Cari

Selasa, 28 Mei 2013

PROFESIONALISME GURU DALAM TUNTUTAN


PROFESIONALISME GURU DALAM TUNTUTAN
Menagih Profesionalisme Guru di Sekolah “Rintisan”
Oleh : Muhammad Fachmi Hidayat*

Prolog
          Iwan Fals pernah mengabadikan sosok guru profesional sejati dalam karya musiknya yang berjudul Umar Bakri. Sosok guru dengan gaji kecil, serta jumlah muridnya yang sedikit dan bila handak mengajar ia dihadang oleh tentara kolonial Belanda. Namun, meski demikian Umar Bakri masih saja tetap melakoni pekerjaan gurunya dengan maksimal, pantang mengeluh, dan mampu menelurkan out put setara dengan otak Habibi.
          Tapi yang jadi pertanyaan adalah, adakah Umar Bakri dijaman kapitalis ini ?. dimana rasa ikhlas dan maksimal dalam beramal diukur berdasarkan materi. Mengatasnamakan pemahaman profesionalisme yang sempit, para guru dewasa ini berpedoman “Gaji Maksimal Murid Tercerdaskan, Gaji Minimal Para Murid Terlantar”. Para guru yang pemahamannya masih sempit dalam memahami arti profesionalisme guru, ditafsirkan bahwa guru itu sebagai profesi. Maka dari itu guru harus mendapat gaji yang tinggi agar kinerjanya bisa maksimal, dan oleh sebab itu maka muncul spekulasi baru bahwa jika gaji redah maka kerjannya ogah-ogahan, kalu tidak digaji maka ilmunya hanya dipendam. Sebagaimana memposisikan kerjaan guru seperti tukang becak, tukang becak baru akan bersedia mengayuh dan mengantarkan penumpang bila ia sudah ada deal akan harga bayaran. Jika mental guru seperti mental tukang becak, mahu dibawa kemana generasi-genarasi bangsa kedepan ?.

Beda, Profesi dengan Profesionalisme
          Beda kata beda makna, inilah kata Bernard Russel seorang filsuf modern. Profesi dengan profesinolalisme itu beda. Profesi adalah kata aktif yang menunjukan status seseorang dalam perkara apa yang dikerjakan dengan tujuan mendapatkan upah selaku tanda ganti atas kerjaan yang dilakukannya dan menjadi salah satu syarat dalam pewujudannya. Maka dari itulah masih adanya perdebatan dikalangan akdemisi akan polemik “Guru sebagai profesi”. Sebab bila guru sebagai profesi, maka itu artinya ruh guru selaku “pahlawan tanpa tanda jasa” akan musnah, pendidikan akan dikomersialkan selaku barang dagangan dan guru adalah selaku “profesinya”(penjual). Oleh sebab pendidikan menjadi barang dagangan, otomatis akan ada tarif (harga). Dan bila seperti itu adanya, orang yang bisa menikmati pendidikan adalah orang yang punya daya bayar tarif. Maka dari itu sebagian akademisi tidak setuju guru sebagai profesi, namun yang lebih ideal adalah guru sebagai tenaga profesional.
          Profesional sangat beda maknanya dengan profesi, sebab profesional itu adalah sebuah kunyah yang diberikan kepada orang yang mampu bekerja secara profesional. Profesional artinya bekerja sesuai dengan bidang yang dilakoni. Guru dikatakan guru profesional adalah guru yang bisa menjalankan perannya sebagai guru, mendidik, mencerdaskan, dan mengkarakterkan peserta didik dengan karakter yang penuh norma agama dan susila.
          Sedangkan profesionalisme adalah sebuah ideologi, ingat ideologi atau keyakinan. Sebab profesionalisme berakar pada dua pokok kata, profesional dan isme. Isme artinya adalah suatu ideologi yang dijadikan pegangan dalam hidup. Guru yang memiliki profesionalisme lebih ajib dari guru yang hanya sekedar profesional. Sebab profesional itu masih berkemungkinan adanya tendensi, sedangkan profesionalisme adalah sudah masuk keranah keyakinan diri.
          Apabila ada guru, sehingga ia bekerja sebagaimana layaknya kerja guru yang penuh tanggung jawab. Namun ternyata ia baru bisa bekerja menjadi guru yang sedemikian itu apabila ada tendensi berupa faktor X tertentu. Maka inilah yang dinamakan guru profesional. Misalnya adalah demikian; ada seorang guru bernama Fachmi. Pak Fachmi adalah guru yang memiliki kemampuan penuh dengan multi talent dan intelegensi, sehingga ia bisa menjadi guru yang profesional. Semua murid yang ia ajar masuk kedalam kategori siswa yang cerdas tanpa terkecuali. Maka dari itu Pak Fachmi ini guru yang ajib dan sangat profesional. Namun Pak Fachmi baru bisa mencurahkan tenaga profesionalnya selaku guru bila ada suatu tendensi yaitu berupa gaji per jam (faktor X). Pak Fachmi selaku guru yang profesinoal ternyata emoh ngajar bila tidak ada gaji yang tayib yaitu berupa gaji perjam ketika mengajar. Sehingga keahlian Pak Fachmi baru akan dia curahkan bila faktor X yang menjadi tendensi tersebut bisa terpenuhi. Inilah Pak Fachmi selaku guru yang profesional.
          Namun jika disinggung perihal guru yang memiliki profesionalsime tidaklah demikian seperti halnya Pak Fachmi. Sebab profesionalisme guru adalah sesuatu akar keyakinan seorang guru atas kesadaran dirinya bahwa ia seorang guru. Yang artinya guru ya guru, mahu dia dibayar dengan gaji hanya setandan pisang perbulan jiwa keguruannya dan profesionalismenya akan bisa keluar. Tanpa adanya tendensi dan seabrek faktor X, seorang guru yang memiliki “ruh” profesinonalisme akan bisa menjalankan sikap profesionalnya sebagai guru. Sebagai contoh guru profesionalisme ya itu tadi, sebagaimana bapak Umar Bakri. J

Menagih Profesionalisme Guru di Sekolah “Rintisan”
          Untuk melakukan ta’rif (pembatasan makna) akan sekolah rintisan cukup sukar sebab masih adanya khilaf diantara para ahli pendidikan, namun dimudahkan saja bahwa sekolah rintisan adalah sekolah yang masih mengawali masa-masa awal pembukaan atau penyelenggaraan pendidikan. Ciri sekolah rintisan biasanya adalah; sudah adanya sistem pendidikan yang berjalan, hanya saja dalam hal struktur dan infrasturktur belum memadai, belum memadai belum tentu tidak ada sama sekali.
          Mungkin disekolah rintisan itu ada gurunya, gedungnya, muridnya atau media-media pendukung lainya namun belum memadai. Seperti gedung yang masih join dengan hak guna gedung lainnya, seperti joinnya gedung yang digunakan untuk sekolah di pagi hari dan ketika sore hari untuk tempat belajar ngaji. Dan biasanyapun gedung tersebut bukan hak milik penuh dari sang penyelenggara pendidikan, namun masih nebeng dengan lembaga lain.
          Seorang guru yang megajar di sekolah rintisan, perlu adanya kesabaran. Pasalnya disini akan ditemukan beberapa fenomena yang mungkin kurang sesuai harapan. Seperti; gaji yang tidak ideal, sedikitnya siswa, kurang terawatnya gedung sekolah, dan minimnya fasilitas pendukung lainnya. Selain adanya beberapa masalah terebut, masih saja dituntut untuk mampu bekerja secara maksimal. Sungguh sebagian “guru” merasa tidak betah bisasanya bila ia harus mengajar dan “mengabdi” di sekolah rintisan yang sedemikian.
          Maka dari itu, seharusnya seorang guru itu tetap memiliki “ruh” keguruan yang ada dalam dada dan sanubari. Jangan sampai ada tidaknya “ruh” tersebut bergantung pada ada tidaknya fasilitas oke dan mulusnya fulus. Namun hendaknya berpedoman bahwa dimana ada siswa yang membutuhkan “kasih sayang’ seorang guru, disitulah ada guru. Bukan dimana ada bonafitnya sekolah disitu ada “saya” selaku guru. Jadi dimanapun guru berada maka ia “wajib” besikap profesional dan menunjukan jiwa profesionalismenya, bukan jiwa profulusismenya.

Guru Profesional yang Berjiwa Profesionalisme
          Sudah ganteng baik hatinya, inilah lelaki idaman wanita. Sudah profesiol, profesionalisme pula dalam bekerja, inilah idaman masyarakat ideal. Jika ada guru yang bekerja di sekolah rintisan yang penuh keterbatasan, namun ia masih bersikap profesional maka inilah guru yang memiliki profesionalisme. Sebab ia mampu mempertahankan skil profesionalitasnya sebagai guru dan bebas dari berbagai tendensi, bisa dikatakan pula bahwa guru sedemikian adalah guru yang pyur menggelorakan jiwa keguruannya.
          Ketika penulis keliling dari satu sekolah ke sekolah rintisan yang ada di Pekalongan, penulis menemukan fenomena yang cukup “asyik”. Yaitu ketika penulis bertandang disekolah berbasis Islam terpadu yang ada di Pekalongan, wilayah Wiradesa. Sekolah ini masih tergolong sekolah rintisan, dengan gedung yang masih join, gaji yang tidak ideal dan jumlah murid yang minim. Namun meski demikian, guru disana sebagian masih bersikap profesional dan ada beberapa guru memang yang “nakal”.
          Guru yang “nakal” ini berdasarkan sumber bahwa ia adalah guru yang tergolong apatiatrik, dimana ia “merasa” profesional meski hanya sebatas “hipotesa” dan sudah terlalu banyak menuntut. Sehingga guru ini kurang produktif di sekolah yang ia bekerja didalamnya; Ia sering absen tanpa alasan, menelantarkan siswa dan denga mudah melimpahkan tugasnya ke guru lain tanpa prosedur dan etika yang baik (jelas).
          Seorang guru yang profesional namun ia bekerja di sekolah rintisan dan menuntut gaji yang “profesional” pula dari pihak sekolah rintisan tersebut. Maka ini dalam bahasa agama dinamakan dengan “istri nusyuz”, pasalnya adanya unsur menuntut sesuatu yang tidak ada daya kemampuan dari pihak tertuntut. Sah memang bila ada guru yang profesional banyak memuntut, namun ingat akan korelasi antara status sekolah dan peform guru harus singkron. Jika ada guru yang sudah merasa profesional dan tenaga profesionalnya itu dirasa tidak dibalas dengan harga yang seimbang, semisal ada guru yang “hebat” dan mengajar di sekolah rintisan, oleh sebab ia guru hebat maka ia minta gaji yang hebat pula. Sedang sekolah rintisan hanya tinggal sekolah rintisan dan tidak mampu menggaji sesuai dengan harga sebagaimana tuntutan. Maka penulis katakan dengan seyakin-yakinnya bahwa guru yang sedemikian adalah guru yang missmech dan bydesign selaku orang yang dididik untuk menjadi seorang guru yang memiliki profesionalisme.
          Namun dibalik kisah guru yang “nakal” tersebut, rasa “kesal” penulis sebab miris meilhat guru yang sedemikian terobati dikala menemukan guru lain yang “oke” di sekolah yang sama. Guru ini selain berbusana rapih, ia juga cukup profesional dalam menjalankan perannya selaku seorang guru. Bagaimana tidak demikian, ia bekerja begitu profesional. Sebagaimana sudah saya “patenkan” akan arti profesional seorag guru adalah “bisa menjalankan perannya sebagai guru (bertanggung jawab), mendidik, mencerdaskan, dan mengkarakterkan peserta didik dengan karakter yang penuh norma agama dan susila”. Guru yang penulis sebut “oke” ini bisa menjalankan tugasnya dengan baik, ia pandai menciptakan suasana gembira ketika KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), terlihat dicintai murid-muridnya, dan cukup memahamkan materi yang diajarkan. Bagi sekolah rintisan, guru yang “oke” seperti ini adalah aset berharga yang suatu saat akan melejitkan sekolah tersebut. Yang tadinya adalah sekolah rintisan maka insyaAllah akan menjadi sekolah “prestisan” yang siap bersaing dengan sekolah-sekolah lainnya.
          Maka jika seorang guru ingin bersifat profesional dan berjiwa profesionalisme, filsafatilah akhlak para istri Nabi Muhammad saw. Istri nabi, maaf-maaf kata, bahwa mereka selalu hidup dalam kesempitan. Dimana dalam  riwayat yang shahih diriwayatkan bahwa keluarga nabi selalu ada dalam kesempitan ekonomi. Namun meski demikian, beliau para istri nabi tetap menjadi istri profesional, atau kalau dalam bahasa agama istri sheleha namanya. Nah, bagi guru yang bekerja disekolah rintisan, harusnya bisa memfilsafati kehidupan dan akhlak istri-istri nabi saw. Yaitu tetap maksimal dalam bekerja, profesional, dan memiliki spirit profesionalisme meski dalam kesempitan. Sempit gaji, sempit peluang bonafitnya SARPRA, namun luas ruangan kelasnya sebab sedikitnya jumlah siswa.
          Oh iya, utntuk suplemen dan penutup agar ending tulisan ini tampak lebih Goodnes. Bahwa ada sebuah anekdot perihal para guru yang ada disekolah rintisan. Begini anekdotnya; bahwa suatu ketika ada seorang suami yang baru menikah, dan oleh sebab ia baru merintis dalam membangun rumah tangga. Ia berpesan pada istrinya bahwa “wahai istriku, untuk awal-awal pernikahan ini kamu lebih bisa bersabar ya. Maklumilah suamimu ini yang belum mampu menyediakan sandangan, pangan, dan hunian yang mapan. Sebab kaum tahu sendirilah, suamimu ini adalah seroang perintis rumah tangga yang baru mencoba mendirikan sebuah bangunan rumah tangga SAMARA”. Oleh sebab sang istrinya itu sangat shaliha, maka istrinya menjawab, “Baik kang mas, aku siap menjalani pahitnya hidup diawal pernikahan bersamamu. Aku akan selalu setia dan siap mendampingimu, sebab aku yakin sempitnya rumah tangga kita diawal-awal ini, makin hari bertambah hari akan semakin membaik dan lapang. Bisa jadi awal pernikahan ini penuh kepahitan dan kesempitan, tapi aku yakin bahwa esok rumah tangga kita akan diberikan kelapangan dan kebahagiaan. Yang peting satu wahai suamiku, semua butuh proses”. Aduh, so sweat banget kan. Coba saja jikalau sekolah rintisan itu kita analogikan seperti orang yang baru membangun rumah tangga. Mungkin akan lebih ngena’ kali ya.... J




                *Penulis adalah mahasiswa STAIN Pekalongan (semester 6) Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2010. Sewaktu menulis artikel ini, penulis sedang melakukan penelitian perihal profesionalisme guru dalam sekolah rintisan. Ia juga aktif sebagai peneliti, beberapa penelitian sudah behasil diselesaikan. Seperti penelitian perihal keagamaan dan sosial. Beberapa karya penelitian yang berhasil mendapatkan apresiasi dan penghargaan adalah : “STUDI KEPANTASAN PEMAKAIAN CADAR BAGI MAHASISWI (Persepsi Dosen STAIN Pekalongan Terhadap Kepantasan Bercadar Bagi Mahasiswi)”, “HUKUM KAFIR BAGI PENOLAK NIKAH MUT’AH (Studi Pemikiran Mahasiswi UNHAS akan Kafirnya Wanita yang Menolak Nikah Mut’ah)”, dan “SDIT DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN (Kritik Sosial atas Menjamurnya Sekolah Berbasis Islam Terpadu” [proses]. Selengkapnya di : www.muhammad-fachmi-hidayat.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar