PENDAHULUAN
Setiap
lafadz ( kata ) yang digunakan dalam teks hukum mengandung suatu pengertian
yang mudah dipahami oleh orang yang menggunakan lafadz itu. Ada pula lafadz
yang mengandung beberapa pengertian yang mengandung beberapa pengertian yang
merupakan bagian-bagian dari lafadz itu. Apabila hukum berlaku untuk lafadz
itu, maka hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian yang terkandung di
dalamnya. Di samping itu, ada juga suatu lafadz yang hanya mengandung suatu
pengertian tertentu, sehingga hukum itu hanya berlaku untuk itu saja. Lafadz
yang mengandung beberapa pengertian itu secara sederhana disebut ‘Amm (
umum ), sedangkan yang hanya mengandung satu pengertian tertentu, disebut Khash.
Lafadz yang
khusus itu ada yang digunakan tanpa dikaitkan kepada sifat apapun, dan ada pula
yang dikaitkan kepada sifat atau keadaan tertentu. Lafadz yang tidak dikaitkan
kepada sesuatu apapun disebut mutlaq, sedangkan lafadz yang dikaitkan kepada
sesuatu disebut muqayyad.
Untuk itu,
kelompok kami akan memaparkan makalah kami yang membahas lafadz umum dan khash,
lafadz mutlaq dan muqayyad.
PEMBAHASAN
A.
LAFADZ ‘AMM ( UMUM ) DAN KHASH ( KHUSUS )
a.
Pengertian Lafadz ‘Amm
Secara bahasa
‘amm berarti syamil ( yang berarti mencakup, menyeluruh ).
Secara istilah berarti :
اللفظ
المستفرق لجميع افراده بلا حصر
“ Lafadz yang
mencakup seluruh anggotanya tanpa ada batasan”.
Lafadz
‘amm adalah suatu lafadz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh
satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu ( Rahmat Syafi’i : 2007. 193
). Menurut Al Amidi, seorang ulama’ yang mendefinisikan lafadz ‘amm sebagai
berikut :
هو اللفظ الدال شيئان او فصاعدا متلقا معا
“ Suatu lafadz yang
menunjukkan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlaq”
Menurut
Muhammad Adib Saleh, lafadz ‘amm adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian
umum sesuai dengan pengertian lafadz itu
sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Contoh lafadz ‘amm seperti kata
Al Insan dalam firman Allah :
ان الانسان لفي خسر ○ الا الدين امنوا وعملواالصلحت
“ Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”.
Kata Al Insan
yang artinya manusia dalam ayat ini meliputi dan mencakup seluruh makhluk yang
disebut manusia ( Zainal Abidin : 1997. 68 ).
Keumuman
termasuk sifat lafadz karena merupakan dalalah lafadz yang didalamnya tercakup
semua satuannya. Apabila lafadz ini hanya menunjukkan satu satuan seperti
seorang laki-laki, atau dua satuan seperti dua orang laki-laki, atau beberapa
kelompok.
b.
Bentuk-bentuk lafadz ‘amm.
Untuk
mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz ‘amm, diperlukan pemahaman mendalam
terhadap gramatika bahasa arab terutama yang membahas morfologi paralel (
shorof ) dan sintaksis parallel ( nahwu ). Dari situ akan kita ketahui maksud
dan tujuan nash, apakah arahnya umum atau khusus. Oleh karena itu penting untuk
mengetahui bahasa arab.
Kata yang
menunjukkan makna umum, seperti[1] :
a.
Kata kull ( كل/ setiap) dan jami’ ( جميع / semua ). Misalnya :
كل
امرئ بما كسب رهين
“ Tiap-tiap ( kull )
manusia terikat dengan apa yang ia kerjakan ( QS. At Thur : 21 )
هو
الدي خلق لكم ما في الارض جميعا
“ Dia-Lah Allah yang menjadikan
untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan ( jami’an ). ( QS. Al
Baqarah : 29 )
b.
Kata jama’ yang disertai alif dan lam diawalnya. Seperti kata Al
walidat ( para ibu ). Misalnya Surat Al Baqarah : 233 :
والوالدات
يرضعن اولادهن حولين كاملين
“ Para ibu (hendaklah) menyusukan
ananknya selama dua tahun penuh, yaitu : bagi orang yang ingin menyempurnakan
penyusuan. ( QS. Al Baqarah : 233)
Kata
Al Walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama
ibu.
c.
Kata benda tunggal yang dima’rifatkan dengan alif lam. Contoh :
والسارق
والسارقة فقطعوا ايديهما
“ Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya. (QS. Al Maidah : 38)
d.
Isim isyarah (kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata من. Contoh :
ومن
قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى اهله الا ان يصدقوا
“ Dan barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja ( hendaklah ia memerdekakan hamba
sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (
si terbunuh ) kecuali jika mereka ( keluarga terbunuh ) bersedekahlah . . . . (
QS. An Nisa’ : 92 )
e.
Isim nakiroh yang dinafikan, seperti kata لا جناح dalam Surat al Mumtakhanah : 10 :
ولا
جناح عليكم ان تنكحو هن ادا اتيتموهن اجورهن
“ Dan tidak ada dosa ( لا جناح ) atas kamu mengawini mereka apabila kamu membayar kepada mereka
maharnya . . . (QS. Al Mumtakhanah : 10 )
f.
Isim maushul (kata ganti penghubung). Misalnya kata الدين
ان
الدين ياءكلون اموال اليتامى ظلما انما ياءكلون في بطونهم نارا وسيسلون سعيرا
“ Sesungguhnya orang-orang yang (الدين ) memakan harta anak
yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (QS. An Nisa’ : 10)
g.
Isim istifham (kata tanya). Contoh :
فاين
تدهبون
“ Maka kemanakah
kalian akan pergi ? (QS. At Takwir : 26)
c.
Pembagian Lafadz ‘Amm
Lafadz umum
seperti dijelaskan, Mushtafa Said Al Khin, Guru besar Ushul Fiqh Universitas
Damaskus dibagi kepada tiga macam :
a.
Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya, karena ada dalil atau indikasi
yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis. Misalnya :
وما من دابة في الارض الا على الله رزقها
“ Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizqinya . . . (QS.
Hud : 6 )
b.
Lafadz umum padahal yang adalah makna khusus, karena ada indikasi
yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya :
ما
كان لاهل المدينة ومن حولهم من الاعراب ان يتخلفوا عن رسول الله ولا
يرعبوا بانفسهم عن نفسه
“ Tidaklah sepatutnya bagi penduduk
Madinah dan orang-orang Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut
menyertai Rasulullah ( pergi berperang ) dan tidak patut pula bagi mereka lebih
mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul ( QS. At Taubah : 120 )
c.
Lafadz umum yang terbebas dari indikasi baik yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh QS. Al
Baqarah : 228 :
والمطلقا
ت يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
“ Dan wanita-wanita yang
ditalaq, hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru'. ( QS. Al Baqarah : 228 )
d.
Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘amm.
‘Amm ( umum )
adalah lafadz yang menunjukkan pada satuan - satuan yang terbatas dari semua
satuan yang tercakup pada maknanya tanpa dibatasi sesuatu baik tujuan bahasa
maupun tinjauan maksud penyertanya. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘amm
adalah sebagai berikut :
1.
‘Amm dan maksudnya.
Makna ‘amm itu
menurut maksud lafadznya, demikian yang banyak dipegangi jumhur Ulama’.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa maksud dari lafadz umum itu tidak hanya
berlaku pada lafadznya tetapi juga berlaku pada maknanya.
2.
‘Amm dan ketentuan uumum.
Jumhur Ulama
menetapkan bahwa keumuman lafadz itu belum menunjukkan pada suatu hukum, karena
hukum mencakup perkataan, perbuatan maupun si pelakunya, sedang umum itu masih
belum mencakup keseluruhan itu. Contoh, semua pencuri harus dipotong tangannya,
padahal ketentuan potong tangan bagi pencuri itu ada ketentuan-ketentuan khusus.
3.
‘Amm dan cakupannya.
Lafadz ‘amm itu
keumumannya bersifat keseluruhan, sedang lafadz umum yang mutlaq itu bersifat
sebagian lafadz umum yang mencakup keseluruhan itu hukumnya ditujukan kepada
setiap individu, sedang lafadz umum yang menunjukkan sebagian maka hukumnya
berlaku bagi individu tertentu.
e.
Takhsis ‘amm
Berkaitan
dengan lafadz umum, perlu dibahas tentang takhsis. Seperti dikemukakan Khudhori
Beik dalam bukunya Ushul Fiqh, takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud
dengan suatu lafadz umum adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya.
Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup
oleh lafadz umum dengan dalil.
Diantara
dalil-dalil pentakhsis adalah takhsis dengan ayat Alqur’an, takhsis dengan
As-Sunnah dan takhsis dengan Qiyas.
B.
Pengertian Lafadz Khash ( Khusus )
Secara bahasa khash berarti lawan
dari ‘amm. Secara istilah ialah :
اللفظ
الدال على محصور بشحص او عدد
“ Lafadz yang menunjukkan
sesuatu yang dibatasi dengan pribadi atau bilangan”.[2]
Dengan
demikian, lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan arti atau makna
tertentu dan khusus. Tidak ada perbedaan yang prinsip di kalangan Ulama’ Ushul
Fiqh tentang pengertian lafadz khash.
Lafadz khash ialah :
ما
وضع يدل على شيئ معين او رجل معين
“ Lafadz yang
diwadla’kan untuk menunjukkan kepada orangyang tertentu.”[3]
Lafadz khusus
ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu, berupa orang
seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang
bermacam-macam dan terbatas, seperti tiga belas, seratus, kaum golongan,
jama’ah, kelompok dan lafadz lain yang menunjukkan satuan dan tidak menunjukkan
cakupan kepada seluruh satuannya.[4]
Menurut Ulama’
Al Syaukani, lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan kepada satu sebutan
saja. Oleh karena itu, karakteristik lafadz khash adalah :
1.
Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah atau bilangan dalam satu
kalimat.
2.
Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang.
3.
Suatu lafadz yang diberi batasan dengan sifat atau idhafat.
Dari ketiga
karakteristik diatas dapat dipahami bahwa lafadz khash menunjukkan makna
tertentu dan spesifik, yang cakupannya terbatas pada satu obyek atau satu
satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu.
a.
Hukum Khash.
Bila ada suatu
lafadz khash dalam nash syar’i maka makna khash yang ditunjuk oleh lafadz itu
adalah qath’iy ( قطعى ) bukan dhonny ( ظنى ), contohnya :
والمطلقات
يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
“ Dan wanita-wanita yang ditalaq
suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali.”
Lafadz
tsalatsah disitu adalah khash dan maknanya qath’iy. Seringkali lafadz khash itu
terdapat secara mutlaq tanpa ada batasan atau ikatan apapun dan sering pula
terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan. Contohnya اتقواالله (
bertaqwalah kepada Allah ). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan
perbuatan, seperti ولا
تجسسوا ( dan janganlah kamu memata-matai ). Jadi dalam lafadz khash itu
terdapat lafadz muthlaq, ikatan atau batasan, perintah dan larangan.
Hukum khash
secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus
menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat
dan pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan. Tidak ada
pertentangan antara Ulama’ Ushul Fiqh mengenai ketetapan hukum qath’iy dari
lafadz khash.
b.
Macam-macam lafadz khash
·
Lafadz khash berbentuk mutlak
والدين يظا هرون من نسائهم ثم يعودون
لما قالوا فتحرير رقبة من قبل
ان يتمسا دالكم توعظون به والله بما
تعملون خبير
“Orang-orang yang
menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak abdum kedua suami istri
itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Mujadalah : 3)
·
Lafadz khash berbentuk muqayyad.
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة
“Barangsiapa membunuh
orang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan budak yang beriman”.
(QS. An Nisa’ : 42)
·
Lafadz
khash berbentuk amr.
ان الله ياءمروكم ان تؤدوا الامنت الى
اهلها
“ Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. (QS. An
Nisa’ : 58)
·
Lafadz khash yang berbentuk larangan.
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن
“ Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (QS. Al Baqarah :
221).
C.
MUTHLAQ DAN MUQAYYAD.
a.
Pengertian lafadz muthlaq
dan muqayyad.
Dalam
memberikan definisi pengertian muthlaq terdapat pada beberapa rumusan yang
berbeda, namun saling berkaitan.
1.
Muhammad Al Khudhari Beik, memberikan definisi :[5]
المطلق ما دل على فرد او افراد شا ئعة بدون قيد مستقل لفظا
Muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau
beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2.
Abu Zahrah memberikan definisi :[6]
اللفظ المطلق هو الدي يدل على موضوعه من غير نظر الى الواحدة اوالجمع
اوالوصف بل يدل على الماهية من حيث هي
Lafadz muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap
maudhu’nya (sasaran penggunaan lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau
sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada
hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Dengan demikian
muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan
yang dapat mempersempit keluasan artinya.[7]
Contohnya, Firman Allah dalam QS. Al Mujadalah : 3 :
فتحرير رقبة من قبل ان يتمسا
“ Maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum
keduanya bergaul”
Lafadz raqabah رقبة yang
berarti hamba sahaya itu adalah muthlaq, karena tidak dibatasi dengan sifat
tertentu.
Muqayyad (yang
diikatkan kepada sesuatu) yaitu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang
diikatkan kepada lafadz itu suatu sifat.[8]
Contohnya firman Allah QS. An-Nisa : 92 :
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak disengaja
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Disini tidak
sembarang hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan, yaitu hanyalah hamba
sahaya yang beriman.
Jadi perbedaan
antara muthlaq dan muqayyad itu adalah bahwa muthlaq menunjuk kepada hakikat
sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan
satuan serta jumlah. Sedangkan muqayyad, menunjukkan
kepada hakikat sesuatu tetapi memperhatikan beberapa hal, baik jumlah
(kuantitas) atau sifat dan keadaan.
a.
Hukum lafadz muthlaq dan muqayyad
Ada beberapa
bentuk pola hubungan antara lafadz muthlaq dan muqayyad yang menjadi
perbincangan di kalangan ulama’ ushul fiqh.[9]
1.
Hukum yang disebutkan dan sebab yang menimbulkan hukum itu adalah
sama.
Contoh muthlaq QS.Al Maidah : 3 :
حرمت عليكم
الميتة والدم ولحم الحنزير
“ Diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah dan daging babi”.
Kata الدم (darah) dalam ayat tersebut adalah muthlaq karena tidak diikat oleh
sifat atau syarat apapun.
Contoh muqayyad QS. Al An’am : 145 :
قل لا اجد فيما
اوحي الي محرما على طاعم يطعمه الا ان تكون ميتة اودما
مسفوحا او لحم
خنزير
“ Katakanlah aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan
kepadaku tentang makanan yang diharamkan untuk dimakan kecuali bangkai, darah
yang mengalir dan daging babi.”
Dalam ayat ini kata الدم (darah) diberi sifat dengan masfuh (mengalir). Tetapi hukum dalam
kedua ayat ini adalah sama, yaitu sama-sama haramnya. Demikian juga sebab yang
menimbulkan hukum juga sama yaitu “darah”.
Oleh karena itu ditanggungkan
muthlaq mutlaq atas muqayyad, dalam arti hukum lafadz mutlaq harus dipahami
sesuai lafadz muqayyad. Dalam contoh diatas darah yang diharamkan adalah darah
yang mengalir.
2.
Hukumnya sama tetapi sebab yang menimbulkan hukum berbeda.
Contoh mutlaq QS. Al Mujadalah : 3 :
فتحرير رقبة من قبل ان يتمسا
“Maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul”
Contoh muqayyad QS. An Nisa : 92 :
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak disengaja
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Dalam ayat pertama lafadz raqabah
dalam bentuk mutlaq, sedangkan ayat kedua lafadz raqabah diberi qayyid dengan
lafadz mu’minah. Sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat berbeda, pada
lafadz mutlaq adalah kasus kifarat zihar. Sedangkan pada ayat muqayyad karena
pembunuhan yang tidak disengaja. Hukum kedua ayat adalah sama, yaitu
memerdekakan hamba sahaya.
3.
Hukum yang berbeda tetapi sebab yang menimbulkan adalah sama.
Contoh Muqayyad QS. Al Maidah : 6 :
يايها الدين
امنوا اداقمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق
“Hai
orang-orang yang beriman bila kamu akan melakukan shalat, basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai siku-siku”
Contoh mutlaq :
فان لم تجدوا
ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم منه
“Bila kamu
tidak menemukan air, bertayamumlah dengan tanah yang bersih basuhlah mukamu dan
kedua tanganmu dengan bersih”
Hukum dalam kedua ayat tersebut
berbeda, yaitu pada muqayyad berbicara tentang wudlu. Sedangkan pada contoh
mutlaq berbicara tentang tayammum. Namun sebab dari kedua ayat tersebut adalah
sama tentang keharusan bersuci untuk shalat.
4.
Sebab yang menimbulkan hukum dan hukumnya yang menimbulkan adalah
sama.
Contoh mutlaq QS. Al Maidah : 38 :
والسارق
والسارقة فاقطعوا ايديهما
“Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya”
Contoh muqayyad
QS Al Maidah : 6:
يايها
الدين امنوا اداقمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق
“Hai
orang-orang yang beriman bila kamu akan melakukan shalat, basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai siku-siku”
Hukum kedua ayat tersebut berbeda. Pada
mutlaq diharuskan dipotong tangannya, pada muqayyad keharusan mencuci tangan.
Sebab berlakunya hukum juga berbeda. Pada mutlaq adalah sanski karena mencuri,
sedangkan pada muqayyad adalah berwudlu untuk shalat.
Dalam hal ini ulama’ sepakat mutlaq dan
muqayyad berlaku sendiri-sendiri. Berarti hukum memotong tangan untuk mencuri
boleh sampai mana saja pada tangan. Sedangkan hukum berwudlu tangan yang dicuci
harus sampai siku.
KESIMPULAN
Ketetapan hukum
syar’i yang sudah digariskan oleh Alqur’an dan as Sunnah harus dipahami dengan
sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mumpuni bagi
calon-calon mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang tidak benar dan tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Mempelajari ilmu Ushul Fiqh, mendalami dan
sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus
hukum yang handal dan diperhitungkan.
[1] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh ( Jakarta : Prenada Media, 2005
), h. 196
[2] Syeikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, Ushul Fiqh, ( Kairo
: Darul Aqiqah, 2003 ), h. 60
[3] Tengku Muhammad Hasbie Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (
Semarang : PT Pustaka Rizqi Putra, 1997 ), h. 320
[4] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( Quwait : Darul Qalam,
1997 ), h. 281
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, ( Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 2001 ), h. 116.
[6] Ibid,
[7] Ade Dedi Rohayana, Ushul Fiqh, ( Pekalongan : STAIN
Press, ), h. 239
[8] Op.cit, h. 117
[9] Syafi’i Karim, Ushul Fiqh, ( Bandung : Pustaka Setia, 1997
), h. 172
Semoga bermanfaat
BalasHapus