(RINGKASAN)
Takfir Syiah atas Penolak Praktik Nikah Mut’ah
(Telaah Pemikiran Mahasiswi Syiah Universitas Hasanudin Makasar
atas keyakinan kafir bila menolak nikah mut’ah)
Oleh : Muhammad Fachmi Hidayat al Mubarok
Alasan saya menulis
kajian ini adalah untuk sedikit menyibak tirai penghalang kejelasan akan
masalah nikah mut’ah yang ada di kalangan awam sampai cendekiawan. Tidak
sedikit diantara mereka menganggap masalah nikah mut’ah adalah hanya masalah
furuiyah (cabang agama) yang tergolong masalah fikih yang bisa ditoleransi,
anehnya masalah ini tidak diperhatikan dengan baik oleh cendekiawan muslim
dewasa ini.
Saya sangat heran
dengan cendekiawan yang mengaku Ahlu Sunnah wal Jama'ah namun begitu
menggampangkan masalah nikah mut’ah dengan mengatakan bahwa ini masalah furu’i
yang bisa ditoleransi, benarkah demikian adanya ?. Benarkah bahwa nikah mut’ah
adalah masalah fikiyah, atau ini sudah masuk ranah aqidah ?.
Apa itu Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah berasal
dari dua kata, Nikah dan Mut’ah. Nikah menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) adalah suatu ikatan atau hubungan dua anak manusia antara lelaki dan
perempuan yang diikat melalui tata cara agama atau adat. Sedangkan mut’ah
berasal dari kata sifat (ma-ta-‘a) yang berarti mengambil manfaat dari
sesuatu, seperti kalimt mata’a bihi (mengambil sesuatu darinya)
maksudnya adalah mengambil manfaat dari seseorang. Kemudian bentuk kata
bendanya adalah al mut’atu dan al mataa’u yang artinya adalah
suatu barang yang bisa diambil suatu manfaat (al mafa’atu).
Jadi bisa
disimpulkan nikah mut’ah adalah nikah yang dimaksudkan untuk mengambil suatu
manfaat tertentu dari sebuah pernikahan itu. Seperti seorang lelaki yang
syahwat dan kemudian ingin mengambil kemanfaat tubuh dari wanita demi
penyaluran syahwatnya melalui mut’ah (kontrak), dan kemudian sang wanita
yang ingin mengambil kemanfaatan dari tubuhnya sendiri dengan cara
mempersilahkan tubuhnya untuk diambil manfaatnya oleh orang lain agar ia dapat
imbalan (manfaat balasan). Yang kesemuanya melalui media pernikahan mut’ah
(kontrak). Inilah mankan nikah mut’ah ditinjau dari sudut etimologi
(bahasa). (al Zawaj al Urfi, Yusuf Ad-Duraiwisy : 145 )
Sedangkan secara terminologi
(makna), adalah suatu pernikahan yang dibatasi oleh tempo (waktu) tertentu,
setelah habis masa tempo habis pula masa pernikahan itu dan harus berpisah
(cerai). Dengan maksud dan tujuan untuk sama-sama mencari enak diantara dua
pengantin.
Sebagaimana halnya
seorang lelaki yang butuh tubuh wanita untuk melampiaskan syahwatnya dan
seorang wanita yang membutuhkan harta untuk memenuhi hajatnya, kemudian
diantara mereka saling memberikan syarat dalam pernikahan mut’ah (nikah
bertempo/kontrak), atau bisa juga sebaliknya. Sehinggga shigot akad nikah
mereka adalah demikian, si lelaki berkata kepada wanita; “aku nikahi engkau
dengan batas waktu sekian kemudian jika jatuh tempo bercerai dan dengan ini
semua ada imbalan berupa mahar ini dan itu”. Dan kemudian si perempuan berkata
selaku calon istri mut’ah ; “saya terima mahar ini selaku harta ganti kenikmatan
yang kau ambil dariku selama masa nikah kita”.
Atau seorang lelaki
berkata ; “Buatlah aku senang dengan tubuhmu dengan-ganti- sepuluh dirham ini
selama waktu sekian”. Si wanita menjawab. “Aku bersedia melayanimu dengan
tubuhku”. Hubungan ini terjadi tanpa wali dan saksi. Ringkasnya akad ini harus
ada shigot tamattu’ (ingin ambil kenikmatan tubuh).(Anis al-Fuqaha’, al
Qunawi : 146)
Intinya nikah mut’ah
adalah nikah dengan batas waktu dan dengan tujuan saling mencari kenikmatan
semata, nikah ini berbeda dengan nikah yang sebenarnya yaitu demi menjaga
kelangsungan hidup bersama selamanya demi terciptanya keluarga islami yang
sakinah, mawahdah dan warahmah.
Hukum Nikah Mut’ah
Sayid Sabiq dalam
Fikih Sunnah menjelaskan bahwa nikah ini hukumnya haram berdasarkan imam
madzhab (ahlusunnah) dan tidak ada perbedaan pendapat akan keharamanya. Namun
Qurais Shihab menjelaskan bahwa nikah mut’ah dibenarkan oleh kalangan Syiah.
Studi Kasus Mahasiswi Syiah di Makasar UNHAS atas Praktek Nikah
Mut’ah
Dalam Skripsi mahasiswa
Universitas Negeri Makassar, Fakultas psikologi tahun 2011, yang berjudul
“Perempuan Dalam Nikah Mut’ah” di hal. 59. Dikisahkan perihal nikah mut’ah
antara fulan dan fulanah, dikisahkan bahwa awalnya fulanah hanyalah mahasiwi
awam biasa yang pemahaman agamanya pas-pasan.
Oleh sebab fulanah
sering mengikuti kajian keagamaan dikampusnya, ia betemu dengan sosok lelaki
yang menarisk simpatinya. Disebutkan menurut fulanah, si fulan ini lelaki yang
baik hati, ramah , sopan dan gemar menolong tanpa membeda-bedakan. Akhirnya
oleh sebab fulan tahu bahwa si fulanah tertarik padanya. Si fulan mengajaknya
nikah mut’ah, namun oleh sebab fulanah masih awam sehingga tidak tahu apa itu
nikah mut’ah. akhirnya si fulan memberikan penjelasan akan nikah mut’ah pada
fulanah sehingga si fulanah menerima tawaran nikah mut’ah si fulan.
Sebelum terjadinya
tawaran dan pernikahan mut’ah mereka, mereka sering berdiskusi agama bersama di
kampus. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk nikah mut’ah atas doktrin agama
Syiah. Mereka menikah dengan mahar HP dan cincin tanpa seorang saksi, dan
secara doktrin yang sudah baku dalam agama Syiah. Nikah mut’ah dan pernikahan
pada umunya baik dengan sakis atau tnpa saksi, serta tidak adanya walipun tetap
dianggap sah.
Dan setelah masa
nikah mut’ah (kontrak) selesai (habis masa kontrak), akhirnya mereka bercerai.
Dari hasil nikah mut’ah itu si fulanah mendapat laba seorang anak. Setelah itu
dalam wawancara dengan si fulanah, ia ditanya ; “Apakah menyesal menikah
mut’ah”. si fulanah menjawab “Tidak, saya tidak menyesal menikah mut’ah, sebab
ini adalah ibadah yang agung dan wujud keimanan saya”.
Kita perhatikan
bersama kata-kata si fulanah yang spektakuler ini, “ Saya tidak menyesal
menikah mut’ah, sebab ini adalah ibadah yang agung dan wujud keimanan saya”
Saya tidak menyesal menikah mut’ah : ini artinya si fulanah ikhlas menjalankan nikah mut’ahnya
tersebut, sebab ini adalah ibadah : si fulanah sudah meyakini bahwa
mut’ah adalah ibadah layaknya nikah islam pada umunya, yang agung dan wujud
keimanan : si fulanah sudah mengimani bahwa mut’ah adalah bagian dari
keimanan dan perkara agung yang mendasar (mengaqidah).
Dan setelah adanya
interview lebih lanjut, sifulanah mengakui kenapa ia mantap atas nikah mut’ah.
Ia beralasan bahwa ketika ia mempelajari nikah mut’ah, ada doktrin yang
fundamental didalamnya bahwa ; nikah mut’ah bagi syiah adalah sunnah (jalan
hidup para imam yang agung) yang wajib diikuti, nikah mut’ah adalah dasar pokok
keimanan bagi syiah. Maka bila tidak meyakininya maka ia bukan syiah, nikah
mut’ah adalah syarat iman bila tidak diyakini dan mengingkarinya bisa tergolong
kafir. (Lihat : Skripsi Universitas Negeri Makassar, Fakultas psikologi
tahun 2011, Annas Abdurrahman “Perempuan Dalam Nikah Mut’ah (Dalam Tinjaun
Sosial dan Psikologi Seksual)” di hal. 59-69)
Nikah Mut’ah dan Aqidah Syiah
Setelah mendapati
bahwa doktrin nikah mut’ah sudah begitu mendasar bagi agama Syiah, penulis
penasaran dan mencoba mengkajinya. Ternyata benar, setelah penulis kaji di
kitab-kitab yang diakui kalangan Syiah bahwa mut’ah adalah sebagian dari aqidah
Syiah yang haram diingkari; dan bila ingkar maka mereka telah murtad dari Syiah
dan dianggap kafir.
Dalam kitab Wasail
As Syiah ila Tahsil Masail Asy Syari’ah, pada bab : Dihalalkanya nikah
mut’ah. Karya Imam Besar Syiah Muhammad bin Hasan Al-Amili, yang diterbitkan
oleh Mathbu’at An-Najah, Kairo-Mesir, cet I tahun 1391 H, halaman 439.
Disebutkan bahwa “sesungguhnya bagi kita (Syiah) menjadikan nikah mut’ah
termasuk kewajiban atau tuntutan dasar bersamaan syahadat tauhid (persaksian
ketuhanannya Allah)”. Kemudian di halaman 442 “ orang beriman (maksudnya
Syiah) tidaklah dikatakan sempurna (keimananya sehingga menjadikanya sah
menjadi manusia berstatus beriman bukan kafir) sehingga dia sudah pernah nikah
mut’ah”. dan lanjut pada halaman 433 “tidak disukai seorang diantara kamu
keluar dari dunia (wafat) sehingga pernah nikah mut’ah walau sekali”.
Inilah doktrin Syiah
yang mendasar dan selaku pokok dalam aqidah, sehingga bila tidak diyakini dan
diamalkan akan berkonsekuensi kafir atau belum beriman. Jadi masalah nikah
mut’ah ini bukan masalah sebatas fikih atau furu’iyah layaknya perbedaan antara
sunnah doa qunut, boleh membaca dengan keras basmalah dan tidak dalam fatihah
ketika shalat, atau juga adzan jum’at satu kali atau dua kali. Melainkan ini
sudah masuk wilayah aqidah bukan hanya masalah fikih yang hanya mencakup halal
haram.
Jadi kesimpulanya
adalah bahwa nikah mut’ah bagi Syiah tidak hanya masalah fikih melainkan
prinsip aqidah yang menjadi tuntutan iman yang baku dan prinsipal. Maka dari
itu bagi cendekiawan sunni (Ahlu Sunnah wal Jama'ah ) adalah salah besar jika
menganggap nikah mut’ah adalah bagian dari furuiyah (cabang dalam agama)
melainkan yang benar adalah bahwa nikah mut’ah ini adalah sudah masuk dalam
ranah aqidah yang mendasar. Yang dijadikan sebagai talak ukur antara iman dan
kafir.
Sedangkan dalam
agama islam, tidak pernah datang suatu keterangan mengenai prinsip beragama
(aqidah) yang semisal dengan prinsip aqidah Syiah atas nikah mut’ahnya. Sudah
selayaknya islam yang berasas pada Ahlu Sunnah wal Jama'ah mampu menjadi pilar
penjaga ajaran agama islam seutuhnya sebagaimana yang dibawa oleh nabi Allah
Muhammad saw.
“Ya Allah! selamatkan Saya dari keburukan pendengaran dan
penglihatan, lidah, hati dan dari keburukan air mani (zina)"
(HR.Abu Dawud, Tirmidzi,dengan sanad Shahih oleh Al Bani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar