang tuanya (bila ia anak pertama yang menjadi
tumpuan keluarga). Sedang ia memiliki dorongan fitrah yang kuat, keinginan
ikhlas untuk beribadah, mejaga kehormatan dan saling cinta serta menyayangi
dengan orang yang dicintainya. Maka dalam hal ini sang istri sah-sah saja tidak
menuntut haknya dalam hal nafkah,
hunian, sandang dan pangan selama suaminya studi. Dan bisa juga
nanti-insyaAllah- ketika suami selesai masa studinya. Ia bisa mencabut pembebasan
haknya dan kembali menuntut haknya, sebab suami sudah leluasa konsentrasi
mencari nafkah sebab ia sudah tidak lagi studi.
KISAH NIKAH MISYAR DI AL AZHAR
Kebanyakan para
pemuda yang sudah bermulazamah, diaman status mereka adalah selaku mahasiswa
yang hidup dari beasiswa dan belum mampu mencari nafkah. Melakukan pernikahan
dengan model nikah misyar. Pasalnya sangat berat jika mahasiswa
sedemikian menunaikan pernikaha sebagimana nikah pada umunya.
Sebab mahasiswa yang
berbeasiswa ini biasanya dari golongan keluarga yang berekonomi menengah. Maka
dari itu bisa dibayangkan perihal kegiatan mereka, rata-rata S1 yang mereka
tempuh adalah usia 20-24 tahun dan bila dilanjutkan ke S2 bisa sampai berkisar
26-27 tahun. Apakah mereka akan menunggu menikah ketika mereka lepas dari
keterikatan studinya yaitu di umur 27 tahun. Sungguh jika benar demikian maka
ini adalah siksaan bagi mereka, yaitu mereka harus menahan gejolak syahwat
mereka hingga umur 27 tahu, apakah ada yang menjamin kehormatan mereka terjaga ?.
serta bisa jadi mereka sudah ingin ikhlas menikah (ibadah) dan juga memadu
kasih dengan kekasihnya.
Maka dari itu banyak
diantara mahasiwa al-Azhar dari berbagai penjuru melakukan nikah misyar
baik dengan mahasiswi yang satu negara atau negara lain. Bahkan ada yang
menikah dengan perempuan asli Mesir. Maka tidak heran bila ada sebagian
mahasiswa al-Azhar selain pulang membawa gelar juga membawa istri. Biasanya
sang istri oleh sebab mengetahui suaminya sudah terikat studi hingga S2 mereka
merelakan haknya untuk tidak menuntut nafkah. Sehingga sang istri biasanya bila
sesama mahasiwa al azhar, ia akan makan dengan uang besiswanya sendiri dan
tidak meminta beasiswa suami. Atau jika ia wanita non-mahasiwa, ia tidak
menuntut nafkah pada suaminya dan ia biasanya mendapatkan nafkah dari pekerjaan
mereka sendiri atau dari orang tua. Namun dalam keseharian perjalanan
pernikahan mereka, mereka tetap menjalankan konsekuensi pernikahan syara’ pada
umunya (sebagaimana dijelaskan diatas).[19]
KESIMPULAN
Nikah Misyar dibenarkan
dan sah selama memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam syara’.
Adanya walimah (pengumuman) pada khalayak dan tidak disembunyikan. Nikah misyar
ini adalah wujud saling meringankan beban dan ta’awun, serta salah satu solusi
dari problematika hidup yanga ada. Niakh misyar adalah model nikah yang
sifatnya khas (khusus), dan tidak bisa diumumkan. Pernikahan ini adalah
nikah yang dilakuakn oleh para pelaku yang khusus, seperti pelajar yang
dituntut dan sudah terikat dengan studi mereka sehingga mereka tidak memiliki
peluang untuk leluasa mencari nafkah. Sedang keadaan menuntut mereka untuk
menikah, entah dorongan syahwat/ingin menjaga kehormatan, sudah ingin
menunaikan ibadah nikah atau alasan penting lainya. Jika ada pemuda yang
pas-pasan (miskin) dan tidak ada situasi yang sifatnya memungkinkan untuk
terpenuhianya keabsahan nikah misyar, maka hal ini tidak bisa dibenarkan. Ia
harus tetap menunaikan hak istri sebagimana nafkah, sandang, pangan dan hunian
semampu mereka.Allahu’alm bis shawab
Pekalongan, 07 April 2013
Muhammad Fachmi Hidayat
Fi baiti jannati
[11]
Pelepasan pemberian nafkah ini menurut Syaikh Abdurrahman al Adli, adalah
bahwasannya ini selaku keringan dari sang istri pada suami oleh sebab melihat
kondisi suami yang sifatnya khusus. Seperti misal sang suami masih menjalani
studi, sedang studi itu membutuhkan banyak biyaya. Maka dalam hal ini selama
sang suami masih dalam masa studi, sang istri merelakan hak terpenuhinya nafkah
dari suami selaku kewajibanya untuk tidak ditunaikan. Namun tidak berarti
ketika ada uang lebih suami tidak boleh memberikan nafkah pada istrinya. Dan
jika sang suami sudah dirasa longgar keuanganya, semisal sang suami sudah selesai
studi sehingga ia bisa konsen mencari nafkah. Sang istri bisa kembali mencabut
keringanan tersebut dan menuntut kembali hak nafkahnya. Hal ini adaah wujud
ta’awun dan tolong menolong dalam ketaqwaan. Sebab sesama muslim harus saling
meringankan beban dan membantu dalam ketakwaan. Allahu’alam.
[13]
Seperti contohnya adalah “saya terima nikahnya fulanah dengan mahar ini dan itu
dan juga disyaratkan bahwa kewajiban menafkahi saya atas dia gugur”. Jadi tidak
usah termaktub dalam akad seperti ini. akad tetap berjalan seperti akad pada
umunya. Hanya saja penyampaian maksud istri untuk mengugurkan haknya adalah
pada sesi lain (atau diluar akad nikah).
[19]
Menurut survei yang ada, mahasiwi yang melakukan nikah misyar ini merasa
diuntungkan sebab ia lebih dicintai, diperhatikan dan dihargai suami mereka.
Hal ini disebabkan sang suami merasa berhutang budi atas kemurahan sikap sang
istri. Namun hal ini tidak berarti mengurangi hormat istri pada suaminya.
Mereka tatap memperhatikan konsekuensi pernikahan syara’ pada umumnya, seperti
kewajiban menta’ati suami, melayani suami semampu mereka (menyediakan sarapan,
menyetrikakan baju dan melayani jima’). Bisa dikatakan bahwa salah satu prinsip
nikah misyar yang cukup esensial adalah perihal ta’awun bil birri
wa ta’qwa (tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan)
REFERENSI PEMBANDING :
nice info gan, baru tau kalau ada istilah nikah misyar
BalasHapus