PROFESIONALISME
GURU DALAM TUNTUTAN
Menagih
Profesionalisme Guru di Sekolah “Rintisan”
Prolog
Iwan Fals pernah mengabadikan sosok
guru profesional sejati dalam karya musiknya yang berjudul Umar Bakri. Sosok
guru dengan gaji kecil, serta jumlah muridnya yang sedikit dan bila handak
mengajar ia dihadang oleh tentara kolonial Belanda. Namun, meski demikian Umar
Bakri masih saja tetap melakoni pekerjaan gurunya dengan maksimal, pantang
mengeluh, dan mampu menelurkan out put setara dengan otak Habibi.
Tapi yang jadi pertanyaan adalah,
adakah Umar Bakri dijaman kapitalis ini ?. dimana rasa ikhlas dan maksimal
dalam beramal diukur berdasarkan materi. Mengatasnamakan pemahaman
profesionalisme yang sempit, para guru dewasa ini berpedoman “Gaji Maksimal
Murid Tercerdaskan, Gaji Minimal Para Murid Terlantar”. Para guru yang pemahamannya
masih sempit dalam memahami arti profesionalisme guru, ditafsirkan bahwa guru
itu sebagai profesi. Maka dari itu guru harus mendapat gaji yang tinggi agar
kinerjanya bisa maksimal, dan oleh sebab itu maka muncul spekulasi baru bahwa
jika gaji redah maka kerjannya ogah-ogahan, kalu tidak digaji maka ilmunya
hanya dipendam. Sebagaimana memposisikan kerjaan guru seperti tukang becak,
tukang becak baru akan bersedia mengayuh dan mengantarkan penumpang bila ia
sudah ada deal akan harga bayaran. Jika mental guru seperti mental tukang
becak, mahu dibawa kemana generasi-genarasi bangsa kedepan ?.
Beda,
Profesi dengan Profesionalisme
Beda kata beda makna, inilah kata
Bernard Russel seorang filsuf modern. Profesi dengan profesinolalisme itu beda.
Profesi adalah kata aktif yang menunjukan status seseorang dalam perkara apa
yang dikerjakan dengan tujuan mendapatkan upah selaku tanda ganti atas kerjaan
yang dilakukannya dan menjadi salah satu syarat dalam pewujudannya. Maka dari
itulah masih adanya perdebatan dikalangan akdemisi akan polemik “Guru sebagai
profesi”. Sebab bila guru sebagai profesi, maka itu artinya ruh guru selaku “pahlawan
tanpa tanda jasa” akan musnah, pendidikan akan dikomersialkan selaku barang
dagangan dan guru adalah selaku “profesinya”(penjual). Oleh sebab pendidikan
menjadi barang dagangan, otomatis akan ada tarif (harga). Dan bila seperti itu
adanya, orang yang bisa menikmati pendidikan adalah orang yang punya daya bayar
tarif. Maka dari itu sebagian akademisi tidak setuju guru sebagai profesi,
namun yang lebih ideal adalah guru sebagai tenaga profesional.
Profesional sangat beda maknanya
dengan profesi, sebab profesional itu adalah sebuah kunyah yang
diberikan kepada orang yang mampu bekerja secara profesional. Profesional
artinya bekerja sesuai dengan bidang yang dilakoni. Guru dikatakan guru
profesional adalah guru yang bisa menjalankan perannya sebagai guru, mendidik,
mencerdaskan, dan mengkarakterkan peserta didik dengan karakter yang penuh
norma agama dan susila.
Sedangkan profesionalisme adalah
sebuah ideologi, ingat ideologi atau keyakinan. Sebab profesionalisme berakar
pada dua pokok kata, profesional dan isme. Isme artinya adalah suatu ideologi
yang dijadikan pegangan dalam hidup. Guru yang memiliki profesionalisme lebih ajib
dari guru yang hanya sekedar profesional. Sebab profesional itu masih
berkemungkinan adanya tendensi, sedangkan profesionalisme adalah sudah masuk
keranah keyakinan diri.
Apabila ada guru, sehingga ia bekerja
sebagaimana layaknya kerja guru yang penuh tanggung jawab. Namun ternyata ia
baru bisa bekerja menjadi guru yang sedemikian itu apabila ada tendensi berupa
faktor X tertentu. Maka inilah yang dinamakan guru profesional. Misalnya adalah
demikian; ada seorang guru bernama Fachmi. Pak Fachmi adalah guru yang memiliki
kemampuan penuh dengan multi talent dan intelegensi, sehingga ia bisa menjadi
guru yang profesional. Semua murid yang ia ajar masuk kedalam kategori siswa
yang cerdas tanpa terkecuali. Maka dari itu Pak Fachmi ini guru yang ajib
dan sangat profesional. Namun Pak Fachmi baru bisa mencurahkan tenaga
profesionalnya selaku guru bila ada suatu tendensi yaitu berupa gaji per jam
(faktor X). Pak Fachmi selaku guru yang profesinoal ternyata emoh ngajar bila
tidak ada gaji yang tayib yaitu berupa gaji perjam ketika mengajar.
Sehingga keahlian Pak Fachmi baru akan dia curahkan bila faktor X yang menjadi
tendensi tersebut bisa terpenuhi. Inilah Pak Fachmi selaku guru yang
profesional.
Namun jika disinggung perihal guru
yang memiliki profesionalsime tidaklah demikian seperti halnya Pak Fachmi.
Sebab profesionalisme guru adalah sesuatu akar keyakinan seorang guru atas
kesadaran dirinya bahwa ia seorang guru. Yang artinya guru ya guru, mahu dia
dibayar dengan gaji hanya setandan pisang perbulan jiwa keguruannya dan
profesionalismenya akan bisa keluar. Tanpa adanya tendensi dan seabrek faktor
X, seorang guru yang memiliki “ruh” profesinonalisme akan bisa menjalankan sikap
profesionalnya sebagai guru. Sebagai contoh guru profesionalisme ya itu tadi,
sebagaimana bapak Umar Bakri. J
Menagih
Profesionalisme Guru di Sekolah “Rintisan”
Untuk melakukan ta’rif
(pembatasan makna) akan sekolah rintisan cukup sukar sebab masih adanya khilaf
diantara para ahli pendidikan, namun dimudahkan saja bahwa sekolah rintisan
adalah sekolah yang masih mengawali masa-masa awal pembukaan atau
penyelenggaraan pendidikan. Ciri sekolah rintisan biasanya adalah; sudah adanya
sistem pendidikan yang berjalan, hanya saja dalam hal struktur dan
infrasturktur belum memadai, belum memadai belum tentu tidak ada sama sekali.
Mungkin disekolah rintisan itu ada
gurunya, gedungnya, muridnya atau media-media pendukung lainya namun belum
memadai. Seperti gedung yang masih join dengan hak guna gedung lainnya,
seperti joinnya gedung yang digunakan untuk sekolah di pagi hari dan
ketika sore hari untuk tempat belajar ngaji. Dan biasanyapun gedung
tersebut bukan hak milik penuh dari sang penyelenggara pendidikan, namun masih nebeng
dengan lembaga lain.
Seorang guru yang megajar di sekolah
rintisan, perlu adanya kesabaran. Pasalnya disini akan ditemukan beberapa
fenomena yang mungkin kurang sesuai harapan. Seperti; gaji yang tidak ideal,
sedikitnya siswa, kurang terawatnya gedung sekolah, dan minimnya fasilitas
pendukung lainnya. Selain adanya beberapa masalah terebut, masih saja dituntut
untuk mampu bekerja secara maksimal. Sungguh sebagian “guru” merasa tidak betah
bisasanya bila ia harus mengajar dan “mengabdi” di sekolah rintisan yang
sedemikian.
Maka dari itu, seharusnya seorang guru
itu tetap memiliki “ruh” keguruan yang ada dalam dada dan sanubari. Jangan sampai
ada tidaknya “ruh” tersebut bergantung pada ada tidaknya fasilitas oke
dan mulusnya fulus. Namun hendaknya berpedoman bahwa dimana ada siswa
yang membutuhkan “kasih sayang’ seorang guru, disitulah ada guru. Bukan dimana
ada bonafitnya sekolah disitu ada “saya” selaku guru. Jadi dimanapun
guru berada maka ia “wajib” besikap profesional dan menunjukan jiwa
profesionalismenya, bukan jiwa profulusismenya.
Guru
Profesional yang Berjiwa Profesionalisme
Sudah ganteng baik hatinya, inilah
lelaki idaman wanita. Sudah profesiol, profesionalisme pula dalam bekerja,
inilah idaman masyarakat ideal. Jika ada guru yang bekerja di sekolah rintisan
yang penuh keterbatasan, namun ia masih bersikap profesional maka inilah guru
yang memiliki profesionalisme. Sebab ia mampu mempertahankan skil
profesionalitasnya sebagai guru dan bebas dari berbagai tendensi, bisa dikatakan
pula bahwa guru sedemikian adalah guru yang pyur menggelorakan jiwa
keguruannya.
Ketika penulis keliling dari satu
sekolah ke sekolah rintisan yang ada di Pekalongan, penulis menemukan fenomena
yang cukup “asyik”. Yaitu ketika penulis bertandang disekolah berbasis Islam
terpadu yang ada di Pekalongan, wilayah Wiradesa. Sekolah ini masih tergolong
sekolah rintisan, dengan gedung yang masih join, gaji yang tidak ideal
dan jumlah murid yang minim. Namun meski demikian, guru disana sebagian masih
bersikap profesional dan ada beberapa guru memang yang “nakal”.
Guru yang “nakal” ini berdasarkan
sumber bahwa ia adalah guru yang tergolong apatiatrik, dimana ia
“merasa” profesional meski hanya sebatas “hipotesa” dan sudah terlalu banyak
menuntut. Sehingga guru ini kurang produktif di sekolah yang ia bekerja
didalamnya; Ia sering absen tanpa alasan, menelantarkan siswa dan denga mudah
melimpahkan tugasnya ke guru lain tanpa prosedur dan etika yang baik (jelas).
Seorang guru yang profesional namun ia
bekerja di sekolah rintisan dan menuntut gaji yang “profesional” pula dari
pihak sekolah rintisan tersebut. Maka ini dalam bahasa agama dinamakan dengan
“istri nusyuz”, pasalnya adanya unsur menuntut sesuatu yang tidak ada
daya kemampuan dari pihak tertuntut. Sah memang bila ada guru yang profesional
banyak memuntut, namun ingat akan korelasi antara status sekolah dan peform
guru harus singkron. Jika ada guru yang sudah merasa profesional dan tenaga
profesionalnya itu dirasa tidak dibalas dengan harga yang seimbang, semisal ada
guru yang “hebat” dan mengajar di sekolah rintisan, oleh sebab ia guru hebat
maka ia minta gaji yang hebat pula. Sedang sekolah rintisan hanya tinggal
sekolah rintisan dan tidak mampu menggaji sesuai dengan harga sebagaimana
tuntutan. Maka penulis katakan dengan seyakin-yakinnya bahwa guru yang
sedemikian adalah guru yang missmech dan bydesign selaku orang
yang dididik untuk menjadi seorang guru yang memiliki profesionalisme.
Namun dibalik kisah guru yang “nakal”
tersebut, rasa “kesal” penulis sebab miris meilhat guru yang sedemikian
terobati dikala menemukan guru lain yang “oke” di sekolah yang sama. Guru ini
selain berbusana rapih, ia juga cukup profesional dalam menjalankan perannya
selaku seorang guru. Bagaimana tidak demikian, ia bekerja begitu profesional.
Sebagaimana sudah saya “patenkan” akan arti profesional seorag guru adalah “bisa
menjalankan perannya sebagai guru (bertanggung jawab), mendidik, mencerdaskan,
dan mengkarakterkan peserta didik dengan karakter yang penuh norma agama dan
susila”. Guru yang penulis sebut “oke” ini bisa menjalankan tugasnya dengan
baik, ia pandai menciptakan suasana gembira ketika KBM (Kegiatan Belajar
Mengajar), terlihat dicintai murid-muridnya, dan cukup memahamkan materi yang
diajarkan. Bagi sekolah rintisan, guru yang “oke” seperti ini adalah aset
berharga yang suatu saat akan melejitkan sekolah tersebut. Yang tadinya adalah
sekolah rintisan maka insyaAllah akan menjadi sekolah “prestisan”
yang siap bersaing dengan sekolah-sekolah lainnya.
Maka jika seorang guru ingin bersifat
profesional dan berjiwa profesionalisme, filsafatilah akhlak para istri Nabi
Muhammad saw. Istri nabi, maaf-maaf kata, bahwa mereka selalu hidup dalam
kesempitan. Dimana dalam riwayat yang
shahih diriwayatkan bahwa keluarga nabi selalu ada dalam kesempitan ekonomi.
Namun meski demikian, beliau para istri nabi tetap menjadi istri profesional,
atau kalau dalam bahasa agama istri sheleha namanya. Nah, bagi guru yang
bekerja disekolah rintisan, harusnya bisa memfilsafati kehidupan dan akhlak istri-istri
nabi saw. Yaitu tetap maksimal dalam bekerja, profesional, dan memiliki spirit
profesionalisme meski dalam kesempitan. Sempit gaji, sempit peluang bonafitnya
SARPRA, namun luas ruangan kelasnya sebab sedikitnya jumlah siswa.
Oh iya, utntuk suplemen dan penutup
agar ending tulisan ini tampak lebih Goodnes. Bahwa ada sebuah anekdot
perihal para guru yang ada disekolah rintisan. Begini anekdotnya; bahwa suatu
ketika ada seorang suami yang baru menikah, dan oleh sebab ia baru merintis
dalam membangun rumah tangga. Ia berpesan pada istrinya bahwa “wahai
istriku, untuk awal-awal pernikahan ini kamu lebih bisa bersabar ya. Maklumilah
suamimu ini yang belum mampu menyediakan sandangan, pangan, dan hunian yang
mapan. Sebab kaum tahu sendirilah, suamimu ini adalah seroang perintis rumah
tangga yang baru mencoba mendirikan sebuah bangunan rumah tangga SAMARA”.
Oleh sebab sang istrinya itu sangat shaliha, maka istrinya menjawab, “Baik
kang mas, aku siap menjalani pahitnya hidup diawal pernikahan bersamamu. Aku
akan selalu setia dan siap mendampingimu, sebab aku yakin sempitnya rumah
tangga kita diawal-awal ini, makin hari bertambah hari akan semakin membaik dan
lapang. Bisa jadi awal pernikahan ini penuh kepahitan dan kesempitan, tapi aku
yakin bahwa esok rumah tangga kita akan diberikan kelapangan dan kebahagiaan.
Yang peting satu wahai suamiku, semua butuh proses”. Aduh, so
sweat banget kan. Coba saja jikalau sekolah rintisan itu kita analogikan
seperti orang yang baru membangun rumah tangga. Mungkin akan lebih ngena’
kali ya.... J
*Penulis adalah mahasiswa STAIN Pekalongan (semester 6)
Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2010. Sewaktu menulis artikel ini,
penulis sedang melakukan penelitian perihal profesionalisme guru dalam sekolah
rintisan. Ia juga aktif sebagai peneliti, beberapa penelitian sudah behasil
diselesaikan. Seperti penelitian perihal keagamaan dan sosial. Beberapa karya
penelitian yang berhasil mendapatkan apresiasi dan penghargaan adalah : “STUDI
KEPANTASAN PEMAKAIAN CADAR BAGI MAHASISWI (Persepsi Dosen STAIN Pekalongan
Terhadap Kepantasan Bercadar Bagi Mahasiswi)”, “HUKUM KAFIR BAGI PENOLAK NIKAH
MUT’AH (Studi Pemikiran Mahasiswi UNHAS akan Kafirnya Wanita yang Menolak Nikah
Mut’ah)”, dan “SDIT DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN (Kritik Sosial atas Menjamurnya
Sekolah Berbasis Islam Terpadu” [proses]. Selengkapnya di : www.muhammad-fachmi-hidayat.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar